Nama saya Fatmawati Indah Lestari Stuby. Nama yang panjang dan ini menjadi
kebiasaan di negara saya memberi nama depan dua sampai tiga. Fatma yang berarti
bunga lotus, wati berarti seorang perempuan, Indah berarti cantik, dan lestari
berarti abadi. Perempuan seperti bunga lotus yang abadi. Saya bangga dengan
nama panjang dan indah pemberian orangtua ini. Saya lahir pada tanggal 20
januari 1984 di sebuah desa kecil di tepi danau toba, desa Bage, Sumatera
Utara, Indonesia. Suku tradisional saya adalah suku batak. Saya memiliki
keluarga besar, ayah, ibu, tiga saudara perempuan dan dua saudara laki-laki. Jumlah
yang normal pada jaman dulu. Dalam suku batak, ada satu prinsip/pandangan bahwa
dengan memiliki banyak anak akan membawa banyak rejeki dalam keluarga di masa
depan. Saya tidak terlalu setuju dengan prinsip ini yang berarti bahwa anak
menjadi objek untuk mencari kekayaan, Tetapi dalam pandangan yang berbeda saya
temukan bahwa dalam sebuah keluarga yang besar terdapat dinamika yang berbeda,
berbagi satu dengan yang lain dan tidak
lepas dari perbedaan pendapat.
Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga harmonis namun disiplin. Ibu saya
dulu seorang guru di sekolah dasar di desa saya. Dia mengajar selama 38 tahun
lamanya. Asal ibu saya bukanlah dari desa Bage, namun pemerintah yang
menempatkan dia di sekolah ini setelah dia menyelesaikan sekolah pendidikan
guru di universitas. Dia menikah dengan ayah saya, seorang laki-laki asli dari desa
ini. Ayah saya bekerja sebagai petani bawang merah, tomat, jeruk dan sayuran
lainnya. Setelah selesai mengajar di sekolah, ibu saya selalu membantu ayah di
ladang. Kami semua anak-anak mereka pergi bersama ke kebun, ini harus
dilakukan. Semua anak-anak di kampung saya melakukan hal yang sama setelah
sekolah. Kehidupan sangat berat untuk orangtua saya karena mereka harus
menghidupi enam orang anak.
Desaku sangat terpencil dan jauh dari kota. Dapat diakses dengan menggunaan
kapal lewat danau atau juga dengan mobil lewat darat. Bukit di kiri kanan,
danau luas di depan dan perkampungan berada di tengah. Dulu waktu saya kecil
belum ada pelayanan listrik, kebanyakan penduduk memakai lampu dari gas atau
lampu dari minyak tanah. Kampung akan menjadi gelap dan sepi ketika malam sudah
turun. Namun karena orangtua saya membuka usaha warung, bapak membeli mesin
genset untuk menghasilkan listrik, sehingga kami masih bisa menonton berita dan
hiburan lewat televisi. Terdapat sekitar 200 rumah di kampung ini dengan
rata-rata setiap rumah memiliki anak 4-6 orang. Satu sekolah dasar, satu gereja
suku dan satu gedung terbuka untuk pertemuan dan acara tradisional juga sumber
air minum umum. Masyarakat di desa saya beraktivitas dengan cara
bergotong-royong, misalnya bekerja bersama di ladang dan mendapat upah atau
sebaliknya akan membalas dengan kembali bekerja di ladang yang lain.
Masa kecil saya di kampung sangat indah dan menyenangkan, walaupun jauh
dari sentuhan modernisasi. Sebelum saya masuk sekolah dasar, saya selalu bermain
bersama teman-teman kecil saya di halaman rumah, melakukan permainan tradisional
yang sedang musim. Kadang di siang hari yang terik kami akan berlari ke sungai
dengan air yang jernih dan berendam di sana. Namun setelah saya mulai besar,
dalam usia sembilan tahun saya sudah diajak orangtua untuk membantu di ladang.
Sebagai anak petani saya tidak memiliki pilihan saat itu, seperti halnya
anak-anak yang lain di desa saya. Biasanya setelah pulang sekolah pukul satu
siang saya langsung makan siang dengan cepat dan bersiap pergi ke ladang bersama
dengan kakak-kakak saya dan bekerja hingga jam lima sore. Di hari minggu saat
sekolah libur, saya dan teman-teman dekat berkumpul dan melakukan berbagai
kesenangan, seperti berenang bersama di danau, bermain petak umpet, mengerjakan
tugas dari sekolah, jalan-jalan ke bukit di tepi danau dan juga belajar
memasak. Suasana dan kondisi ini yang membentuk saya menjadi seorang anak yang
suka dengan alam, bersosialisasi, bertualang dan memiliki impian yang tinggi.
