Wednesday 16 December 2015

Menapak tilas 2,5 tahun di Wamena, Papua


Saya akan menapak tilas kerja kemanusiaan yang saya lakukan di pulau Papua saat bergabung dengan organisasi Wahana Visi Indonesia. Pekerjaan ini berfokus pada perlindungan anak. Bagi saya, ini merupakan satu mimpi lama yang selalu tersimpan dalam pikiran, saya ingin menginjakkan kaki di pulau Papua. Pada tahun 2009, saya berhasil lulus dalam tes ujian masuk bekerja dengan World Vision Indonesia (WVI). Organisasi ini adalah organisasi non-pemerintah dan berfokus pada pekerjaan kemanusiaan. Saat itu WVI memiliki 43 area pelayanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Bulan November 2009 saya ditempatkan di kota Wamena dengan area pelayanan kerja Kurima. Kota Wamena berada di pegunungan tengah Papua, tepat di lembah Baliem. Kota ini hanya bisa diakses dengan menggunakan pesawat dari kota Jayapura karena luasnya pegunungan dan hutan yang terbentang di antara ke dua kota. Kota Wamena juga dikelilingi oleh bukit-bukit dimana kita bisa menemukan banyak desa-desa kecil dengan suku-suku tradisionalnya. Area pelayanan kerja saya merupakan daerah yang terpencil dan sulit untuk diakses. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang sudah saya impikan sejak lama, di daerah yang jauh dari modernitas, bekerja dengan orang lokal, berfokus pada perkembangan anak-anak dan permasalahan perempuan.
Visi dari organisasi WVI adalah « Visi kami untuk setiap anak, hidup utuh sepenuhnya, doa kami untuk setiap hati, tekad untuk mewujudkannya » yang berarti segala kegiatan yang ada dalam proyek organisasi akan selalu berfokus terhadap kesejahteraan hidup anak dan kami bisa mewujudkan pekerjaan itu dengan bantuan yang diberikan oleh para donatur di seluruh dunia. Semua kegiatan harus berfokus pada penghargaan atas hak-hak anak yaitu hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. Anak yang kami dukung dan menjadi fokus pelayanan ini berumur 0 sampai 18 tahun.
Saya mulai bekerja sebagai Koordinator Pengembangan Masyarakat di beberapa desa. Proyek yang saya tangani adalah proyek pendidikan, proyek nutrisi dan kesehatan reproduksi. Tugas-tugas saya saat itu adalah memfasilitasi pelatihan terhadap  para tutor/ pengajar anak usia dini di beberapa pusat belajar anak dampingan WVI, bekerja sama dengan para guru SD dengan memfasilitasi mereka mengikuti pelatihan cara mengajar yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-murid, memfasilitasi puskesmas dengan memberikan pelatihan terhadap para bidan, mantri dan kader kesehatan, mengorganisir pelatihan tentang nutrisi, mengajar dan meningkatkan kesadaran anak-anak remaja mengenai kesehatan reproduksi, HIV&AIDS. Saya juga memiliki kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan di berbagai kota yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.                             

Selama menjalani pekerjaan sebagai agen perubahan di daerah ini, saya sering menemukan berbagai kesulitan. Contohnya, akses menuju desa-desa tidaklah gampang. Saya dan tim harus melewati jalanan yang berlubang. Jalur yang sering terpotong karena adanya longsor atau dipenuhi lumpur. Terkadang harus menyeberang sungai dengan kondisi jembatan rusak atau hanyut. Selanjutnya harus berjalan kaki dan mendaki untuk tiba di desa-desa terpencil dengan rumah yang jaraknya jauh satu dengan dengan yang lain.  Kadang kala ketika tiba di tempat yang dituju, kegiatan harus dibatalkan karena peserta yang sudah diundang tidak hadir dengan alasan pergi menghadiri pesta di desa. Beberapa orang di desa menolak kehadiran kami karena kami tidak membawa sesuatu yang bisa dibagi dengan cuma-cuma kepada meraka (biasanya mereka mengharapkan barang atau uang). Lain lagi masalah perang suku yang sering muncul menjadi hal buruk terhadap keamanan saya dan tim.


Walaupun begitu, jauh di lubuk hati saya, hal yang paling menggetarkan bagi saya adalah ikatan yang tercipta antara saya, orang lokal, anak-anak dan alam, dan ikatan ini semakin hari semakin dalam. Anak-anak selalu berteriak «kakak Fatmaaaaa » setiap kali mereka melihat saya tiba di desa, atau orang-orang lokal akan menyapa dan menyalami saya setiap kali kami berpapasan di jalan. Kehangatan penduduk di daerah ini mengajarkan saya untuk bersyukur dan berbagi dengan orang lain. Senyuman di wajah mereka selalu membuat saya bahagia. Akhirnya, melalui pekerjaan ini, saya berguna bagi orang lain.
           
           

Monday 14 December 2015

Buku puisi (Anti)Paspor

Buku kecil yang satu ini memiliki bentuk yang sama dengan paspor asli, bahkan warna halamannya juga dipilih sesuai dengan warna-warna paspor di seluruh dunia. Namun saat anda membukanya, anda tidak akan menemukan bekas cap atau stempel petugas imigrasi di setiap halamannya. Lho kenapa begitu? Bukannya paspor biasanya dihiasi dengan visa, cap atau stempel dari petugas imigrasi negara-negara yang kita kunjungi? Jangan salah, paspor satu ini justru adalah anti visa, anti cap atau stempel. Sebaliknya anda akan menemukan teriakan kebebasan di dalamnya. Anda akan dibawa terbang menuju negara yang ingin anda kunjungi tanpa harus mengurusi tetek bengek birokrasi keimigrasian. Dengan rangkaian indah syair penulisnya, anda akan terbuai dalam gelombang indah laut mediterania bukan dengan status pengungsi perang, namun sebaliknya sebagai manusia merdeka yang bebas menyeberang kemana saja anda mau.
Buku kecil ini adalah puisi kemanusiaan penyairnya, Antoine Cassar. Dia adalah seorang penyair keturunan Malta yang besar di London, pernah tinggal lama di Luxemburg dan saat ini dia kembali ke kampung halamannza di Malta. Setelah sebelumnya berhasil diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa, puisi ini saya terjemahkan dari bahasa Inggris dan Perancis ke dalam bahasa Indonesia, sehingga pesan kemanusiaan yang kuat di dalamnya bisa terbang dan di dinikmati oleh pecinta puisi dan sastra di Indonesia. Anda bisa mengakses http://passaportproject.org/ dan bisa memesan puisi Paspor ini dengan pilihan warna halaman kesukaan anda. Keuntungan dari penjualan buku ini akan didonasikan kepada organisasi lokal di Jakarta yang mendukung para pengungsi dan pencari suaka.
Buku kecil ini sudah dipresentasikan dan dibacakan pada akhir bulan Oktober 2015 dalam acara Ubud Writer Festival di Bali. Buku kecil ini cocok untuk anda para pecinta puisi dan sastra, para perantau dan petualang yang sering dihadapkan dengan masalah pengurusan visa dan paspor, dan para pecinta kemanusiaan. Selamat membaca :)

Sunday 29 November 2015

Dilema tes intoleransi laktosa

Sekitar dua minggu yang lalu (sesuai dengan rujukan atas hasil pemeriksaan dari dokter keluarga kami), saya pergi ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan intoleransi laktosa dalam tubuh saya. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kondisi atau kadar enzim yang bertugas untuk mencerna laktosa dalam tubuh. Sebenarnya saya juga baru mendengar istilah ini semenjak tinggal di Swiss. Hanya saja karena selama dua tahun lebih tinggal di negara ini, saya sering mengalami diare setelah minum susu sapi. Beberapa anggota keluarga menganjurkan untuk melakukan tes ini. Mereka menjelaskan juga bahwa memang kebanyakan orang asia yang hijrah ke Eropa mengalami permasalahan ini karena dalam tubuh orang Asia tidak terdapat cukup enzim untuk mencerna laktosa. Alasannya jelas karena orang Asia tidak terbiasa dengan minum susu sapi cair, atau menggunakan susu sapi cair dalam beberapa produk makanan.
Tes dimulai pada pukul 8:00 pagi, dimana saya dipertemukan dengan seorang perawat di salah satu ruangan. Dia menjelaskan bahwa tes yang akan kami lakukan gampang, hanya menghembuskan nafas ke dalam tujuh  tabung plastik dengan batas  waktu tertentu setiap tabungnya, dan keseluruhan proses akan berlangsung selama tiga jam. Hembusan nafas pertamapun diambil. Perawat menutup tabung dengan erat, kemudian mengantarnya ke ruangan sebelah. Sekembalinya dia mengatakan bahwa saya akan minum  teh yang sudah dicampur dengan bubuk susu. Dalam hati saya tersenyum, bagus deh saya haus sekali melebihi haus unta di padang gurun :P (Oh ya, sebelumnya saya harus berpuasa semenjak bangun tidur pagi ini, tanpa minum atau makan apapun. Jelaslah perut saya kosong dan cekung).  Teh susupun saya teguk dengan tuntas. Lalu dia meminta saya menghembuskan nafas ke duakalinya. Setelah itu saya diminta untuk menunggu di ruang tunggu, dan mengatakan bahwa dia akan datang kepada saya untuk mengisi nafas dalam tabung.
Sambil menunggu di sofa yang nyaman dan empuk, saya mengisi waktu dengan membaca buku yang baru saya pinjam dari salah satu organisasi perempuan di kota ini. Sesekali saya memperhatikan petugas laboratorium dan para pasien yang akan melakukan tes,  lalu lalang di hadapan saya. Lima menit berlalu, saya mendengar suara gemuruh dari kedalaman perut cekung saya. Apa ini?Tolong jangan sekarang!Semakin saya ingin lupakan, namun gemuruh itu berubah menjadi sakit yang membelit usus-usus saya. Saya tahan untuk tidak meringis, karena malu dilihat oleh anak yang sedang duduk tepat di hadapan saya. Bertarung menahan rasa sakit, saya harus tunggu perawat hingga batas lima belas menit yang ditentukan untuk mengambil hembusan nafas baru. Oh dia datang, dengan sigap saya hembuskan nafas dan bergegas ke wc. Bretttttttttt…..busetttt derasnya seperti tekanan air keran. Rasa sakit di perut bukannya berkurang namun tetap menggerogoti hingga ke ulu hati. Setelah merasa puas mengeluarkan cairan itu, saya kembali ke sofa. Si perawat menanyakan keadaan saya, dan saya katakan saya sakit perut dan buang air sangat cair. Sepertinya dia tidak merasa bersalah sudah memberikan saya teh susu sebagai penyebab semua ini, dia hanya menimpali bahwa itu wajar karena saya memang intoleransi dengan laktosa. Dia menyarankan saya untuk minum air putih yang sudah tersedia di ruang tunggu. Karena memang haus sekali, saya minum hingga dua gelas. Saat itu saya membayangkan berada di meja makan dapur rumah kami dan menyantap sarapan roti dan selai serikaya sisa oleh-oleh saya musim panas lalu. Oh ternyata masih pukul sembilan pagi. Saya harus menunggu dua jam lagi.
Sepertinya dua gelas air putih sedang bercumbu dengan teh susu di dalam usus-usus saya, hasil percumbuan mereka tidak membawa kebahagiaan buat tubuh saya. Rasa sakit baru muncul, lebih sakit dari sebelumnya. Saya tidak ingin menebak-nebak, langsung saya ambil langkah sepuluh ke wc untuk kedua kalinya (karena wcnya emang ga jauh dari ruang tamu). Brottttttt…brottttttt…brotttttt kali ini derasnya melebihi tekanan air pancuran di permandian umum kampung saya di tepi danau Toba. Untungnya kali ini alirannnya tidak mengalir langsung ke danau Toba ya :P. Saya meringis kesakitan, karena sepertinya perut saya sudah kosong melempem seperti kerupuk jange yang ga laku-laku dan terjebak dalam kaleng kerupuk di meja warung pojok karang gayam Jogja. SAKIT tapi PUAS itulah perasaan saya setelah keluar dari wc. Aduh si perawat mana nih? Saya lihat dia sedang berbicara dengan ibu lain yang berjaga di meja resepsionis, sambil bersiap-siap mengenakan jaket tebalnya dengan hp dan rokok di tangan. Yang saya tau dia mau izin keluar sebentar, yang saya ngga tau mungkin dia merasa bersalah dan butuh waktu untuk menyesali perbuatannya karena membuat saya bolak-balik masuk wc akibat teh susu pemberiannya (geer banget deh!). Si ibu yang merangkap resepsionispun mendekati saya, dengan mata sayu dan wajah minta dikasihani,  saya isi tabung plastik itu dengan nafas loyo setengah mampus.
Pukul 10:00 menjelang siang, sudah lima tabung plastik terisi. Sesekali saya melirik galon air di sebelah kanan saya, ragu apakah saya minum atau tidak. (gampang banget deh trauma). Hingga si perawat yang sudah kembali bertugas datang membawa tabung plastik yang ke enam dan mengatakan akan ada satu tabung lagi dan segera selesai. Ohhhh, kalau tau begini sepertinya saya tidak perlu jujur-jujur banget masalah diare ke dokter keluarga saya. Kenapa tidak saya berhenti saja mengkonsumsi susu sapi dan masalah diare tidak akan berlanjut dengan drama pemeriksaan ini.Ok, tabung plastik ke tujuh datang dan perawat mempersilakan saya pulang dan mengatakan hasil tes akan dikirim kepada dokter keluarga kami. Dengan senang hati saya permisi dan secepat mungkin merogoh tas saya. Ya, saya memang sudah mempersiapkan buah pisang dan jeruk untuk disantap setelah tes selesai. Penderitaan tidak berhenti setelah saya kembali di rumah. Setelah makan siang, sakit di perut masih berlanjut. Namun pukul 13:45 saya harus bekerja menggantikan guru yang sakit di sekolah PAUD Universitas Lausanne. Dengan semangat yang patah-patah sayapun berhasil bekerja siang itu. Terlebih saat bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak itu, semangat saya tidak pernah luntur, walaupun tingkah laku mereka melebihi gemuruh di perut saya sejak pagi ini.

