Saturday 31 January 2015

Permainan asah memori anak

1.      Jumlah peserta                : 5 anak + 1 orang dewasa (pendidik)
2.      Usia                               : 2,5-4 tahun
3.      Materi                            : Kain penutup, Lagu pengiring
4.     Target                            : Memancing memori anak untuk menebak siapa di antara teman mereka yang sembunyi di balik kain penutup
5.   Peraturan permainan      : Anak-anak berdiri dan saling bergandengan tangan membentuk lingkaran. Pendidik menjelaskan peraturan permainan.
-        Anak- anak berbaring dengan wajah ke lantai dan menutup mata
-        Anak yang di bawah kain penutup harus tetap diam tidak bersuara
-        Anak-anak yang lain tidak diperbolehkan menyentuh kain penutup
-        Harus ada jarak yang cukup antara satu anak dengan anak yang lain
Kita mulai permainannya:
-   Pendidik menyanyikan satu lagu dan meminta anak-anak berbaring di lantai,  wajah menghadap ke bawah dan kedua mata ditutup
-       Sambil bernyanyi, pendidik memastikan apakah setiap anak sudah menutup mata dengan baik
-        Pendidik akan memilih satu anak dan menutupinya dengan kain
-       Sambil bernyanyi dan menyerukan agar anak-anak buka mata dan berdiri kecuali anak yang ditutupi kain harus tetap berbaring di lantai
-        Anak-anak akan mencoba menebak siapa teman yang berada di bawah kain penutup
-    Permainan akan selesai ketika mereka berhasil menebak ataupun ketika anak-anak tidak berhasil menebak, pendidik akan membantu mereka dengan pertanyaan mudah
6.      Kesulitan                  :
-        Anak-anak sangat antusias dan meminta untuk dipilih dan ditutupi di bawah kain.
-        Anak-anak sulit untuk terus menutup mata, kadang ada anak yang penasaran untuk melihat siapa anak yang ditutupi oleh pendidik
7.      Alternatif                 : permainan ini bisa dilakukan dengan benda lain. Misalnya dengan memilih 5 objek berbeda dan simpan satu objek di dalam kain. Kemudian minta anak untuk menebak objek yang disembunyikan.
Selamat bermain J


Monday 26 January 2015

Memiliki anak: kewajiban, pemberian atau pilihan?