Selain bermain, sejak kecil saya suka membaca buku-buku cerita dan juga
majalah-majalah kepunyaan ibu. Ibu seorang yang suka membaca dan kebiasaan itu
juga yang saya tiru. Saya selalu meminta ibu untuk meminjam buku-buku cerita
dari perpustakaan sekolah dan saya membacanya hingga selesai dan terkadang
hingga berulang-ulang. Cerita yang paling saya suka dari kecil adalah cerita
tentang keluarga, tentang hubungan manusia dengan alam dan binatang. Menurut cerita dari orangtua, saya masuk
sekolah dasar di usia lima tahun. Saat itu saya sudah bisa membaca di rumah
karena termotivasi dengan kakak-kakak saya. Setiap mereka pergi ke sekolah saya
akan menangis minta sekolah. Karena di desa kami tidak ada taman anak-anak,
maka orangtua saya mengikuti kemauan saya untuk mulai masuk di sekolah dasar. Saya
adalah orang yang paling muda di kelas hingga enam tahun di sekolah dasar.
Namun ini tidak menjadi masalah karena saya mengikuti pelajaran dengan baik seperti
halnya teman-teman saya yang lain.
Ada satu hal yang sangat berkesan dalam kehidupan saya semasa duduk di
sekolah dasar. Saat saya kelas empat berumur 9 tahun, ada kelompok mahasiswa
dari kota yang melakukan praktek kerja nyata di desa saya. Mereka berjumlah
sepuluh orang dengan anggota lima laki-laki dan lima perempuan dengan jurusan
pendidikan yang bermacam-macam. Kegiatan yang mereka buat adalah mengajar di
kelas-kelas, mengajar tambahan di malam hari dan juga mengunjungi
petani di ladang. Saat itu saya sangat antusias dengan kehadiran mereka, selain
karena mereka orang dari kota juga karena mereka membuat suasana pengajaran di
sekolah menjadi lebih hidup. Kami bermain dan belajar dengan sistem yang
berbeda dan lebih terasa menyenangkan. Di malam hari saya dan beberapa teman
selalu mendatangi tempat tinggal mereka, belajar dan mengerjakan pekerjaan
tugas dari sekolah. Kami sungguh bahagia. Selama dua bulan keberadaan mereka di
desa kami, menghidupkan api semangat dalam diri saya. Saya mengagumi kebaikan,
keramahan dan pekerjaan mereka. Setelah kepulangan mereka, saya berkhayal bahwa
suatu hari saya ingin melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan. Saya
ingin mengajar anak-anak di kampung-kampung yang jauh dari perkotaan seperti
halnya saya diajar oleh mereka. Saya merasakan bahwa apa yang mereka lakukan
membahagiakan dan menyenangkan saya dan teman-teman saya di desa. Saya ingin
hidup saya seperti mereka, berguna bagi orang lain yang membutuhkan.
Masa sekolah dasar berakhir saat saya di usia 11 tahun dan saya harus
pindah ke rumah nenek di desa Tanjung Pasir, enam jam perjalanan dari desa
Bage. Ini harus terjadi karena di desa saya tidak ada smp. Berpisah dengan teman-teman
sepermainan membuat saya sedih. Semua anak di desa saya berpisah dengan
orangtuanya dan tinggal di asrama,rumah kost atau saudara di kota lain. Ini
sebuah pengorbanan yang besar yang harus dilakukan demi untuk mendapatkan
pendidikan lebih tinggi. Bagi saya berpisah dengan orangtua di usia yang masih sangat
muda merupakan suatu pengalaman besar dan berpengaruh dalam kehidupan saya.
Tiga tahun hidup bersama dengan seorang nenek yang sangat disiplin dan tegas.