Saturday 28 November 2015

Perempuan tua di lampu merah

Saya pernah menunggu lampu merah berubah menjadi lampu hijau. Seorang perempuan tua dan agak bungkuk berdiri di sebelah saya dengan tongkat di tangan kanannya dan tas kresek penuh dengan barang belanja di tangan kirinya. Lampu hijau menyala, kami mulai menyeberang. Saya memperhatikan langkah perempuan tua ini yang sangat lambat. saya mulai khawatir karena lampu hijau akan segera berubah jadi kuning.dan akan hanya beberapa detik lagi berubah jadi merah. saya mendekati nya dan menanyakan apakah saya bisa membantunya membawakan tas kreseknya. Tanpa melihat wajah saya dia dengan sigap mengatakan « tidak, terimakasih ». Saya pun melanjutkan langkah kaki saya sambil sekali-sekali melihat ke belakang memperhatikan perempuan tua tadi. Dia semakin jauh di belakang saya berjalan dengan lambat (pastinya ga jalan di tempat ya J). Jalanan mulai menanjak dan lagi-lagi saya menoleh ke belakang, dia semakin jauh tertinggal. Sambil sesekali terngiang jawabannya yang tegas dan pasti (tidak,terimakasih). Pelajaran indah yang saya dapat dari kisah ini adalah bahwa kemandirian individu di kota ini sangat tinggi. Berapapun usia anda, selagi anda bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, anda akan melakukannya sendiri. Tidak manja dan tergantung dengan orang lain merupakan prinsip utama untuk bisa hidup mandiri. Saya menyadarinya semenjak saya menjadi guru di sekolah pendidikan anak usia dini di kota ini. Setiap anak dibekali kemandirian sejak usia dini.  Namun ada juga pelajaran yang ngga indah dari kisah ini yaitu saya sebagai penawar bantuan merasa tertolak saat ingin membantu orang lain. Saya merasa terlalu ramah dan terlalu baik terhadap orang lain yang tidak saya kenal. Kisah ini terjadi setelah dua bulan saya tinggal di kota ini. Saat itu saya langsung menyimpulkan bahwa tidak perlu ramah-ramah banget sama orang lain. Padahal ramah itu adalah bawaan lahir saya J. Namun yang sama sekali tidak boleh saya lupakan adalah bahwa perempuan tua itu punya hak untuk menolak bantuan saya. Setiap orang berhak untuk mengungkapkan pendapat terhadap orang lain. Mari belajar untuk menghargai pendapat orang lain baik itu mengenakkan atau mengenegkan J


Tuesday 24 November 2015

Dokterku luar biasa


Setelah tinggal selama dua tahun lebih di kota ini, untuk pertama kalinya saya pergi menemui dokter umum (dokter keluarga) yang sebenarnya sudah terdaftar sejak kedatangan saya di sini. Pemilihan dokter keluarga adalah wajib dilakukan saat mendaftarkan diri pertama kali di salah satu asuransi kesehatan. Saat itu kami sama sekali tidak punya ide untuk memilih siapa yang akan menjadi dokter keluarga kami, namun karena dituntut kewajiban harus memilih salah satu nama dari daftar yang ada kamipun memilih dokter Nicolas Dolivo dengan alasan lokasi prakteknya yang tidak jauh dari tempat kami tinggal. Kenapa baru sekarang menemui dia setelah terdaftar dua tahun ?
Sebenarnya secara umum saya sangat sehat, demikian juga kesan pertama yang dilihat oleh dokter saya. Namun ada dua alasan yang mendorong saya pergi menemui dokter keluarga ini, yaitu alasan kesehatan dan alasan administratif. Dari segi kesehatan saya sering mengalami darah rendah dan selalu sakit perut dan diare setelah minum susu sapi. Dari segi administrasi bahwa saya membutuhkan surat keterangan sehat terbaru dari dokter, yang harus diserahkan kepada pihak sekolah dimana saya akan mulai bekerja bulan januari tahun depan. Sayapun membuat janji bertemu dengan dokter lewat perawat yang sekaligus asisten nya.
Kedatangan saya di tempat praktek dokter ini disambut baik oleh perawat dan kebetulan masih ada pasien lain yang sedang konsultasi dengan dokter di ruangan lain. Sayapun dipersilakan menunggu di ruang tunggu. Saya keluarkan catatan kecil titipan suami yang bisa membantu saya menjelaskan keadaan kesehatan saya dalam bahasa mereka, bahasa perancis. Berselang sepuluh menit kemudian seorang lelaki menggowes kursi rodanya ke arah saya dan menyuruh saya masuk ke ruang konsultasi. Saya bingung dan mulai bertanya dalam hati. Ramah sekali lelaki itu (yang dalam pikiran saya dia adalah pasien yang baru selesai diperiksa oleh dokter)! Sayapun masuk ke ruangan yang ditunjuk olehnya. Tidak ada siapapun yang duduk di balik meja di hadapan saya. Saya tetap berdiri sambil berpikir mungkin dokter saya sedang mempersiapkan diri di ruangan sebelah. Benar sekali, saya dengar beliau sedikit berteriak dari ruangan sebelah meminta saya menunggu dan mengatakan bahwa dia segera datang. Dia tidak ingkar janji, hanya beberapa detik dia sudah di hadapan saya. Dia adalah orang yang sebelumnya menyapa saya di ruang tunggu. Dia adalah dokter yang akan memeriksa saya. Dia adalah dokter keluarga yang kami pilih dua tahun lalu. Dia menyodorkan tangannya dan mengucapkan salam perkenalan. Ya, namanya dokter Nicolas Dolivo. Dokter yang bekerja di atas kursi roda.
Apakah kita, saya, orang lain, anda sebagai pembaca memiliki perasaan yang sama dengan kisah ini? Saya tidak bisa pastikan ya atau tidak. Namun di sini saya hanya ingin membagikan kisah indah yang saya alami. Saya memiliki dokter keluarga yang bekerja dari kursi rodanya. Apakah ini biasa dalam pandangan umum? Secara jujur saya katakan ini tidak biasa! Tapi saya berusaha biasa saat dia memeriksa keadaan saya. Kami berdialog layaknya pasien dan dokter. Terkadang saya memperhatikan dan terkagum dengan kecekatan dia menggowes roda kursinya dari ruangan konsultasi ke ruangan pemeriksaan. Saya menikmati setiap perbincangan dan proses pemeriksaan yang kami buat. Saya menemukan kenyamanan saat berbincang dengan dia. Dia mendukung pola hidup sehat yang saya jalankan. Terkadang dia mengoreksi cara saya mengucapkan beberapa kata dalam bahasa perancis. Diapun mengingatkan apakah saya sudah pernah disuntik vaksin cacar, karena saya akan bekerja dengan anak kecil. Pemeriksaan selesai dengan hasil sementara bahwa tekanan darah saya memang rendah. Namun dia tidak menganjurkan saya untuk mengkonsumsi obat hanya untuk menaikkan tekanan darah. Saya hanya disarakankan untuk minum air putih dan menjaga pola makan. Kunjungan saya akhiri dengan pengambilan beberapa cc darah oleh perawat dan saya diberikan kertas pertemuan untuk memeriksa intoleransi laktosa di laboratorium minggu berikutnya. Sepanjang perjalanan pulang saya masih terharu bangga bahwa seorang yang biasa seperti saya diperiksa oleh dokter yang luar biasa. 

Saturday 16 May 2015

Lausanne, kota ramah anak

Setelah tinggal selama 22 bulan di kota ini, 10 bulan magang di PAUD dan sekarang menjadi guru pengganti di PAUD saat guru tetap berhalangan, serta menjadi pendamping anak di sela-sela waktu kosong, saya semakin yakin dengan julukan yang saya kasih untuk kota ini, kota yang ramah bagi anak. Ya, Lausanne adalah kota yang ramah anak. Bagaimana tidak saya memberi julukan ini!Saya melihat dan menikmati semua kenyamanan ini, saya orang dewasa yang bekerja untuk anak saja senang, nyaman dan puas apalagi anak yang menjadi subjek penikmat!Dan karena penasaran dengan julukan ini saya coba ketik di google betulkah kota ini kota yang ramah bagi anak. Dan hasilnya adalah bahwa pada tahun 2006 UNICEF Swiss memberikan sertifikat dan julukan untuk kota Lausanne, kota terbesar pertama di negara Swiss, provinsi pertama di Swiss roman yang ramah bagi anak.