Pernahkan anda, para perempuan ketika bertemu dengan teman, saudara atau orang yang baru anda kenal ditanya dengan pertanyaan berikut: Udah punya anak belum?Udah punya anak berapa?Mau anak berapa?Ngga pengen nambah lagi?Emang udah umur berapa? Dan bla..bla...bla... Dan apa reaksi dalam hati anda?Apakah anda santai, senang, marah, kesal, sedih atau mungkin malu? semenjak menikah, saya sudah sering mendengar pertanyaan ini dari teman, saudara, ataupun orang yang baru saya kenal.
Bagi beberapa orang memiliki anak adalah kewajiban setelah menikah. Kewajiban sebagai ”istri yang baik” Hadiah untuk suami dan mertua. Di negara saya di Indonesia, biasanya setelah menikah satu bulan, anda akan ditanyakan sudah isi belum?apabila jawaban anda udah, dengan wajah penuh selidik si penanya akan bilang: wah tokcer dong!!yang artinya suami anda wow!!reaksi lain akan anda terima saat anda menjawab belum. Si penanya akan semakin selidik, kok belum?KB ya? Kalo belum pernah punya anak jangan KB dulu, ntar susah lho dapat anaknya. Atau ada juga yang dengan penuh nasehat akan bilang: kenapa harus ditunda, kasian entar usia anaknya jauh banget dari usia orangtuanya, ngga bisa jadi teman main dong! Dengan reaksi-reaksi yang di atas, masih nyamankah anda berdiskusi? Mungkin kalau anda adalah orang yang memiliki pemikiran yang sama bahwa “memiliki anak adalah kewajiban”, anda pastinya akan larut dalam percakapan.  Namun apabila anda bukanlah salah satu pengikut paham ini, apakah anda berhenti merespon pertanyaan tersebut?
Nah coba sekarang anda bayangkan keadaan lain,  apabila anda adalah seorang perempuan yang sudah menikah beberapa tahun. Tiba-tiba anda didisuguhi pertanyan sudah punya momongan?Emang udah berapa tahun nikahnya?Oh, berdoa aja mba pasti dikasih suatu saat. Mungkin anda akan bereaksi  dengan mengucapkan kalimat:sedikasinya, tergantung rencana yang di atas, udah berusaha tapi belum waktunya kali.  Dalam suasana ini terlihat jelas si penanya dan yang ditanya sama-sama meyakini memiliki anak adalah pemberian. Karena keduanya akhirnya mengarahkan pembicaraan mereka ke ranah keyakinan. Tidak sedikit juga teman yang curhat bahwa ingin sekali punya anak, udah coba berbagai cara tapi belum isi juga. Ada nada sedih dalam pernyataan mereka namun harapan lebih terpancar jelas.
Fakta lain di masyarakat bahwa ada kelompok perempuan meyakini bahwa memiliki anak adalah pilihan. Pilihan untuk menyatakan iya, belum atau tidak. Apakah kening anda berkerut saat membaca bagian ini?Kalau benar, itu adalah reaksi normal. Saya adalah bagian dari kelompok perempuan ini. Saya tidak segan untuk memberikan jawaban berbeda dengan orang lain ketika banyak teman dan saudara yang menanyakan ini. Biasanya sudah mempersiapkan  jawaban yang menurut saya logis dan berharap penerima jawaban juga puas dengan jawaban saya. Jawabnn saya juga sebenarnya berevolusi. Reaksi yang saya terima juga beragam. Dulu saya bagian dari penanya yang penasaran  tersebut. Namun seiring dengan proses adaptasi di negara Swiss dimana saya tinggal sekarang, pemikiran saya mulai berubah. Apakah lebih baik? Saya tidak bisa menjawabnya. Karena realita di masyarakat tidak melulu perempuan menikah, wajib langsung hamil,  melahirkan dan membesarkan anak.
Tiga prinsip memiliki anak di atas adalah fakta di dalam masyarakat. Namun hal yang paling penting dari semuanya adalah apakah kita sebagai perempuan sudah tahu bahwa sebelum memiliki anak kita sebaiknya membekali diri mengenai tanggungjawab sebagai orangtua yang menghadirkan anak di dunia ini. Tanggungjawab bukan melulu soal materi tetapi banyak hal di dalamnya termasuk, psikologi yang baik sebagai orangtua, pengetahuan orangtua akan hak-hak anak, pengetahuan akan lingkungan yang ramah dan aman bagi anak, dan bekal pendidikan bagi anak. Semua hal ini tidak didapatkan dengan tanpa usaha. Banyak cara yang bisa membantu anda mencari informasi dan pengetahuan mengenai hal ini, salah satunya dengan membaca lewat media apapun. Hanya dibutuhkan kemauan anda untuk bertanya pada diri sendiri: apakah saya sudah siap menjadi orangtua yang bertanggungjawab? Renungkan pertanyaan ini dan hanya anda yang bisa mengetahui jawabannya. Orangtua yang mau berefleksi dan belajar akan menjadi orangtua yang menghasilkan anak-anak bahagia.

Salam cinta untuk anak-anak


Friday 23 January 2015

Mitos tentang Kekerasan

Berbagai Mitos Tentang Kekerasan

Banyak pandangan yang salah mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Pandangan ini antara lain yang membuat perempuan yang dianiaya pasangannya mengalami kesulitan. Pandangan yang populer tetapi salah ini, biasa disebut mitos. Mitos itu sejenis dongeng, suatu ceritera yang tidak berdasar kenyataan, bahkan bertentangan dengan kenyataan. Sekaranglah saatnya kita melihat fakta yang sebenarnya mengenai kekerasan dalam rumah tangga.

MitosKekerasan dalam rumah tangga jarang terjadi.
Fakta1 dari setiap 3 istri pernah mengalami kekerasan dalam     rumah tangga

Mitos: Kekerasan dalam rumah tangga dilakukan oleh suami atau     pasangan yang berpendidikan rendah.
FaktaMemukuli  istri  tidak hanya dilakukan orang yang tidak bersekolah atau berpendidikan rendah. Pemukulan istri juga terjadi dalam keluarga-keluarga berpendidikan tinggi. Misalnya seorang ekonom terkenal yang meraih gelar doktor dari sebuah universitas ter-kemuka di AS, sering memukuli istrinya kalau sang istri melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya.

MitosKekerasan dalam rumah tangga hanya terjadi di keluarga-keluarga miskin.
FaktaPengalaman di seluruh dunia memperlihatkan bahwa pemu-kulan istri adalah persoalan yang terjadi di semua lapisan masyarakat, dalam banyak budaya, dan semua golongan umur, berbagai tingkat pendidikan dan status sosial dalam masyarakat.