Terkadang saya harus menahan perasaan rindu yang mendalam terhadap orangtua,
namun saat itu ada kakak-kakak saya yang juga tinggal bersama di rumah nenek
membuat kehidupan lebih lengkap. Namun kami juga punya tugas yang sama seperti di
desa saya, setelah pulang sekolah saya dan kakak-kakak saya juga wajib pergi ke
ladang membantu nenek menanam jagung dan merawatnya. Saya juga menemukan hal-hal
baru dalam kehidupan yang baru. Suasana yang baru dengan kendaraan yang setiap
hari melintas tidak jauh dari rumah nenek, bahasa yang baru karena bahasa
daerah di desa saya berbeda dengan bahasa daerah di desa nenek, teman-teman
baru, belajar bersepeda juga belajar olahraga baru. Di sekolah ini juga pertama
kalinya saya belajar bahasa asing yaitu bahasa inggris. Saya sangat antusias
dengan bahasa ini sehingga saya mengikuti kursus bahasa inggris setelah pulang
sekolah. Saya menemukan teman-teman baru lagi di tempat kursus dan pertemanan
kami membawa motivasi bagiku. Mereka adalah anak-anak yang hidup di kota yang
lebih modern sejauh satu jam perjalanan dari desa nenek.
Kedekatan saya dengan anak kecil diawali di tempat ini, dimana setiap akhir
pekan saya dan kakak-kakak saya berkunjung ke rumah tante dan om saya yang
memiliki lima anak, dua anak diantaranya masih bayi. Tante dan om saya memiliki
usaha warung, jadi saya dan kakak-kakak saya bertugas menjaga anak bayi mereka.
Mulai dari mengganti popok, memberi makan, bermain hingga menggendong di saat
menangis. Pengalaman pertama bagi seorang anak remaja seperti saya namun saya
menikmatinya. Hubungan saya dengan sepupu-sepupu kecil saya sangat baik dan
dekat. Sehingga setiap akhir pekan merupakan waktu yang selalu saya tunggu
untuk bertemu dengan sepupu-sepupu saya. Mereka memanggil saya dan kakak-kakak
saya dengan sebutan kakak. Ini merupakan cara panggil yang sopan di negara saya
terhadap saudara yang lebih tua dan saya memanggil mereka adik, panggilan sopan
untuk saudara yang lebih muda. Namun di hari libur panjang kami akan pulang ke
desa Bage untuk mengunjungi orangtua kami dan membantu mereka bekerja di ladang.
Bantuan kami di masa liburan panjang akan sangat berguna bagi mereka.
Tiga tahun berlalu di desa nenek, saya akhirnya harus pindah lagi. Berpisah
dengan teman-teman, adik-adik sepupu, yang saya kenal selama tiga tahun ini. Saya
melanjutkan SMA di kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Kota terbesar ke tiga di
negara Indonesia. Kehidupan semakin modern dengan penduduk yang sangat padat.
Tahun pertama di kota ini saya tinggal bersama dengan abang, kakak perempuan ke
tiga dan adik laki-laki saya. Sejauh saya masih bersama dengan saudara kandung
saya masih merasa nyaman. Namun di tahun ke dua saya di SMA, abang saya harus
pergi mencari kerja di kota Jakarta, Ibukota negara Indonesia. Orangtua merasa bahwa kami tidak aman tanpa ada orang yang lebih dewasa di rumah kami tinggal,
sehingga kami bertiga akhirnya pindah ke rumah om dan tante masih di kota yang
sama. Om dan tante saya memiliki tiga anak, dua anak SD dan satu masih berumur
dua tahun. Kehidupan baru tinggal satu rumah dengan anak kecil, menambah
pemahaman saya tentang mereka. Saya bermain dan belajar bersama mereka. Saya
mempelajari karakter dan perkembangan mereka selama satu tahun.
Akhirnya kakak ketiga saya harus lanjut ke universitas di kota lain, saya
juga pindah tempat tinggal ke rumah kost di dekat sma saya. Adik saya juga
akhirnya pindah dengan saudara lain di dekat smpnya. Kehidupan tanpa saudara kandung
sedang saya mulai. Saya tinggal dengan teman sma lain di dalam rumah kost milik
suami istri yang masih muda Kami sering menghabiskan waktu bersama di luar
sekolah, kami menjadi saudara karena tinggal bersama. Di tahun kedua dan ketiga
SMA saya mengikuti kegiatan kelompok siswa pecinta alam dimana saya menemukan
kembali teman-teman baru yang memiliki hobbi yang sama. Di akhir pekan dan
waktu libur kami biasanya pergi ke gunung dan berkemah di sana. Kami anak-anak
remaja yang sedang belajar mengenal alam. Saat melakukan pendakian ke gunung
pula saya mengenal diri saya yang sesungguhnya, juga melihat karakter
teman-teman saya. Kegiatan pergi ke gunung tidak biasa dilakukan oleh orang
umum, kami pecinta petualangan dianggap aneh dan kurang kerjaan serta mengejar
bahaya. Inilah kesan yang kami dapatkan. Namun , aktivitas ini menyenangkan dan
saya menemukan jati diri sebagai anak kampung yang dekat dan bersahabat dengan
alam.