Tentunya ada berbagai alasan kuat mengapa UNICEF Swiss memberikan julukan ini. Secara pribadi saya akan memaparkan alasan saya memberikan julukan ini.
Secara geografis kota Lausanne berada di tepi danau Leman (umum: danau Genewa), dimana pemerintah sudah mengatur cara pendirian bangunan di tepi danau. Sehingga banyak terdapat taman dan pantai yang rapi dan bersih di sepanjang tepi danau. Ketika anak dibawa bermain ke tepi danau, mereka bisa berlari, bermain dan menikmati keindahan danau dengan sepuasnya. Di daerah pelabuhan berjejer kapal-kapal milik pribadi yang tentunya menarik bagi anak. Ada juga kapal-kapal besar yang dipakai sebagai transportasi umum. Selain itu banyak terdapat unggas danau, seperti angsa, bebek, dan bermacam burung yang biasanya mencari makan di tepian danau. Jumlah mereka tidak sedikit terkadang seorang anak akan kewalahan ketika unggas-unggas ini datang menghampiri. Biasanya di musim panas, anak-anak akan berenang dan bermain pasir dan kerikil di pantai-pantai tepi danau ini . Indah bukan?
Kita akan beranjak ke taman umum yang disediakan oleh pemerintah. Taman-taman ini bisa ditemukan hampir secara rata di setiap sudut kota. Fasilitas yang disediakan pun beragam, untuk anak-anak, dewasa dan orangtua. Di taman bermain untuk anak biasanya dibangun sarana permainan yang selalu disesuaikan dengan umur anak. Dan semua fasilitas ini gratis!Orangtua atau pendamping anak hanya bertugas untuk mendampingi dan mengawasi anak masing-masing. Fasilitas ini sangat bagus untuk memenuhi kebutuhan anak aktif dan juga bisa bermain dengan anak-anak lain. Biasanya, orangtua yang tidak bekerja akan membawa anak mereka ke taman-taman bermain ini. Apabila akhir pekan tiba dan cuaca baik, taman-taman ini akan ramai sekali.
Bagi anak-anak yang kedua orangtuanya bekerja, tidak merasa kesulitan karena di kota Lausanne terdapat banyak garderie/ “daycare”/PAUD atau tempat penitipan anak bagi anak yang berusia 3 bulan hingga 4 tahun yang dikelola oleh swasta juga pemerintah. Bagi anak yang sudah masuk sekolah yaitu mulai dari umur 4 tahun, pemerintah juga menyediakan tempat khusus yang disebut APEMS atau kegiatan non formal di luar jam sekolah. Pendidik yang bekerja di Garderie dan APEMS tersebut juga tidak asal sembarang pendidik. Untuk bisa menjadi pendidik di sekolah-sekolah non formal ini, mereka harus melalui sistem pendidikan formal juga. Untuk menjadi asisten pendidik harus kuliah selama dua tahun dan untuk menjadi pendidik harus kuliah selama tiga tahun. Tentunya pelajaran yang didalami adalah mengenai perkembangan dan pendidikan anak. Dengan adanya sekolah-sekolah non formal ini, orangtua yang bekerja tidak perlu khawatir mengenai kegiatan anaknya sepanjang hari.
Selain itu, kelebihan kota Lausanne bagi anak-anak adalah banyaknya museum yang bagus bagi penambahan pengetahuan anak. Selain bisa pergi bersama orangtua, biasanya di sekolah ada program kunjungan museum oleh guru sesuai dengan mata pelajaran penuntut. 
Dari segi transportasi, bagi saya pribadi kota Lausanne sangat baik, teratur dan ramah bagi setiap umur khususnya untuk anak dan orang lanjut usia. Di dalam bus, metro, kereta dan kapal selalu disediakan area dengan tanda kereta dorong atau kursi roda. Begitu pula saat akan turun dari bus, ada tombol dengan simbol kereta dorong bayi yang memberikan tanda bahwa akan ada bayi yang akan turun dari bus, si pengemudi akan merendahkan posisi bus sehingga karena bisa turun dengan lancar, dan sebaliknya mau naik ke dalam bus. Kenyamanan ini menguntungkan bagi orangtua. Itu sebabnya di pusat kota Lausanne akan banyak terlihat orangtua yang mendorong anak mereka dengan kereta bayi tanpa harus khawatir mengenai ketidaknyamanan dan tanpa harus menggendong anak sepanjang jalan.
Masih banyak kenyamanan dan keramahan lain dari kota ini untuk anak-anak. Di lain waktu saya akan menulisnya secara detail dan tentunya ketika motivasi untuk menulis saya sedang baik. Heheh, selamat menikmati tulisan dan foto-foto kota Lausanne. Semoga keramahan ini bisa dialami oleh anak-anak lain di dunia.Salam ramah anak :)



Thursday 19 February 2015

Nama adalah identitas bagi anak

Masih berlanjut soal cara memanggil nama, tapi kali ini cara memanggil nama bagi anak oleh orang dewasa termasuk oleh orangtuanya. Lagi-lagi tulisan ini adalah hasil refleksi pribadi yang kadang menggelitik namun juga gerah dalam kepalaku. Sekali lagi, ini bukan sindiran tetapi karena keinginan untuk berbagi dengan pembaca baru juga pembaca setia blog ini.
Pemberian nama bagi setiap anak yang baru lahir pastinya membutuhkan usaha dan cara beragam. Ada orangtua yang sibuk bertanya ke sana ke mari, membaca dalam buku kumpulan nama-nama bayi, mencari di dalam internet, meminta masukan dari orang-orang yang lebih tua dan banyak cara lainnya. Nama-nama yang terpilih dan akhirnya diberikan kepada anak juga beragam, ada yang pendek, sedang, panjang dan sangat-sangat panjang. Ini hanyalah nama depan. Belum bagi suku-suku tertentu yang memiliki budaya memberikan nama keluarga di belakang nama depan dan ada juga istilah nama baptis untuk agama tertentu.
Adapun setiap orangtua memiliki maksud di balik pemilihan nama bagi anak mereka. Setiap nama akan memiliki arti masing-masing. Nama indah dengan arti yang lebih indah lagi menjadi simbol adanya harapan kebaikan di baliknya. Banyak orangtua berharap bahwa apabila anak menyandang nama yang indah dengan arti yang indah, dia akan menjadi orang yang baik, bijaksana, sopan, berhasil, makmur, jaya, sentosa, bahagia di masa depannya. Mau satu contoh satu nama yang agak panjang? Misalnya saja nama saya sebelum menikah Fatmawati Indah Lestari Girsang. Saya memiliki tiga nama depan. Fatma yang berarti bunga teratai, wati yang berarti perempuan, Indah yang berarti menarik/enak dipandang, Lestari yang berarti selalu hidup subur dan terawat, sedangkan Girsang adalah nama keluarga/marga batak yang saya sandang dari bapak saya. Nah apabila disambungkan artinya kira-kira demikian: seorang perempuan yang menarik enak dipandang mata seperti bunga teratai yang subur anak dari bapak Girsang. Aduh bagus sekali bukan? Saya yakin pasti masih banyak contoh nama-nama yang bagus dan menarik lainnya yang disandangkan kepada anak.
Sebenarnya apa hal yang menggelitik dalam kepala saya yang membawa saya pada niat untuk berceloteh lewat tulisan ini?Jelas sekali karena keindahan nama pemberian orangtua ini. Anak yang menyandang nama sedemikian panjang dan indah mungkin bangga memiliki nama panjang dengan arti yang bagus. Namun apakah orangtua semuanya konsisten dengan nama yang dia  sandangkan bagi anak?Akhir-akhir ini tidak sedikit orangtua yang baru memiliki anak, dengan bangga mengunggah foto anak mereka di media sosial dengan penjelasan tulisan nama anak yang panjang dan indah. Bblablablabla......Yang membuat saya tersenyum pahit adalah saat si ibu memberikan nama kecil untuk anaknya “si pesek”. Supaya lebih jelas lagi dia dengan bangga membalas komentar teman-temannya dengan penjelasan yang mengarahkan mereka menilai hiduang anaknya, “iya lho lihat aja tuh hidungnya pesek banget”. Kemudian ditimpali oleh teman-temannya lagi: “si pesek nan cantik”, “si pesek tapi putih”.  Hampir setiap hari foto anaknya diunggah dalam media sosial ini dengan tulisan penjelasan: si pesek lagi minum, si pesek lagi bobo,dan blablablabla...
Nama-nama panggilan ini tidak hanya tercipta dengan melihat kekurangan anak, sebaliknya juga ada yang memanggil anaknya dengan sebutan “si mancung kami”, “si putih kami”, "si gendut", "si montok", "si cantik", "si ganteng" dan biasanya ditambah dengan komentar pujian seperti: iya mancung banget hidungnya, kayak bule. Ada juga yang sangat drastis: putih banget ya padahal bapak-mamanya itam dekil. Atau dengan pujian lain: wah rambutnya lurus kayaknya tuh, gak keriting kayak bapaknya. Blablablabla....
Dengan nama panggilan yang dianggap “lucu” ini saya menjadi teringat dengan contoh-contoh lain yang sebenarnya banyak sekali saya jumpai bahkan saya alami semasa kecil. Sampai saat ini masih jelas saya ingat nama panggilan bagi saya oleh saudara-saudara saya waktu itu “si birong”, “si birong galot”,  yang artinya si hitam, si hitam seperti babi hutan. Memasuki masa SMP saya dipanggil “si tepos” oleh beberapa teman laki-laki. Memasuki masa SMA saya dipanggil “si rambut singa” oleh beberapa teman perempuan. Memasuki masa kuliah saya dipanggil “si batak” oleh beberapa teman nongkrong, karena aksen berbicara saya. Sepertinya masa pergaulan saya tidak lepas dari nama panggilan yang melekat dengan fisik dan penampilan luar saya. Apakah hanya saya yang mengalami hal seperti ini? Saya yakin tidak!!
Pemberian nama panggilan yang mengarah ke fisik anak sepertinya menjadi hal biasa bagi beberapa orang dewasa. Motifnyapun mungkin beragam, mungkin ada yang ingin kelihatan lucu, mungkin juga ingin mempertegas keadaan fisik si anak. Namun taukah kita (orang dewasa), di balik nama-nama yang kita anggap lucu tersebut akan berakibat tidak baik baik anak?Tidak hanya sebatas teringat seperti halnya saya sekarang, tetapi jauh lebih lagi. Anak yang dipanggil dengan nama-nama yang mengarah kepada penilaian fisiknya akan tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri dan juga sebaliknya akan tumbuh menjadi anak yang tinggi hati. Menilai fisik orang lain akan menjadi hal biasa bagi anak. Anak akan melihat manusia dari cara orangtuanya menilai dia. Tidak heran juga banyak anak akan memilih teman bermainnya dari fisik atau penampilan luarnya. Contoh yang lebih bahaya lagi adalah anak akan heran melihat bahwa ada suku lain yang memiliki warna kulit, ukuran hidung, dan jenis rambut yang berbeda.
Apakah hal-hal yang saya paparkan di atas hal sepele?Saya rasa tidak. Mari kita amati di sekitar kita, banyak orang dewasa yang dulunya adalah “anak”  yang menyandang nama-nama indah pemberian orangtua, mungkin di masa pertumbuhannya dia menyandang nama panggilan yang merujuk ke fisiknya, mungkin juga dia tumbuh dalam keluarga yang memberikan nama panggilan “lucu” bagi ornaglain, semuanya hanya kemungkinana. Sehingga banyak saya amati manusia yang menjadi komentator-komentator rasis di media. Mereka berdebat dan berkomentar dengan mengangkat suku, agama, aliran, warna kulit, keturunan, bentuk tubuh, jenis rambut, bentuk hidung, dan blablablabla....ah sudahlah, saya sedih!!
Dan apa kabar nama-nama indah yang disandangkan oleh orangtua kepada anak?Mungkin mereka hanya tinggal nama :I