Kehidupan baru dibuka lagi, saya lulus dan diterima di universitas negeri
di kota Medan, dimana untuk masuk saja kami bersaing dengan ribuan murid sma
lain. Ini suatu kebanggan bagi saya terutama orangtua saya. Karena dengan saya
masuk universitas negeri, mereka tidak akan membayar uang sekolah yang mahal
dan inilah yang diimpikan banyak murid terutama orangtua. Saya bertemu
teman-teman baru lagi, kami bersama di Fakultas Ilmu Sosial dan jurusan yang
saya ambil administrasi negara. Namun seiring waktu berjalan saya merasa
kehidupan saya masih kurang. Saya tidak menikmati pelajaran yang diberikan,
saya sering merindukan kakak-kakak saya yang hidup di tempat lain di pulau
Jawa, pulau yang hanya bisa saya bayangkan dan lihat di peta. Saya mulai berperang dalam hati, saya
berpikir ulang akan masa depan saya bila saya lanjut dengan jurusan
administrasi negara, saya akan bekerja menjadi aparatur negara? bekerja di
pemerintahan? Sedangkan impian saya yang dulu waktu sd, saya ingin berbagi
dengan anak-anak yang membutuhkan khususnya anak-anak di daerah yang
tertinggal. Akhirnya saya putuskan untuk ikut tes ujian masuk universitas
negeri lagi, walaupun ini hanya spekulasi dan kecil harapan bahwa saya akan
diterima. Namun saat saya melihat nama saya tertulis di koran pengumuman, saya
hampir tidak percaya. Saya lulus di salah satu universitas negeri terbaik di
negara Indonesia, tepatnya di kota Yogyakarta. Orangtua saya kembali bahagia
walaupun mereka bingung dengan piliha saya, fakultas filsafat. Seperti di
negara lain, di negara saya juga ada kesan bahwa orang yang belajar filsafat
adalah orang yang akan menjadi aneh, stres dan tidak jelas arah hidupnya. Namun
saya bahagia, saya akan belajar di kota impian saya, kota yang selama ini hanya
singgah dalam bayangan saya.
Kota Yogyakarta dengan motto “berhati nyaman” betul-betul membuat kehidupan
saya nyaman. Saya belajar banyak hal baru, budaya baru, orang-orang baru yang
beragam, bahasa daerah yang baru, juga alam yang baru. Suasana kampus yang baru
membawa aura baru dalam diri saya, saya bergabung dengan kelompok pecinta alam
fakultas, saya ikut dalam kegiatan teater dan terkadang berlatih jamming dengan
kelompok musik bahkan nongkrong dengan kelompok yang bersenang-senang namun
penuh dengan diskusi berat. Alam di pulau Jawa berbeda dengan pulau Sumatera.
Mungkin karena banyaknya penduduk dan dekat dengan ibukota, sehingga alam di
sini lebih jinak dan mudah diakses. Banyak daerah indah yang sering saya
kunjungi, mulai dari pantai, sungai, candi hingga ke gunung. Kehidupan di kota
ini juga lebih dinamis, karena beragam suku dari Indonesia bahkan pendatang
dari bagian lain dunia tinggal ataupun berkunjung ke kota budaya ini. Saya
merasa ini luar biasa, saya mengalami pengalaman yang tidak semua orang bisa
alami, termasuk teman-teman kecil saya waktu saya sd hingga smp. Saya berproses
dalam kehidupan baru ini, terkadang merasa kesulitan dalam masa adaptasi
akhirnya terbiasa lagi.
Saya belajar mengenai pemikiran banyak filsuf yang terkadang membingungkan
namun kebanyakan membuat saya terkesima, begitu banyaknya ilmu yang belum saya
ketahui. Pemikiran logika, etika dan dialektika menggelitik pikiran saya,
kemudian hadir pemikiran sosialisme, kosmologi dan humanisme. Semuanya menarik
namun ada kalanya juga saya lelah untuk berpikir hingga akhinrnya saya
tersetrum oleh paham feminisme. Saya seperti ditarik masuk ke dalamnya dan saya
merasa dekat dengan paham ini. Saya melihat fakta di masyarakat masih banyak
perempuan yang tidak mendapatkan hak kesetaraan bahkan masih banyak yang menjadi
budak di dalam kehidupan domestik. Ketertindasan perempuan pastinya berpengaruh
besar terhadap kehidupan anak-anak mereka, ini jelas berkaitan. Perempuan
terpinggirkan, anak terabaikan dan akhirnya akan berpengaruh terhadap
kelanjutan hidup anak di masa depan. Banyak perempuan menjadi korban
keserakahan penguasa alam. Saya membaca banyak kasus di beberapa daerah, dimana
alamnya dikuasai oleh korporasi kaya. Banyak perempuan dan anak korban
kerusakan lingkungan, korban pelecehan seksual oleh petugas dna pekerja
laki-laki. Ini terjadi di satu pulau terluar di timur Indonesia, Papua.
Di tahun ke dua di universitas saya akhirnya lebih aktif dengan hobbi kegiatan
arung jeram dan SAR pantai. Saya menemukan kembali teman-teman baru yang
memiliki hobbi yang sama. Kami bermain dan beraktivitas bersama mengikuti alur
sungai, belajar membaca arus sungai dan juga kehilangan teman saat kalah oleh
derasnya arus sungai. Motto hidup saya mulai terlihat, saya ingin kehidupan
yang mengalir seperti aliran sungai. Saya mengenal beberapa teman yang berasal
dari pulau Papua, kami banyak berbagi cerita. Dari waktu ke waktu saya semakin
tertarik dengan cerita tentang pulau ini, bagaimana kehidupan masyarakat di
sana, keindahan alamnya juga kekayaan alamnya yang menarik perhatian oleh dunia
international. Hingga suatu hari saya tanya bagaimana cara paling murah untuk
bisa mencapai pulau di ujung timur Indonesia ini, karena dorongan yang besar
dalam hati saya saya ingin melihat dengan mata kehidupan masyarakat di sana.
Suatu saat dalam hidup, saya akan menginjakkan kaki di pulau itu.
Suatu pagi di tahun 2005, tepat tiga bulan setelah Tsunami Aceh, saya
mendapat kabar dari abang saya bahwa desa saya terkena dampak gempa Nias, suatu
pulau kecil di Sumatera Utara. Air danau naik hingga ke dalam rumah, beberapa
rumah jatuh ke dalam danau, termasuk rumah orangtua saya. Ketika itu juga saya
menangis dan langsung menghubungi orangtua saya. Saya ingin pulang mendampingi
mereka, memeluk mereka untuk mengurangi bebannya, ingin tau keadaan mereka yang
sebenarnya. Namun keinginan saya ditolak orangtua dengan alasan bahwa
kepulangan saya akan mengganggu perkuliahan saya. Mereka malah menghibur saya
yang sedang sedih dan khawatir dengan keadaan mereka. Teman-teman saya juga
menyarankan hal yang sama bahwa kalau saya terus bersedih, orangtua saya akan
lebih sedih lagi. Akhirnya saya bangkit dari kesedihan dan mencoba semangat
kembali. Beberapa bulan setelah kejadian itu, ada pengumuman di dinding
administrasi kampus yang mengajak mahasiswa yang memiliki orangtua korban
Tsunami dan gempa di Aceh dan Nias untuk mendaftarkan diri sebagai penerima
beasiswa dari organisasi di Australia. Saya berhasil mendapat beasiswa tersebut
dan saya berkenalan dengan Ibu Pamela Davis sebagai perwakilan dari Australia
yang sering datang mengunjungi Indonesia. Ada sebanyak 11 orang mahasiswa yang
mendapat beasiswa ini, kami sering berkumpul dan berbagi cerita ketika Ibu
Pamela datang ke Yogyakarta. Beasiswa ini sangat membantu meringankan beban orangtua saya, hingga tahun 2007 saya lulus. Saya belajar dari hal ini
bagaimana orang baik di Australia mau membantu saya, sehingga di pikiran saya
suatu saat saya ingin bekerja bagi orang yang terkena bencana dan membutuhkan. Ini
impian yang berikutnya dalam hidup saya.
Tahun ke tiga di universitas, kami wajib melakukan kuliah kerja nyata di
desa yang masih tertinggal tetapi masih di pulau Jawa. Saya ditempatkan bersama
teman-teman dari fakultas lain di satu desa dengan akses air yang sulit di
daerah pegunungan kapur namun dekat pantai selatan lautan Hindia. Dua bulan
tinggal bersama masyarakat desa yang polos dan ramah serta berada di tengah
alam yang indah, ini suatu pengamalan menarik lainnya alam hidupku. Saya dan
teman-teman membuat program yang bisa membantu masyarakat desa. Saya sebagai
orang yang fokus pada perempuan dan anak, mengorganisir kegiatan belajar
bersama anak-anak di beberapa tempat di desa, menggerakkan jam belajar
masyarakat, mendampingi ibu-ibu yang membawa anak untuk imunisasi, membuat
program penyuluhan makanan sehat anak balita, mendukung pemerintah dalam
pembuatan akta lahir anak, membuat kegiatan cuci tangan dan sikat gigi yang
baik di sekolah-sekolah. Di akhir pekan saat banyak wisatawan bermain di pantai
dengan ombak yang lumayan tinggi, saya membantu pihak SAR untuk menjaga pantai.