Thursday 12 February 2015

Perbedaan cara memanggil nama

Kali ini saya akan menulis tentang perbedaan lain yang mencolok di antara negara saya, Indonesia dan negara tempat tinggal saya sekarang, Swiss. Sekali lagi buat para pembaca baru ataupun yang setia mengikuti blog saya, ini hanyalah hasil observasi dan adaptasi saya di tempat baru. Jadi, isi blog saya ini sesuai fakta namun saya tidak mengharuskan anda untuk setuju dengan tulisan saya. Tujuan saya selalu pada satu hal: ingin berbagi J
Hal yang paling membingungkan saat pertama kali berkunjung ke sini adalah bagaiman cara memanggil calon mertua saya? Saya yang asli suku batak sudah hafal sejak kecil, panggilan untuk calon mertua perempuan adalah namboru dan panggilan untuk calon mertua laki-laki adalah mangkela. Tapi mereka bukanlah suku batak, jadi saya tanya Patrick boleh atau tidak saya  memanggil mereka dengan ibu dan bapak saja(tentunya ibu dan bapak dalam bahasa perancis, madame et monsieur). Dia menjelaskan kalau panggilan tersebut terlalu formal dan kaku, tidak menunjukkan kedekatan. Panggilan ini berlaku untuk orang yang kita temui/berpapasan di jalan, di toko, di kantor, atau untuk pengajar di sekolah formal. Saya tawarkan kembali, atau mungkin dengan istilah mama dan papa (maman et papa), dia malah tertawa dan bilang itu panggilan ke orangtua oleh anak. Dia menyuruh saya untuk memanggil orangtuanya dengan nama masing-masing saja. Mereka akan merasa dihormati apabila saya memanggil mereka dengan nama masing-masing. Saya bersikukuh bilang bahwa lidah saya tidak sanggup untuk menyebut nama mereka. Dalam budaya suku batak, menyebut nama orangtua adalah satu hal yang pantang. Nama orangtua berada pada tempat suci dan tidak tersentuh J. Hingga enam bulan mengenal mertua saya, akhirnya seiring dengan masa adaptasi, saya berhasil memanggil nama mereka dengan jelas dan tanpa malu-malu. Sebelumnya saya hanya berkomunikasi tanpa menyebut nama langsung saat memanggil mereka. Saat saya jelaskan kepada orangtua saya, mereka heran dan bilang tidak sopan memanggil mertua dengan menyebut nama. Saya berusaha menjelaskan budaya di negara ini memang seperti itu dan mereka samasekali tidak keberatan.
Cara ini juga berlaku bagi anak-anak yang di tempat saya bekerja. Mereka memanggil pendidik anak dengan nama masing-masing. Tanpa embel-embel, ibu, bapak, abang, kakak, mas,mba atau seperti sebutan lain yang biasa saya pakai di negara saya. Di sela-sela diskusi saat makan bersama, mereka juga sering saling bertanya nama orangtua masing-masing dan dengan bangga mereka akan menyebutkan nama orangtua dari temannya. Saya yang duduk di dekat mereka juga tidak terlewat dari interogasi ini. “Fatma, nama mamamu siapa? Terus nama papamu?”. Saya dengan tersenyum memberitahu mereka nama mama dan papa saya. Situasi ini membawa ingatan saya ke masa kecil dimana saat duduk di SD, saya dan teman-teman saling mengejek dengan nama orangtua masing-masing. Tidak sedikit di antara kami akhirnya menangis karena nama orangtuanya disebutkan dan kami akan malu karena teman yang lain akhirnya tahu siapa nama orangtua kami. Begitu berharganya nama orangtua bagi anak-anak di desa saya sehingga dijaga dengan sangat rahasia J
Contoh lain yang teraktual akhir-akhir ini adalah panggilan untuk saya yang diberikan oleh anak-anak teman saya. Mereka adalah anak-anak hasil kawin campur, mama mereka orang Indonesia dan papa mereka orang Swiss. Karena hasil kawin campur, anak-anak ini bisa berbahasa indonesia dan perancis dengan lancar. Setiap bertemu saya selalu usahakan berbahasa indonesia kepada mereka. Mereka memanggil saya dengan sebutan tata/tante Fatma. Namun terkadang lidah kami keseleo dan akhirnya kami juga berbahasa perancis dan dengan otomatis mereka memanggil saya dengan sebutan Fatma, tanpa embel-embel lagi. Saya hanya bisa tertawa :D sambil memberitahu kepada ibunya.
Contoh lain adalah minggu lalu saat saya melakukan satu hari observasi calon anak dampingan saya bersama mamanya. Anak ini juga merupakan anak hasil kawin campur, mamanya orang Korea dan papanya orang Belanda. Saat kami berjalan-jalan menikmati matahari di tepi danau, sambil berkomunikasi dengan anaknya dengan bahasa korea saya mendengar istilah Fatma nuna. Dia menjelaskan kepada saya bahwa Fatma nuna artinya kakak perempuan bernama Fatma. Hampir sama dengan di Indonesia, budaya di Korea juga tidak elok memanggil orang yang lebih tua dengan menyebut nama langsung, harus selalu menggunakan embel-embel oppa, nuna dll. Saya lagi-lagi tersenyum J
Contoh-contoh yangs aya paparkan di atas merupakan fakta yang memberikan ruang refleksi bagi saya. Anak-anak ini jelas memiliki dua budaya yang tertanam di dalam dirinya, budaya yang menjadi identitasnya di masa depan.  Memang setiap suku dan bangsa memiliki cara, kebiasaan dan budaya masing-masing, tanpa harus menilai rendah atau menilai tinggi satu dengan yang lain. Hanya saja dibutuhkan keinginan untuk belajar beradaptasi J

Wednesday 11 February 2015

Anak membuang makanan

Penting bagi anak anda untuk tahu cara makan. Mungkin awal-awal akan kacau. Anda tidak akan nyaman melihat semua berantakan, tetapi hal ini merupakan bagian dari usaha anak anda menjadi mandiri. Apabila anda tidak ingin waktu makan berubah menjadi waktu yang buruk, maka jangan hukum anak anda ketika dia tidak ingin makan atau makanan berantakan kemana-mana.

Sebenarnya kenapa anak membuang makanan?

Beberapa anak lebih tertarik dengan mainan daripada makanan atau mereka memiliki kesulitan untuk duduk tenang dalam waktu tertentu sehingga reaksi yang mereka tunjukkan adalah dengan membuang makanan.
-     -  Mungkin ini adalah tanda kalau anak anda sudah kenyang dan ingin selesai makan. Coba untuk tidak pusing dengan seberapa banyak dia makan: dia makan berarti dia lapar. Jangan berikan dia makanan manis atau cemilan terlalu berat selama dua jam sebelum makan, kalau tidak dia pasti tidak akan lapar lagi saat waktunya makan.
-      - Dia mencoba mencari perhatian anda. Cobalah beri perhatian pada anak anda dan berikan pujian saat dia membuat gerakan yang baik.

Bagaimana caranya mencegah agar anak tidak membuang makanan?

-    - Tarik piring yang ada di depannya secara berkala saat dia ingin membuang makanan dan anda bisa katakan bahwa membuang makanan tidak baik. Dia akan perlahan mengerti bahwa tidak dibenarkan membuang makanan. Cobalah bersabar :)
    - Ajak anak anda untuk ikut membantu anda membersihkan makanan yang berantakan.

Tuesday 10 February 2015

Perbedaan cara memberi makan pada anak

Di negara saya , Indonesia, bisa dibilang banyak anak makan tidak di meja makan. Orangtua atau pengasuh anak memberi makan anak di luar rumah sambil dibawa jalan-jalan sore menggunakan kereta dorong atau sambil bermain gelantungan di taman. Ada juga yang memberi makan di ruang tamu sambil menghidupkan televisi atau sambil anak bermain di lantai dan akhirnya main kejar-kejaran. Cara-cara tersebut kebanyakan bertujuan agar anak mau makan. Jalan-jalan, mainan, televisi atau aktivitas lain dilakukan untuk mengalihkan perhatian anak pada konsentrasi makan. “katanya” biar anak tidak sadar pas disuap/disogok makanan ke dalam mulutnya. Banyak orangtua yang pusing atau takut apabila anak tidak mau makan atau tidak berhasil makan dengan baik. Sehingga biasanya cara lainpun akan dicari agar anak berhasil makan. Cara unik lain adalah dengan membawa anak jalan-jalan dengan mobil keliling kompleks sambil disuap dengan makanan. Setelah makanan habis barulah kembali ke rumah. Tidak jarang pula anak akhirnya makan makanan yang dingin karena membutuhkan waktu berjam-jam untuk menghabiskannya. Dari keseluruhan cara ini, pastinya anak tidak makan dengan tangan sendiri. Orangtua atau pengasuh yang bertugas menyuap/menyogok makanan ke dalam mulut anak. Sedangkan tangan anak hanya diam atau sibuk dengan mainan yang sudah disediakan. Tidak sedikit anak yang hingga umur 5 tahun masih disuap dengan cara-cara di atas setiap jam makan. Sehingga orangtua harus membagi waktu untuk menyuap anak dan makan untuk dirinya sendiri. Beberapa orangtua mengambil langkah menyuapi anak dengan alasan agar makanan tidak berserakan di lantai dan akhirnya mengotori lantai. Sehingga tidak perlu repot lagi membersihkannya.
Lalu, bagaimana dengan cara memberi makan anak di negara Swiss? Sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya bekerja di sekolah PAUD di negara ini, saya akan berbagi sedikit bagi anda yang penasaran. Mungkin bagi orang yang belum tahu akan melihat ini sebagai cara yang kaku atau sebaliknya. Mari kita lihat perbedaanya. Sebelum jam makan, anak akan diingatkan kira-kira beberapa menit lagi waktunya makan. Kemudian orang dewasa akan menyiapkan meja dan peralatan makan sesuai dengan jumlah orang yang makan. Kursi untuk anak akan disesuaikan dengan usianya. Anak bayi yang belum bisa duduk akan diberi makan di kursi khusus dengan posisi berbaring, sedangkan anak yang sudah bisa duduk akan duduk di kursi bayi yang ukuran dan bentuknya berbeda dengan kursi orang dewasa. Sebelum makan biasanya orang dewasa akan menjelaskan dengan singkat menu yang tersedia. Waktunya makan, tidak semua anak bayi yang duduk bersama orangtua akan makan dengan sendok yang sudah disediakan. Bayi usia 7 bulan-1,5 tahun mulai belajar makan sendiri dengan menggunakan tangan. Orang dewasa akan dengan pengertian mengarahkan tangannnya menggunakan sendok, walaupun akhirnya anak akan mencoba meraih makanan sendiri dan memasukkan ke mulutnya dengan tangan. Sedangkan anak yang sudah berusia di atas 1,5 tahun tahun biasanya sudah mulai lancar makan sendiri dengan sendok dan pisau pemotong makanan. Apakah dengan cara ini ada jaminan lantai akan bersih dari makanan jatuh?Tidak samasekali!Pasti selalu ada makanan yang jatuh ataupun air minum yang tumpah. Sambil makan, biasanya akan ada diskusi di meja makan, antara anak dan orang dewasa atau antara anak-anak itu sendiri. Ada dinamika, canda, tawa dan sopan santun yang tercipta. Misalnya saat anak meminta makanan tambahan dia akan meminta dengan kata tolong dan ditutup dengan kata terimakasih. Tentunya anak akan disarankan tidak bernyanyi saat waktunya makan atau tidak bermain dengan alat-alat makan di depannya. Dari kebiasaan ini saya mempelajari banyak hal baik dan berniat menulisnya sebagai bentuk refleksi.
Sekali lagi, kebiasaan yang baik sejak kecil akan memberi hasil yang baik bagi masa depan anak.
Mari belajar bersama :)