Waktu itu terasa waktu paling indah dalam hidup saya, saya merasa berguna hidup
di tengah masyarakat, ibu-ibu dan anak. Saya sudah mewujudkan sebagian kecil
dari impian saya untuk berbagi dengan anak-anak di daerah tertinggal, seperti
halnya dulu waktu sd saya belajar bersama dengan kelompok mahasiswa yang
tinggal dua bulan di desa saya.
Setelah lima tahun menyelesaikan kuliah dan mendapat titel sarjana
filsafat, saya mulai bingung akan mengerjakan apa. Saya pergi ke pulau Borneo,
Kalimantan timur dimana abang, adik dan paman saya tinggal di sana. Awalnya
saya berharap bisa bekerja di bidang konservasi lingkungan dan orang utan,
namun panggilan tidak kunjung datang. Akhirnya sambil mencari kerja, saya
bergabung dalam satu misi relawan dari gereja di pedalaman hutan Kutai Barat.
Saya tinggal bersama masyarakat lokal, hidup seperti mereka hidup, bermain dan
belajar bersama anak-anak, bergaul dengan ibu-ibu yang ada di desa. Kehidupan
mereka di tengah hutan semakin mengajarkan saya bahwa masih banyak orang yang
hidup jauh dari modernisasi namun mereka juga memiliki kearifan lokal yang
sangat berarti saya pelajari. Hingga empat bulan di sana, orangtua saya
menyarankan agar saya mencari pekerjaan yang yang lebih normal di kota
besar. Bagi mereka apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan titel saya sebagai
sarjana. Demi menghargai orangtua saya, saya akhirnya pindah ke ibukota negara
Indonesia, kota Jakarta. Kota yang penuh dengan manusia dari segala pulau di
Indonesia, kota yang sangat sibuk pagi, siang hingga malam, kota yang penuh
dengan keringat para pekerja, kota yang penuh dengan persaingan dan kejahatan,
kota yang sangat kompleks.
Memulai hidup di kota Jakarta, saya akhirnya bekerja sebagai administrator
pemantau proses pengiriman barang di sebuah perusahaan penjual alat-alat
tambang. Pekerjaan ini jauh dari pekerjaan impian saya selama ini, namun saya
masih berusaha mengirimi lamaran pekerjaan ke beberapa LSM yang bekerja di
bidang, perempuan, anak dan lingkungan hidup. Jauh di lubuk hati saya, saya
berharap suatu saat saya bisa mewujudkannya. Saya tinggal bersama dengan kakak
perempuan ke dua yang sudah menikah dan memiliki dua anak balita. Jam empat
pagi saya bangun, berangkat dari rumah jam lima pagi, tiba di kantor jam
delapan pagi dan bekerja selama delapan jam kembali lagi di rumah jam sembilan
malam. Di akhir pekan dan hari libur saya bermain dengan keponakan-keponakan
saya, membantunya untuk mengurus anak-anak, mengganti popok, memandikan, memberi
makan dan menidurkan mereka. Kembali saya hidup bersama dengan anak-anak dan
ini selalu memberikan efek positif dalam kehidupan saya. Namun dinamika
kehidupan di kota besar semakin hari membuat saya bosan, saya bekerja hanya
untuk mendukung korporasi besar dalam merusak alam, saya malu dengan diri
sendiri saat mengingat prinsip “kecintaan saya terhadap alam”. Hingga suatu sore saya mendapat email yang berisi panggilan
untuk menghadiri wawancara di satu LSM yang berfokus pada kesejahteraan anak.
Jantung saya berdegup kencang, apa ini waktunya saya harus bergerak?