Saturday 31 January 2015

Permainan asah memori anak

1.      Jumlah peserta                : 5 anak + 1 orang dewasa (pendidik)
2.      Usia                               : 2,5-4 tahun
3.      Materi                            : Kain penutup, Lagu pengiring
4.     Target                            : Memancing memori anak untuk menebak siapa di antara teman mereka yang sembunyi di balik kain penutup
5.   Peraturan permainan      : Anak-anak berdiri dan saling bergandengan tangan membentuk lingkaran. Pendidik menjelaskan peraturan permainan.
-        Anak- anak berbaring dengan wajah ke lantai dan menutup mata
-        Anak yang di bawah kain penutup harus tetap diam tidak bersuara
-        Anak-anak yang lain tidak diperbolehkan menyentuh kain penutup
-        Harus ada jarak yang cukup antara satu anak dengan anak yang lain
Kita mulai permainannya:
-   Pendidik menyanyikan satu lagu dan meminta anak-anak berbaring di lantai,  wajah menghadap ke bawah dan kedua mata ditutup
-       Sambil bernyanyi, pendidik memastikan apakah setiap anak sudah menutup mata dengan baik
-        Pendidik akan memilih satu anak dan menutupinya dengan kain
-       Sambil bernyanyi dan menyerukan agar anak-anak buka mata dan berdiri kecuali anak yang ditutupi kain harus tetap berbaring di lantai
-        Anak-anak akan mencoba menebak siapa teman yang berada di bawah kain penutup
-    Permainan akan selesai ketika mereka berhasil menebak ataupun ketika anak-anak tidak berhasil menebak, pendidik akan membantu mereka dengan pertanyaan mudah
6.      Kesulitan                  :
-        Anak-anak sangat antusias dan meminta untuk dipilih dan ditutupi di bawah kain.
-        Anak-anak sulit untuk terus menutup mata, kadang ada anak yang penasaran untuk melihat siapa anak yang ditutupi oleh pendidik
7.      Alternatif                 : permainan ini bisa dilakukan dengan benda lain. Misalnya dengan memilih 5 objek berbeda dan simpan satu objek di dalam kain. Kemudian minta anak untuk menebak objek yang disembunyikan.
Selamat bermain J


Monday 26 January 2015

Memiliki anak: kewajiban, pemberian atau pilihan?

Pernahkan anda, para perempuan ketika bertemu dengan teman, saudara atau orang yang baru anda kenal ditanya dengan pertanyaan berikut: Udah punya anak belum?Udah punya anak berapa?Mau anak berapa?Ngga pengen nambah lagi?Emang udah umur berapa? Dan bla..bla...bla... Dan apa reaksi dalam hati anda?Apakah anda santai, senang, marah, kesal, sedih atau mungkin malu? semenjak menikah, saya sudah sering mendengar pertanyaan ini dari teman, saudara, ataupun orang yang baru saya kenal.
Bagi beberapa orang memiliki anak adalah kewajiban setelah menikah. Kewajiban sebagai ”istri yang baik” Hadiah untuk suami dan mertua. Di negara saya di Indonesia, biasanya setelah menikah satu bulan, anda akan ditanyakan sudah isi belum?apabila jawaban anda udah, dengan wajah penuh selidik si penanya akan bilang: wah tokcer dong!!yang artinya suami anda wow!!reaksi lain akan anda terima saat anda menjawab belum. Si penanya akan semakin selidik, kok belum?KB ya? Kalo belum pernah punya anak jangan KB dulu, ntar susah lho dapat anaknya. Atau ada juga yang dengan penuh nasehat akan bilang: kenapa harus ditunda, kasian entar usia anaknya jauh banget dari usia orangtuanya, ngga bisa jadi teman main dong! Dengan reaksi-reaksi yang di atas, masih nyamankah anda berdiskusi? Mungkin kalau anda adalah orang yang memiliki pemikiran yang sama bahwa “memiliki anak adalah kewajiban”, anda pastinya akan larut dalam percakapan.  Namun apabila anda bukanlah salah satu pengikut paham ini, apakah anda berhenti merespon pertanyaan tersebut?
Nah coba sekarang anda bayangkan keadaan lain,  apabila anda adalah seorang perempuan yang sudah menikah beberapa tahun. Tiba-tiba anda didisuguhi pertanyan sudah punya momongan?Emang udah berapa tahun nikahnya?Oh, berdoa aja mba pasti dikasih suatu saat. Mungkin anda akan bereaksi  dengan mengucapkan kalimat:sedikasinya, tergantung rencana yang di atas, udah berusaha tapi belum waktunya kali.  Dalam suasana ini terlihat jelas si penanya dan yang ditanya sama-sama meyakini memiliki anak adalah pemberian. Karena keduanya akhirnya mengarahkan pembicaraan mereka ke ranah keyakinan. Tidak sedikit juga teman yang curhat bahwa ingin sekali punya anak, udah coba berbagai cara tapi belum isi juga. Ada nada sedih dalam pernyataan mereka namun harapan lebih terpancar jelas.
Fakta lain di masyarakat bahwa ada kelompok perempuan meyakini bahwa memiliki anak adalah pilihan. Pilihan untuk menyatakan iya, belum atau tidak. Apakah kening anda berkerut saat membaca bagian ini?Kalau benar, itu adalah reaksi normal. Saya adalah bagian dari kelompok perempuan ini. Saya tidak segan untuk memberikan jawaban berbeda dengan orang lain ketika banyak teman dan saudara yang menanyakan ini. Biasanya sudah mempersiapkan  jawaban yang menurut saya logis dan berharap penerima jawaban juga puas dengan jawaban saya. Jawabnn saya juga sebenarnya berevolusi. Reaksi yang saya terima juga beragam. Dulu saya bagian dari penanya yang penasaran  tersebut. Namun seiring dengan proses adaptasi di negara Swiss dimana saya tinggal sekarang, pemikiran saya mulai berubah. Apakah lebih baik? Saya tidak bisa menjawabnya. Karena realita di masyarakat tidak melulu perempuan menikah, wajib langsung hamil,  melahirkan dan membesarkan anak.
Tiga prinsip memiliki anak di atas adalah fakta di dalam masyarakat. Namun hal yang paling penting dari semuanya adalah apakah kita sebagai perempuan sudah tahu bahwa sebelum memiliki anak kita sebaiknya membekali diri mengenai tanggungjawab sebagai orangtua yang menghadirkan anak di dunia ini. Tanggungjawab bukan melulu soal materi tetapi banyak hal di dalamnya termasuk, psikologi yang baik sebagai orangtua, pengetahuan orangtua akan hak-hak anak, pengetahuan akan lingkungan yang ramah dan aman bagi anak, dan bekal pendidikan bagi anak. Semua hal ini tidak didapatkan dengan tanpa usaha. Banyak cara yang bisa membantu anda mencari informasi dan pengetahuan mengenai hal ini, salah satunya dengan membaca lewat media apapun. Hanya dibutuhkan kemauan anda untuk bertanya pada diri sendiri: apakah saya sudah siap menjadi orangtua yang bertanggungjawab? Renungkan pertanyaan ini dan hanya anda yang bisa mengetahui jawabannya. Orangtua yang mau berefleksi dan belajar akan menjadi orangtua yang menghasilkan anak-anak bahagia.

Salam cinta untuk anak-anak


Friday 23 January 2015

Mitos tentang Kekerasan

Berbagai Mitos Tentang Kekerasan

Banyak pandangan yang salah mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Pandangan ini antara lain yang membuat perempuan yang dianiaya pasangannya mengalami kesulitan. Pandangan yang populer tetapi salah ini, biasa disebut mitos. Mitos itu sejenis dongeng, suatu ceritera yang tidak berdasar kenyataan, bahkan bertentangan dengan kenyataan. Sekaranglah saatnya kita melihat fakta yang sebenarnya mengenai kekerasan dalam rumah tangga.

MitosKekerasan dalam rumah tangga jarang terjadi.
Fakta1 dari setiap 3 istri pernah mengalami kekerasan dalam     rumah tangga

Mitos: Kekerasan dalam rumah tangga dilakukan oleh suami atau     pasangan yang berpendidikan rendah.
FaktaMemukuli  istri  tidak hanya dilakukan orang yang tidak bersekolah atau berpendidikan rendah. Pemukulan istri juga terjadi dalam keluarga-keluarga berpendidikan tinggi. Misalnya seorang ekonom terkenal yang meraih gelar doktor dari sebuah universitas ter-kemuka di AS, sering memukuli istrinya kalau sang istri melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya.

MitosKekerasan dalam rumah tangga hanya terjadi di keluarga-keluarga miskin.
FaktaPengalaman di seluruh dunia memperlihatkan bahwa pemu-kulan istri adalah persoalan yang terjadi di semua lapisan masyarakat, dalam banyak budaya, dan semua golongan umur, berbagai tingkat pendidikan dan status sosial dalam masyarakat.

Mitos: Urusan  rumah  tangga  adalah  urusan pribadi dan yang terjadi di dalamnya bukan urusan orang lain/luar.
Fakta: Penyerangan adalah kriminal; masyarakat secara keseluruhan bertanggung-jawab atas perbuatan kriminal. Kekerasan bukanlah sesuatu yang wajar dalam rumah tangga. Manakala seseorang diperlakukan kejam, pelaku kehilangan haknya atas ruang pribadi. Meskipun perkawinan adalah persetujuan pribadi, bebas dari penyerangan adalah masalah hak asasi manusia.
MitosKalau perempuan tidak suka, ia bisa pergi meninggalkan pasangannya.
Fakta: Biasanya untuk pergi meninggalkan keluarga, perempuan yang dipukuli menghadapi kesulitan yang amat besar. Sebagian penyebabnya ialah takut pembalasan dari lelaki, keter-gantungan keuangan (kalau ia tidak bekerja), tidak ada tempat yang dituju, khawatir akan masa depan anak-anak, kepercayaan diri yang rendah, kurangnya dukungan, tidak mau menghancurkan perkawinan dan kadang-kadang karena mencintai si lelaki dan tidak mau mengakhiri perkawinan; hanya menginginkan diakhirinya kekerasan.

Mitos: Pelaku tidak bisa mengendalikan ke- kerasan yang dilakukannya
Fakta: Sebagian orang yang suka memukul istri juga menyerang orang lain di luar rumah. Sebagian besar dari mereka, bisa mengendalikan kekerasannya terhadap orang lain. Mereka memilih melakukan kekerasan terhadap istri.

MitosPerempuan memancing-mancing kekerasan dengan mengomel, dan tindakan-tindakan menjengkelkan lainnya.
FaktaIni bukanlah alasan untuk memaklumi kekerasan. Tidak seorangpun patut dipukul. Kita tidak menyalahkan korban perbuatan jahat lainnya. Misalnya kita tidak menyalahkan korban pembu-nuhan, sebagai penyebab pembunuhan. Dalam banyak kasus, perempuan terbangun dari tidur karena dipukuli atau dihajar dari belakang tanpa peringatan terlebih dahulu.

Mitos: Seseorang yang kasar & suka memukul pasti kelihatan dari penampilannya.
FaktaSesorang yang suka menganiaya perempuan, justru tidak           tampak sebagai orang yang suka memukul. Ia dapat saja             tampil rapi, bertutur sapa sopan dan lembut terhadap orang       lain, tetapi sebaliknya, terhadap istrinya ia dapat berlaku       sangat kejam.- 


Thursday 22 January 2015

Autobiografi sang pendidik

Nama saya Fatmawati Indah Lestari Stuby. Nama yang panjang dan ini menjadi kebiasaan di negara saya memberi nama depan dua sampai tiga. Fatma yang berarti bunga lotus, wati berarti seorang perempuan, Indah berarti cantik, dan lestari berarti abadi. Perempuan seperti bunga lotus yang abadi. Saya bangga dengan nama panjang dan indah pemberian orangtua ini. Saya lahir pada tanggal 20 januari 1984 di sebuah desa kecil di tepi danau toba, desa Bage, Sumatera Utara, Indonesia. Suku tradisional saya adalah suku batak. Saya memiliki keluarga besar, ayah, ibu, tiga saudara perempuan dan dua saudara laki-laki. Jumlah yang normal pada jaman dulu. Dalam suku batak, ada satu prinsip/pandangan bahwa dengan memiliki banyak anak akan membawa banyak rejeki dalam keluarga di masa depan. Saya tidak terlalu setuju dengan prinsip ini yang berarti bahwa anak menjadi objek untuk mencari kekayaan, Tetapi dalam pandangan yang berbeda saya temukan bahwa dalam sebuah keluarga yang besar terdapat dinamika yang berbeda, berbagi satu dengan yang lain dan tidak  lepas dari perbedaan pendapat.
Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga harmonis namun disiplin. Ibu saya dulu seorang guru di sekolah dasar di desa saya. Dia mengajar selama 38 tahun lamanya. Asal ibu saya bukanlah dari desa Bage, namun pemerintah yang menempatkan dia di sekolah ini setelah dia menyelesaikan sekolah pendidikan guru di universitas. Dia menikah dengan ayah saya, seorang laki-laki asli dari desa ini. Ayah saya bekerja sebagai petani bawang merah, tomat, jeruk dan sayuran lainnya. Setelah selesai mengajar di sekolah, ibu saya selalu membantu ayah di ladang. Kami semua anak-anak mereka pergi bersama ke kebun, ini harus dilakukan. Semua anak-anak di kampung saya melakukan hal yang sama setelah sekolah. Kehidupan sangat berat untuk orangtua saya karena mereka harus menghidupi enam orang anak.
Desaku sangat terpencil dan jauh dari kota. Dapat diakses dengan menggunaan kapal lewat danau atau juga dengan mobil lewat darat. Bukit di kiri kanan, danau luas di depan dan perkampungan berada di tengah. Dulu waktu saya kecil belum ada pelayanan listrik, kebanyakan penduduk memakai lampu dari gas atau lampu dari minyak tanah. Kampung akan menjadi gelap dan sepi ketika malam sudah turun. Namun karena orangtua saya membuka usaha warung, bapak membeli mesin genset untuk menghasilkan listrik, sehingga kami masih bisa menonton berita dan hiburan lewat televisi. Terdapat sekitar 200 rumah di kampung ini dengan rata-rata setiap rumah memiliki anak 4-6 orang. Satu sekolah dasar, satu gereja suku dan satu gedung terbuka untuk pertemuan dan acara tradisional juga sumber air minum umum. Masyarakat di desa saya beraktivitas dengan cara bergotong-royong, misalnya bekerja bersama di ladang dan mendapat upah atau sebaliknya akan membalas dengan kembali bekerja di ladang yang lain.
Masa kecil saya di kampung sangat indah dan menyenangkan, walaupun jauh dari sentuhan modernisasi. Sebelum saya masuk sekolah dasar, saya selalu bermain bersama teman-teman kecil saya di halaman rumah, melakukan permainan tradisional yang sedang musim. Kadang di siang hari yang terik kami akan berlari ke sungai dengan air yang jernih dan berendam di sana. Namun setelah saya mulai besar, dalam usia sembilan tahun saya sudah diajak orangtua untuk membantu di ladang. Sebagai anak petani saya tidak memiliki pilihan saat itu, seperti halnya anak-anak yang lain di desa saya. Biasanya setelah pulang sekolah pukul satu siang saya langsung makan siang dengan cepat dan bersiap pergi ke ladang bersama dengan kakak-kakak saya dan bekerja hingga jam lima sore. Di hari minggu saat sekolah libur, saya dan teman-teman dekat berkumpul dan melakukan berbagai kesenangan, seperti berenang bersama di danau, bermain petak umpet, mengerjakan tugas dari sekolah, jalan-jalan ke bukit di tepi danau dan juga belajar memasak. Suasana dan kondisi ini yang membentuk saya menjadi seorang anak yang suka dengan alam, bersosialisasi, bertualang dan memiliki impian yang tinggi.
Selain bermain, sejak kecil saya suka membaca buku-buku cerita dan juga majalah-majalah kepunyaan ibu. Ibu seorang yang suka membaca dan kebiasaan itu juga yang saya tiru. Saya selalu meminta ibu untuk meminjam buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah dan saya membacanya hingga selesai dan terkadang hingga berulang-ulang. Cerita yang paling saya suka dari kecil adalah cerita tentang keluarga, tentang hubungan manusia dengan alam dan binatang.  Menurut cerita dari orangtua, saya masuk sekolah dasar di usia lima tahun. Saat itu saya sudah bisa membaca di rumah karena termotivasi dengan kakak-kakak saya. Setiap mereka pergi ke sekolah saya akan menangis minta sekolah. Karena di desa kami tidak ada taman anak-anak, maka orangtua saya mengikuti kemauan saya untuk mulai masuk di sekolah dasar. Saya adalah orang yang paling muda di kelas hingga enam tahun di sekolah dasar. Namun ini tidak menjadi masalah karena saya mengikuti pelajaran dengan baik seperti halnya teman-teman saya yang lain.
Ada satu hal yang sangat berkesan dalam kehidupan saya semasa duduk di sekolah dasar. Saat saya kelas empat berumur 9 tahun, ada kelompok mahasiswa dari kota yang melakukan praktek kerja nyata di desa saya. Mereka berjumlah sepuluh orang dengan anggota lima laki-laki dan lima perempuan dengan jurusan pendidikan yang bermacam-macam. Kegiatan yang mereka buat adalah mengajar di kelas-kelas, mengajar tambahan di malam hari dan juga mengunjungi petani di ladang. Saat itu saya sangat antusias dengan kehadiran mereka, selain karena mereka orang dari kota juga karena mereka membuat suasana pengajaran di sekolah menjadi lebih hidup. Kami bermain dan belajar dengan sistem yang berbeda dan lebih terasa menyenangkan. Di malam hari saya dan beberapa teman selalu mendatangi tempat tinggal mereka, belajar dan mengerjakan pekerjaan tugas dari sekolah. Kami sungguh bahagia. Selama dua bulan keberadaan mereka di desa kami, menghidupkan api semangat dalam diri saya. Saya mengagumi kebaikan, keramahan dan pekerjaan mereka. Setelah kepulangan mereka, saya berkhayal bahwa suatu hari saya ingin melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan. Saya ingin mengajar anak-anak di kampung-kampung yang jauh dari perkotaan seperti halnya saya diajar oleh mereka. Saya merasakan bahwa apa yang mereka lakukan membahagiakan dan menyenangkan saya dan teman-teman saya di desa. Saya ingin hidup saya seperti mereka, berguna bagi orang lain yang membutuhkan.
Masa sekolah dasar berakhir saat saya di usia 11 tahun dan saya harus pindah ke rumah nenek di desa Tanjung Pasir, enam jam perjalanan dari desa Bage. Ini harus terjadi karena di desa saya tidak ada smp. Berpisah dengan teman-teman sepermainan membuat saya sedih. Semua anak di desa saya berpisah dengan orangtuanya dan tinggal di asrama,rumah kost atau saudara di kota lain. Ini sebuah pengorbanan yang besar yang harus dilakukan demi untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Bagi saya berpisah dengan orangtua di usia yang masih sangat muda merupakan suatu pengalaman besar dan berpengaruh dalam kehidupan saya. Tiga tahun hidup bersama dengan seorang nenek yang sangat disiplin dan tegas. Terkadang saya harus menahan perasaan rindu yang mendalam terhadap orangtua, namun saat itu ada kakak-kakak saya yang juga tinggal bersama di rumah nenek membuat kehidupan lebih lengkap. Namun kami juga punya tugas yang sama seperti di desa saya, setelah pulang sekolah saya dan kakak-kakak saya juga wajib pergi ke ladang membantu nenek menanam jagung dan merawatnya. Saya juga menemukan hal-hal baru dalam kehidupan yang baru. Suasana yang baru dengan kendaraan yang setiap hari melintas tidak jauh dari rumah nenek, bahasa yang baru karena bahasa daerah di desa saya berbeda dengan bahasa daerah di desa nenek, teman-teman baru, belajar bersepeda juga belajar olahraga baru. Di sekolah ini juga pertama kalinya saya belajar bahasa asing yaitu bahasa inggris. Saya sangat antusias dengan bahasa ini sehingga saya mengikuti kursus bahasa inggris setelah pulang sekolah. Saya menemukan teman-teman baru lagi di tempat kursus dan pertemanan kami membawa motivasi bagiku. Mereka adalah anak-anak yang hidup di kota yang lebih modern sejauh satu jam perjalanan dari desa nenek.
Kedekatan saya dengan anak kecil diawali di tempat ini, dimana setiap akhir pekan saya dan kakak-kakak saya berkunjung ke rumah tante dan om saya yang memiliki lima anak, dua anak diantaranya masih bayi. Tante dan om saya memiliki usaha warung, jadi saya dan kakak-kakak saya bertugas menjaga anak bayi mereka. Mulai dari mengganti popok, memberi makan, bermain hingga menggendong di saat menangis. Pengalaman pertama bagi seorang anak remaja seperti saya namun saya menikmatinya. Hubungan saya dengan sepupu-sepupu kecil saya sangat baik dan dekat. Sehingga setiap akhir pekan merupakan waktu yang selalu saya tunggu untuk bertemu dengan sepupu-sepupu saya. Mereka memanggil saya dan kakak-kakak saya dengan sebutan kakak. Ini merupakan cara panggil yang sopan di negara saya terhadap saudara yang lebih tua dan saya memanggil mereka adik, panggilan sopan untuk saudara yang lebih muda. Namun di hari libur panjang kami akan pulang ke desa Bage untuk mengunjungi orangtua kami dan membantu mereka bekerja di ladang. Bantuan kami di masa liburan panjang akan sangat berguna bagi mereka.