Setelah melalui proses seleksi yang sangat panjang, saya berhasil diterima
untuk melakukan orientasi selama enam bulan di pulau PAPUA, tepatnya di kota
Wamena di pegunungan tengah Jayawijaya. Apakah saya bermimpi, tidak!ini
kenyataan, saya akan pergi selama enam bulan melakukan pekerjaan yang saya
impikan di pulau impian saya. Luar biasa bukan proses yang saya jalani?Saya percaya
ada kekuatan roh kudus dalam hidup saya, ya, ada Tuhan bekerja dalam setiap
rencana saya. Menginjakkan kaki di pulau paling timur Indonesia, dengan
keindahan alam yang luar biasa yang selama ini hanya ada dalam bayangan saya,
darah dalam tubuh saya bergelora. Enam bulan berjalan dengan banyak pengalaman,
masyarakat tradisional yang hidup di pegunungan, anak-anak yang sangat ramah
dan antusias dengan orang baru, konflik antar suku yang tidak diduga kapan
terjadi, aksen bahasa yang berbeda dengan Indonesia bagian barat, dan udara
yang dingin di malam hari. Saya belajar beradaptasi dengan kehidupan baru yang
menakjubkan ini. Saatnya kembali ke kota Jakarta untuk melakukan evaluasi dan
menentukan nasib apakah saya bisa melanjutkan pekerjaan di LSM ini atau tidak
diterima. Dari hasil laporan saya selama di lapangan dan dari rekomendasi
atasan saya di sana, saya akhirnya diterima bekerja di LSM World Vision
Indonesia dengan kontrak selama dua tahun ditempatkan di kota Wamena, Papua.
Saya memang suka hidup di kota ini, keputusan ini sangat membahagiakan saya. Saya
kembali bersyukur untuk rentetan sukacita ini.
Visi kami untuk setiap anak hidup utuh sepenuhnya, doa kami untuk setiap
hati tekad untuk mewujudkannya (Our vision for every child, life in all its
fullness, our pray for every heart the will to make it so), inilah visi LSM di
mana saya pernah bekerja selama dua tahun. Semua kegiatan dan program yang
dilakukan berfokus pada pemenuhan hak
anak. Anak yang kami dampingi berumur 0-18 tahun. Saat itu saya bertugas sebagai
koordinator pengembangan masyarakat di desa-desa. Proyek yang saya tangani
adalah proyek pendidikan, nutrisi dan kesehatan reproduksi. Kegiatan sehari-hari saya
bertemu dan belajar bersama dengan anak dan masyarakat. Mendampingi tutor-tutor
yang mengajar di taman-kanak-kanak, memfasilitasi guru-guru sd untuk berlatih
cara mengajar yang lebih menyenangkan bagi murid, mendampingi puskesmas dalam
melatih pada kader-kader kesehatan, memberikan penyuluhan pengolahan makanan
bergizi, mengajar anak-anak remaja mengenai kesehatan reproduksi, HIV&AIDS,
serta mengikuti berbagai pelatihan yang terkait dengan pekerjaan saya.
Selama bekerja sebagai agen perubahan di daerah ini tentunya saya
menghadapai banyak tantangan, diantaranya akses jalan menuju desa-desa tidaklah
mulus, harus melalui jalan darat yang kadang berlobang, jembatan yang putus,
sungai yang banjir, longsor dari perbukitan, mendaki ke pegunungan, rumah yang
jauh satu dengan yang lain, kegiatan yang terkadang harus dibatalkan karena
peserta tidak hadir ataupun karena adanya acara di desa, penolakan dari
masyarakat terhadap kedatangan tim ke desa juga sering terjadi konflik antar
suku yang berakibat buruk bagi keselamatan saya dan tim. Namun di sisi lain
yang lebih membuka hati adalah hubungan yang terjadi antara saya, masyarakat,
anak-anak dan alam di sini menjadi sangat akrab. Anak-anak akan berteriak
dengan nyaring “kakak fatma” setiap melihat kedatangan saya, atau masyarakat
yang akan selalu memberikan salam setiap bertemu di jalan. Keramahan masyarakat
di daerah ini mengajarkan saya arti tulus sebuah kasih. Senyuman di wajah
mereka selalu membuat saya bahagia, saya akhirnya berguna bagi orang lain.