Tiga tahun berlalu di desa nenek, saya akhirnya harus pindah lagi. Berpisah dengan teman-teman, adik-adik sepupu, yang saya kenal selama tiga tahun ini. Saya melanjutkan SMA di kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Kota terbesar ke tiga di negara Indonesia. Kehidupan semakin modern dengan penduduk yang sangat padat. Tahun pertama di kota ini saya tinggal bersama dengan abang, kakak perempuan ke tiga dan adik laki-laki saya. Sejauh saya masih bersama dengan saudara kandung saya masih merasa nyaman. Namun di tahun ke dua saya di SMA, abang saya harus pergi mencari kerja di kota Jakarta, Ibukota negara Indonesia. Orangtua merasa bahwa kami tidak aman tanpa ada orang yang lebih dewasa di rumah kami tinggal, sehingga kami bertiga akhirnya pindah ke rumah om dan tante masih di kota yang sama. Om dan tante saya memiliki tiga anak, dua anak SD dan satu masih berumur dua tahun. Kehidupan baru tinggal satu rumah dengan anak kecil, menambah pemahaman saya tentang mereka. Saya bermain dan belajar bersama mereka. Saya mempelajari karakter dan perkembangan mereka selama satu tahun.
Akhirnya kakak ketiga saya harus lanjut ke universitas di kota lain, saya juga pindah tempat tinggal ke rumah kost di dekat sma saya. Adik saya juga akhirnya pindah dengan saudara lain di dekat smpnya. Kehidupan tanpa saudara kandung sedang saya mulai. Saya tinggal dengan teman sma lain di dalam rumah kost milik suami istri yang masih muda Kami sering menghabiskan waktu bersama di luar sekolah, kami menjadi saudara karena tinggal bersama. Di tahun kedua dan ketiga SMA saya mengikuti kegiatan kelompok siswa pecinta alam dimana saya menemukan kembali teman-teman baru yang memiliki hobbi yang sama. Di akhir pekan dan waktu libur kami biasanya pergi ke gunung dan berkemah di sana. Kami anak-anak remaja yang sedang belajar mengenal alam. Saat melakukan pendakian ke gunung pula saya mengenal diri saya yang sesungguhnya, juga melihat karakter teman-teman saya. Kegiatan pergi ke gunung tidak biasa dilakukan oleh orang umum, kami pecinta petualangan dianggap aneh dan kurang kerjaan serta mengejar bahaya. Inilah kesan yang kami dapatkan. Namun , aktivitas ini menyenangkan dan saya menemukan jati diri sebagai anak kampung yang dekat dan bersahabat dengan alam.
Kehidupan baru dibuka lagi, saya lulus dan diterima di universitas negeri di kota Medan, dimana untuk masuk saja kami bersaing dengan ribuan murid sma lain. Ini suatu kebanggan bagi saya terutama orangtua saya. Karena dengan saya masuk universitas negeri, mereka tidak akan membayar uang sekolah yang mahal dan inilah yang diimpikan banyak murid terutama orangtua. Saya bertemu teman-teman baru lagi, kami bersama di Fakultas Ilmu Sosial dan jurusan yang saya ambil administrasi negara. Namun seiring waktu berjalan saya merasa kehidupan saya masih kurang. Saya tidak menikmati pelajaran yang diberikan, saya sering merindukan kakak-kakak saya yang hidup di tempat lain di pulau Jawa, pulau yang hanya bisa saya bayangkan dan lihat di peta.  Saya mulai berperang dalam hati, saya berpikir ulang akan masa depan saya bila saya lanjut dengan jurusan administrasi negara, saya akan bekerja menjadi aparatur negara? bekerja di pemerintahan? Sedangkan impian saya yang dulu waktu sd, saya ingin berbagi dengan anak-anak yang membutuhkan khususnya anak-anak di daerah yang tertinggal. Akhirnya saya putuskan untuk ikut tes ujian masuk universitas negeri lagi, walaupun ini hanya spekulasi dan kecil harapan bahwa saya akan diterima. Namun saat saya melihat nama saya tertulis di koran pengumuman, saya hampir tidak percaya. Saya lulus di salah satu universitas negeri terbaik di negara Indonesia, tepatnya di kota Yogyakarta. Orangtua saya kembali bahagia walaupun mereka bingung dengan piliha saya, fakultas filsafat. Seperti di negara lain, di negara saya juga ada kesan bahwa orang yang belajar filsafat adalah orang yang akan menjadi aneh, stres dan tidak jelas arah hidupnya. Namun saya bahagia, saya akan belajar di kota impian saya, kota yang selama ini hanya singgah dalam bayangan saya.
Kota Yogyakarta dengan motto “berhati nyaman” betul-betul membuat kehidupan saya nyaman. Saya belajar banyak hal baru, budaya baru, orang-orang baru yang beragam, bahasa daerah yang baru, juga alam yang baru. Suasana kampus yang baru membawa aura baru dalam diri saya, saya bergabung dengan kelompok pecinta alam fakultas, saya ikut dalam kegiatan teater dan terkadang berlatih jamming dengan kelompok musik bahkan nongkrong dengan kelompok yang bersenang-senang namun penuh dengan diskusi berat. Alam di pulau Jawa berbeda dengan pulau Sumatera. Mungkin karena banyaknya penduduk dan dekat dengan ibukota, sehingga alam di sini lebih jinak dan mudah diakses. Banyak daerah indah yang sering saya kunjungi, mulai dari pantai, sungai, candi hingga ke gunung. Kehidupan di kota ini juga lebih dinamis, karena beragam suku dari Indonesia bahkan pendatang dari bagian lain dunia tinggal ataupun berkunjung ke kota budaya ini. Saya merasa ini luar biasa, saya mengalami pengalaman yang tidak semua orang bisa alami, termasuk teman-teman kecil saya waktu saya sd hingga smp. Saya berproses dalam kehidupan baru ini, terkadang merasa kesulitan dalam masa adaptasi akhirnya terbiasa lagi.
Saya belajar mengenai pemikiran banyak filsuf yang terkadang membingungkan namun kebanyakan membuat saya terkesima, begitu banyaknya ilmu yang belum saya ketahui. Pemikiran logika, etika dan dialektika menggelitik pikiran saya, kemudian hadir pemikiran sosialisme, kosmologi dan humanisme. Semuanya menarik namun ada kalanya juga saya lelah untuk berpikir hingga akhinrnya saya tersetrum oleh paham feminisme. Saya seperti ditarik masuk ke dalamnya dan saya merasa dekat dengan paham ini. Saya melihat fakta di masyarakat masih banyak perempuan yang tidak mendapatkan hak kesetaraan bahkan masih banyak yang menjadi budak di dalam kehidupan domestik. Ketertindasan perempuan pastinya berpengaruh besar terhadap kehidupan anak-anak mereka, ini jelas berkaitan. Perempuan terpinggirkan, anak terabaikan dan akhirnya akan berpengaruh terhadap kelanjutan hidup anak di masa depan. Banyak perempuan menjadi korban keserakahan penguasa alam. Saya membaca banyak kasus di beberapa daerah, dimana alamnya dikuasai oleh korporasi kaya. Banyak perempuan dan anak korban kerusakan lingkungan, korban pelecehan seksual oleh petugas dna pekerja laki-laki. Ini terjadi di satu pulau terluar di timur Indonesia, Papua.
Di tahun ke dua di universitas saya akhirnya lebih aktif dengan hobbi kegiatan arung jeram dan SAR pantai. Saya menemukan kembali teman-teman baru yang memiliki hobbi yang sama. Kami bermain dan beraktivitas bersama mengikuti alur sungai, belajar membaca arus sungai dan juga kehilangan teman saat kalah oleh derasnya arus sungai. Motto hidup saya mulai terlihat, saya ingin kehidupan yang mengalir seperti aliran sungai. Saya mengenal beberapa teman yang berasal dari pulau Papua, kami banyak berbagi cerita. Dari waktu ke waktu saya semakin tertarik dengan cerita tentang pulau ini, bagaimana kehidupan masyarakat di sana, keindahan alamnya juga kekayaan alamnya yang menarik perhatian oleh dunia international. Hingga suatu hari saya tanya bagaimana cara paling murah untuk bisa mencapai pulau di ujung timur Indonesia ini, karena dorongan yang besar dalam hati saya saya ingin melihat dengan mata kehidupan masyarakat di sana. Suatu saat dalam hidup, saya akan menginjakkan kaki di pulau itu.
Suatu pagi di tahun 2005, tepat tiga bulan setelah Tsunami Aceh, saya mendapat kabar dari abang saya bahwa desa saya terkena dampak gempa Nias, suatu pulau kecil di Sumatera Utara. Air danau naik hingga ke dalam rumah, beberapa rumah jatuh ke dalam danau, termasuk rumah orangtua saya. Ketika itu juga saya menangis dan langsung menghubungi orangtua saya. Saya ingin pulang mendampingi mereka, memeluk mereka untuk mengurangi bebannya, ingin tau keadaan mereka yang sebenarnya. Namun keinginan saya ditolak orangtua dengan alasan bahwa kepulangan saya akan mengganggu perkuliahan saya. Mereka malah menghibur saya yang sedang sedih dan khawatir dengan keadaan mereka. Teman-teman saya juga menyarankan hal yang sama bahwa kalau saya terus bersedih, orangtua saya akan lebih sedih lagi. Akhirnya saya bangkit dari kesedihan dan mencoba semangat kembali. Beberapa bulan setelah kejadian itu, ada pengumuman di dinding administrasi kampus yang mengajak mahasiswa yang memiliki orangtua korban Tsunami dan gempa di Aceh dan Nias untuk mendaftarkan diri sebagai penerima beasiswa dari organisasi di Australia. Saya berhasil mendapat beasiswa tersebut dan saya berkenalan dengan Ibu Pamela Davis sebagai perwakilan dari Australia yang sering datang mengunjungi Indonesia. Ada sebanyak 11 orang mahasiswa yang mendapat beasiswa ini, kami sering berkumpul dan berbagi cerita ketika Ibu Pamela datang ke Yogyakarta. Beasiswa ini sangat membantu meringankan beban orangtua saya, hingga tahun 2007 saya lulus. Saya belajar dari hal ini bagaimana orang baik di Australia mau membantu saya, sehingga di pikiran saya suatu saat saya ingin bekerja bagi orang yang terkena bencana dan membutuhkan. Ini impian yang berikutnya dalam hidup saya.
Tahun ke tiga di universitas, kami wajib melakukan kuliah kerja nyata di desa yang masih tertinggal tetapi masih di pulau Jawa. Saya ditempatkan bersama teman-teman dari fakultas lain di satu desa dengan akses air yang sulit di daerah pegunungan kapur namun dekat pantai selatan lautan Hindia. Dua bulan tinggal bersama masyarakat desa yang polos dan ramah serta berada di tengah alam yang indah, ini suatu pengamalan menarik lainnya alam hidupku. Saya dan teman-teman membuat program yang bisa membantu masyarakat desa. Saya sebagai orang yang fokus pada perempuan dan anak, mengorganisir kegiatan belajar bersama anak-anak di beberapa tempat di desa, menggerakkan jam belajar masyarakat, mendampingi ibu-ibu yang membawa anak untuk imunisasi, membuat program penyuluhan makanan sehat anak balita, mendukung pemerintah dalam pembuatan akta lahir anak, membuat kegiatan cuci tangan dan sikat gigi yang baik di sekolah-sekolah. Di akhir pekan saat banyak wisatawan bermain di pantai dengan ombak yang lumayan tinggi, saya membantu pihak SAR untuk menjaga pantai. Waktu itu terasa waktu paling indah dalam hidup saya, saya merasa berguna hidup di tengah masyarakat, ibu-ibu dan anak. Saya sudah mewujudkan sebagian kecil dari impian saya untuk berbagi dengan anak-anak di daerah tertinggal, seperti halnya dulu waktu sd saya belajar bersama dengan kelompok mahasiswa yang tinggal dua bulan di desa saya.
Setelah lima tahun menyelesaikan kuliah dan mendapat titel sarjana filsafat, saya mulai bingung akan mengerjakan apa. Saya pergi ke pulau Borneo, Kalimantan timur dimana abang, adik dan paman saya tinggal di sana. Awalnya saya berharap bisa bekerja di bidang konservasi lingkungan dan orang utan, namun panggilan tidak kunjung datang. Akhirnya sambil mencari kerja, saya bergabung dalam satu misi relawan dari gereja di pedalaman hutan Kutai Barat. Saya tinggal bersama masyarakat lokal, hidup seperti mereka hidup, bermain dan belajar bersama anak-anak, bergaul dengan ibu-ibu yang ada di desa. Kehidupan mereka di tengah hutan semakin mengajarkan saya bahwa masih banyak orang yang hidup jauh dari modernisasi namun mereka juga memiliki kearifan lokal yang sangat berarti saya pelajari. Hingga empat bulan di sana, orangtua saya menyarankan agar saya mencari pekerjaan yang yang lebih normal di kota besar. Bagi mereka apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan titel saya sebagai sarjana. Demi menghargai orangtua saya, saya akhirnya pindah ke ibukota negara Indonesia, kota Jakarta. Kota yang penuh dengan manusia dari segala pulau di Indonesia, kota yang sangat sibuk pagi, siang hingga malam, kota yang penuh dengan keringat para pekerja, kota yang penuh dengan persaingan dan kejahatan, kota yang sangat kompleks.
Memulai hidup di kota Jakarta, saya akhirnya bekerja sebagai administrator pemantau proses pengiriman barang di sebuah perusahaan penjual alat-alat tambang. Pekerjaan ini jauh dari pekerjaan impian saya selama ini, namun saya masih berusaha mengirimi lamaran pekerjaan ke beberapa LSM yang bekerja di bidang, perempuan, anak dan lingkungan hidup. Jauh di lubuk hati saya, saya berharap suatu saat saya bisa mewujudkannya. Saya tinggal bersama dengan kakak perempuan ke dua yang sudah menikah dan memiliki dua anak balita. Jam empat pagi saya bangun, berangkat dari rumah jam lima pagi, tiba di kantor jam delapan pagi dan bekerja selama delapan jam kembali lagi di rumah jam sembilan malam. Di akhir pekan dan hari libur saya bermain dengan keponakan-keponakan saya, membantunya untuk mengurus anak-anak, mengganti popok, memandikan, memberi makan dan menidurkan mereka. Kembali saya hidup bersama dengan anak-anak dan ini selalu memberikan efek positif dalam kehidupan saya. Namun dinamika kehidupan di kota besar semakin hari membuat saya bosan, saya bekerja hanya untuk mendukung korporasi besar dalam merusak alam, saya malu dengan diri sendiri saat mengingat prinsip “kecintaan saya terhadap alam”.  Hingga suatu sore  saya mendapat email yang berisi panggilan untuk menghadiri wawancara di satu LSM yang berfokus pada kesejahteraan anak. Jantung saya berdegup kencang, apa ini waktunya saya harus bergerak?
Setelah melalui proses seleksi yang sangat panjang, saya berhasil diterima untuk melakukan orientasi selama enam bulan di pulau PAPUA, tepatnya di kota Wamena di pegunungan tengah Jayawijaya. Apakah saya bermimpi, tidak!ini kenyataan, saya akan pergi selama enam bulan melakukan pekerjaan yang saya impikan di pulau impian saya. Luar biasa bukan proses yang saya jalani?Saya percaya ada kekuatan roh kudus dalam hidup saya, ya, ada Tuhan bekerja dalam setiap rencana saya. Menginjakkan kaki di pulau paling timur Indonesia, dengan keindahan alam yang luar biasa yang selama ini hanya ada dalam bayangan saya, darah dalam tubuh saya bergelora. Enam bulan berjalan dengan banyak pengalaman, masyarakat tradisional yang hidup di pegunungan, anak-anak yang sangat ramah dan antusias dengan orang baru, konflik antar suku yang tidak diduga kapan terjadi, aksen bahasa yang berbeda dengan Indonesia bagian barat, dan udara yang dingin di malam hari. Saya belajar beradaptasi dengan kehidupan baru yang menakjubkan ini. Saatnya kembali ke kota Jakarta untuk melakukan evaluasi dan menentukan nasib apakah saya bisa melanjutkan pekerjaan di LSM ini atau tidak diterima. Dari hasil laporan saya selama di lapangan dan dari rekomendasi atasan saya di sana, saya akhirnya diterima bekerja di LSM World Vision Indonesia dengan kontrak selama dua tahun ditempatkan di kota Wamena, Papua. Saya memang suka hidup di kota ini, keputusan ini sangat membahagiakan saya. Saya kembali bersyukur untuk rentetan sukacita ini.
Visi kami untuk setiap anak hidup utuh sepenuhnya, doa kami untuk setiap hati tekad untuk mewujudkannya (Our vision for every child, life in all its fullness, our pray for every heart the will to make it so), inilah visi LSM di mana saya pernah bekerja selama dua tahun. Semua kegiatan dan program yang dilakukan berfokus pada  pemenuhan hak anak. Anak yang kami dampingi berumur 0-18 tahun. Saat itu saya bertugas sebagai koordinator pengembangan masyarakat di desa-desa. Proyek yang saya tangani adalah proyek pendidikan, nutrisi dan kesehatan reproduksi. Kegiatan sehari-hari saya bertemu dan belajar bersama dengan anak dan masyarakat. Mendampingi tutor-tutor yang mengajar di taman-kanak-kanak, memfasilitasi guru-guru sd untuk berlatih cara mengajar yang lebih menyenangkan bagi murid, mendampingi puskesmas dalam melatih pada kader-kader kesehatan, memberikan penyuluhan pengolahan makanan bergizi, mengajar anak-anak remaja mengenai kesehatan reproduksi, HIV&AIDS, serta mengikuti berbagai pelatihan yang terkait dengan pekerjaan saya.
Selama bekerja sebagai agen perubahan di daerah ini tentunya saya menghadapai banyak tantangan, diantaranya akses jalan menuju desa-desa tidaklah mulus, harus melalui jalan darat yang kadang berlobang, jembatan yang putus, sungai yang banjir, longsor dari perbukitan, mendaki ke pegunungan, rumah yang jauh satu dengan yang lain, kegiatan yang terkadang harus dibatalkan karena peserta tidak hadir ataupun karena adanya acara di desa, penolakan dari masyarakat terhadap kedatangan tim ke desa juga sering terjadi konflik antar suku yang berakibat buruk bagi keselamatan saya dan tim. Namun di sisi lain yang lebih membuka hati adalah hubungan yang terjadi antara saya, masyarakat, anak-anak dan alam di sini menjadi sangat akrab. Anak-anak akan berteriak dengan nyaring “kakak fatma” setiap melihat kedatangan saya, atau masyarakat yang akan selalu memberikan salam setiap bertemu di jalan. Keramahan masyarakat di daerah ini mengajarkan saya arti tulus sebuah kasih. Senyuman di wajah mereka selalu membuat saya bahagia, saya akhirnya berguna bagi orang lain.
Masa bekerja dalam LSM dari pagi hingga sore hari dan ketika tiba di rumah saya melanjutkan mengajar anak-anak yang berasal dari kompleks tempat tinggal saya. Pada awalnya hanya dua orang yang sering menyapa saya dan teman satu rumah ketika sepeda kami tiba di halaman rumah. Dua anak ini sepertinya ingin mengenal kami, kamipun mengajak masuk ke rumah dan memberikan buku cerita untuk dibaca. Keesokan harinya jumlah anak semakin bertambah dan terus bertambah, hingga berjumlah 20 anak dari usia 2 tahun hingga 11 tahun. Saya dan teman membeli peralatan untuk belajar, menggambar juga membeli buku-buku cerita untuk anak. Ruang tamu kami berubah menjadi ruang belajar bagi anak-anak. Saya dan teman melihat ini kesempatan baik untuk berbagi dan belajar banyak hal dengan lebih dekat. Kami membuat jadwal untuk tema pertemuan setiap sore hari. Tidak lupa juga saya yang peduli dengan kesehatan memanfaatkan situasi ini untuk memberikan pendidikan kesehatan bagi mereka. Mulai dari belajar mencuci tangan dengan baik, sikat gigi, nasihat untuk selalu mandi, mengganti pakaian juga menjaga kebersihan alat vital. Jam belajar yang kami habiskan biasanya sekitar dua jam. Terkadang orangtua mereka datang mengantarkan anaknya yang kecil untuk bergabung dengan anak-anak yang lain dan setelah selesai akan dijemput kembali. Selama proses belajar ini saya mengamati banyak perubahan yang lebih baik dalam diri anak-anak ini, menjadi lebih bersih, lebih sopan, lebih suka membaca, bergaul dengan baik dan berani berpendapat. Sungguh hasil yang saya tidak pernah bayangkan namun ini nyata di hadapan saya. Mereka memanggil saya dan teman saya “ibu guru”. Setiap sore hari mereka sudah menunggu di pintu gerbang rumah dan akan berlari mengejar saat melihat sepeda kami datang. Mereka akan bertanya “ibu guru belajar, sekarang belajar? Ada yang melapor “saya sudah mandi bu guru”. Kebersamaan ini sekali lagi sangat membahagiakan, dan lagi saya ucapkan dalam hati saya bahagia ketika berguna bagi anak-anak yang membutuhkan. Dua tahun berlalu dan saya memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja di kota ini. Berat berpisah dengan mereka namun saya bangga kami sudah melalui kebersamaan yang indah.
Saya pindah ke negara lain, yaitu ke Kota Kinabalu, Malaysia. Saya membantu tunangan saya menjadi relawan selama tiga bulan di daerah pegunungan Sabah. Saya berbagi mengenai kebersihan dan kesehatan reproduksi untuk anak-anak imigran dari Indonesia dan juga mengajar bahasa inggris untuk anak-anak di pedalaman Borneo. Kami menikmati pelajaran ini dan kebersamaan ini. Setelah tiga bulan saya tidak bisa melanjutkan ijin tinggal, akhirnya saya memutuskan untuk belajar bahasa perancis di IFI Yogyakarta. Saya kembali belajar di kota di mana saya membangun mimpi-mimpi saya. Tiga bulan belajar bahasa saya pergi ke kota Jakarta dan tinggal dengan kakak ketiga saya yang memiliki anak berumur satu tahun. Sambil mengurus visa keberangkatan saya ke negara Swiss, saya membantu kakak saya menjaga anaknya, mengganti popok, memberi makan, memandikan, bermain serta jalan-jalan sore. Waktu keberangkatan sayapun tiba, saatnya meninggalkan negara, keluarga, sahabat, anak-anak yang ada di hati saya. Berat bagi saya namun saya harus memulai hidup baru bersama dengan kekasih hati saya.
Hidup baru di negara baru, budaya baru, bahasa baru, makanan baru, alam yang baru dan kembali membutuhkan adaptasi yang panjang. Tentu saja ini berat, namun saya melihat hidup yang sudah saya lewati, selalu berpindah dari satu kota ke kota lain, namun saya selalu berhasil beradaptasi dengan baik. Sambil kembali belajar bahasa perancis, saya memikirkan pekerjaan apa yang ingin saya lakukan di masa depan. Hidup selama tiga puluh tahun sudah cukup bagi saya untuk mengenali jati diri saya, ketertarikan saya, bakat dan minat saya. Saat ini saya yakin hati dan jiwa saya tetap untuk anak-anak, saya hanya ingin selalu bekerja untuk anak-anak, saya ingin selalu berguna bagi anak-anak, saya merasa hidup ketika bersama dengan anak-anak, saya bahagia bersama mereka. Saya putuskan untuk menjadi pendidik yang baik untuk anak-anak di negara ini dan mungkin bagi anak-anak lain di seluruh dunia.