Masa bekerja dalam LSM dari pagi hingga sore hari dan ketika tiba di rumah
saya melanjutkan mengajar anak-anak yang berasal dari kompleks tempat tinggal
saya. Pada awalnya hanya dua orang yang sering menyapa saya dan teman satu
rumah ketika sepeda kami tiba di halaman rumah. Dua anak ini sepertinya ingin
mengenal kami, kamipun mengajak masuk ke rumah dan memberikan buku cerita untuk
dibaca. Keesokan harinya jumlah anak semakin bertambah dan terus bertambah,
hingga berjumlah 20 anak dari usia 2 tahun hingga 11 tahun. Saya dan teman
membeli peralatan untuk belajar, menggambar juga membeli buku-buku cerita untuk
anak. Ruang tamu kami berubah menjadi ruang belajar bagi anak-anak. Saya dan
teman melihat ini kesempatan baik untuk berbagi dan belajar banyak hal dengan
lebih dekat. Kami membuat jadwal untuk tema pertemuan setiap sore hari. Tidak
lupa juga saya yang peduli dengan kesehatan memanfaatkan situasi ini untuk
memberikan pendidikan kesehatan bagi mereka. Mulai dari belajar mencuci tangan
dengan baik, sikat gigi, nasihat untuk selalu mandi, mengganti pakaian juga
menjaga kebersihan alat vital. Jam belajar yang kami habiskan biasanya sekitar
dua jam. Terkadang orangtua mereka datang mengantarkan anaknya yang kecil untuk
bergabung dengan anak-anak yang lain dan setelah selesai akan dijemput kembali.
Selama proses belajar ini saya mengamati banyak perubahan yang lebih baik dalam
diri anak-anak ini, menjadi lebih bersih, lebih sopan, lebih suka membaca,
bergaul dengan baik dan berani berpendapat. Sungguh hasil yang saya tidak
pernah bayangkan namun ini nyata di hadapan saya. Mereka memanggil saya dan
teman saya “ibu guru”. Setiap sore hari mereka sudah menunggu di pintu gerbang
rumah dan akan berlari mengejar saat melihat sepeda kami datang. Mereka akan
bertanya “ibu guru belajar, sekarang belajar? Ada yang melapor “saya sudah mandi
bu guru”. Kebersamaan ini sekali lagi sangat membahagiakan, dan lagi saya
ucapkan dalam hati saya bahagia ketika berguna bagi anak-anak yang membutuhkan.
Dua tahun berlalu dan saya memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja di kota
ini. Berat berpisah dengan mereka namun saya bangga kami sudah melalui
kebersamaan yang indah.
Saya pindah ke negara lain, yaitu ke Kota Kinabalu, Malaysia. Saya membantu
tunangan saya menjadi relawan selama tiga bulan di daerah pegunungan Sabah.
Saya berbagi mengenai kebersihan dan kesehatan reproduksi untuk anak-anak
imigran dari Indonesia dan juga mengajar bahasa inggris untuk anak-anak di
pedalaman Borneo. Kami menikmati pelajaran ini dan kebersamaan ini. Setelah
tiga bulan saya tidak bisa melanjutkan ijin tinggal, akhirnya saya memutuskan
untuk belajar bahasa perancis di IFI Yogyakarta. Saya kembali belajar di kota
di mana saya membangun mimpi-mimpi saya. Tiga bulan belajar bahasa saya pergi
ke kota Jakarta dan tinggal dengan kakak ketiga saya yang memiliki anak berumur
satu tahun. Sambil mengurus visa keberangkatan saya ke negara Swiss, saya
membantu kakak saya menjaga anaknya, mengganti popok, memberi makan,
memandikan, bermain serta jalan-jalan sore. Waktu keberangkatan sayapun tiba,
saatnya meninggalkan negara, keluarga, sahabat, anak-anak yang ada di hati
saya. Berat bagi saya namun saya harus memulai hidup baru bersama dengan
kekasih hati saya.
Hidup baru di negara baru, budaya baru, bahasa baru, makanan baru, alam
yang baru dan kembali membutuhkan adaptasi yang panjang. Tentu saja ini berat, namun
saya melihat hidup yang sudah saya lewati, selalu berpindah dari satu kota ke
kota lain, namun saya selalu berhasil beradaptasi dengan baik. Sambil kembali
belajar bahasa perancis, saya memikirkan pekerjaan apa yang ingin saya lakukan
di masa depan. Hidup selama tiga puluh tahun sudah cukup bagi saya untuk
mengenali jati diri saya, ketertarikan saya, bakat dan minat saya. Saat ini
saya yakin hati dan jiwa saya tetap untuk anak-anak, saya hanya ingin selalu
bekerja untuk anak-anak, saya ingin selalu berguna bagi anak-anak, saya merasa
hidup ketika bersama dengan anak-anak, saya bahagia bersama mereka. Saya
putuskan untuk menjadi pendidik yang baik untuk anak-anak di negara ini dan
mungkin bagi anak-anak lain di seluruh dunia.