Mitos: Urusan  rumah  tangga  adalah  urusan pribadi dan yang terjadi di dalamnya bukan urusan orang lain/luar.
Fakta: Penyerangan adalah kriminal; masyarakat secara keseluruhan bertanggung-jawab atas perbuatan kriminal. Kekerasan bukanlah sesuatu yang wajar dalam rumah tangga. Manakala seseorang diperlakukan kejam, pelaku kehilangan haknya atas ruang pribadi. Meskipun perkawinan adalah persetujuan pribadi, bebas dari penyerangan adalah masalah hak asasi manusia.
MitosKalau perempuan tidak suka, ia bisa pergi meninggalkan pasangannya.
Fakta: Biasanya untuk pergi meninggalkan keluarga, perempuan yang dipukuli menghadapi kesulitan yang amat besar. Sebagian penyebabnya ialah takut pembalasan dari lelaki, keter-gantungan keuangan (kalau ia tidak bekerja), tidak ada tempat yang dituju, khawatir akan masa depan anak-anak, kepercayaan diri yang rendah, kurangnya dukungan, tidak mau menghancurkan perkawinan dan kadang-kadang karena mencintai si lelaki dan tidak mau mengakhiri perkawinan; hanya menginginkan diakhirinya kekerasan.

Mitos: Pelaku tidak bisa mengendalikan ke- kerasan yang dilakukannya
Fakta: Sebagian orang yang suka memukul istri juga menyerang orang lain di luar rumah. Sebagian besar dari mereka, bisa mengendalikan kekerasannya terhadap orang lain. Mereka memilih melakukan kekerasan terhadap istri.

MitosPerempuan memancing-mancing kekerasan dengan mengomel, dan tindakan-tindakan menjengkelkan lainnya.
FaktaIni bukanlah alasan untuk memaklumi kekerasan. Tidak seorangpun patut dipukul. Kita tidak menyalahkan korban perbuatan jahat lainnya. Misalnya kita tidak menyalahkan korban pembu-nuhan, sebagai penyebab pembunuhan. Dalam banyak kasus, perempuan terbangun dari tidur karena dipukuli atau dihajar dari belakang tanpa peringatan terlebih dahulu.

Mitos: Seseorang yang kasar & suka memukul pasti kelihatan dari penampilannya.
FaktaSesorang yang suka menganiaya perempuan, justru tidak           tampak sebagai orang yang suka memukul. Ia dapat saja             tampil rapi, bertutur sapa sopan dan lembut terhadap orang       lain, tetapi sebaliknya, terhadap istrinya ia dapat berlaku       sangat kejam.- 


Thursday 22 January 2015

Autobiografi sang pendidik

Nama saya Fatmawati Indah Lestari Stuby. Nama yang panjang dan ini menjadi kebiasaan di negara saya memberi nama depan dua sampai tiga. Fatma yang berarti bunga lotus, wati berarti seorang perempuan, Indah berarti cantik, dan lestari berarti abadi. Perempuan seperti bunga lotus yang abadi. Saya bangga dengan nama panjang dan indah pemberian orangtua ini. Saya lahir pada tanggal 20 januari 1984 di sebuah desa kecil di tepi danau toba, desa Bage, Sumatera Utara, Indonesia. Suku tradisional saya adalah suku batak. Saya memiliki keluarga besar, ayah, ibu, tiga saudara perempuan dan dua saudara laki-laki. Jumlah yang normal pada jaman dulu. Dalam suku batak, ada satu prinsip/pandangan bahwa dengan memiliki banyak anak akan membawa banyak rejeki dalam keluarga di masa depan. Saya tidak terlalu setuju dengan prinsip ini yang berarti bahwa anak menjadi objek untuk mencari kekayaan, Tetapi dalam pandangan yang berbeda saya temukan bahwa dalam sebuah keluarga yang besar terdapat dinamika yang berbeda, berbagi satu dengan yang lain dan tidak  lepas dari perbedaan pendapat.
Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga harmonis namun disiplin. Ibu saya dulu seorang guru di sekolah dasar di desa saya. Dia mengajar selama 38 tahun lamanya. Asal ibu saya bukanlah dari desa Bage, namun pemerintah yang menempatkan dia di sekolah ini setelah dia menyelesaikan sekolah pendidikan guru di universitas. Dia menikah dengan ayah saya, seorang laki-laki asli dari desa ini. Ayah saya bekerja sebagai petani bawang merah, tomat, jeruk dan sayuran lainnya. Setelah selesai mengajar di sekolah, ibu saya selalu membantu ayah di ladang. Kami semua anak-anak mereka pergi bersama ke kebun, ini harus dilakukan. Semua anak-anak di kampung saya melakukan hal yang sama setelah sekolah. Kehidupan sangat berat untuk orangtua saya karena mereka harus menghidupi enam orang anak.
Desaku sangat terpencil dan jauh dari kota. Dapat diakses dengan menggunaan kapal lewat danau atau juga dengan mobil lewat darat. Bukit di kiri kanan, danau luas di depan dan perkampungan berada di tengah. Dulu waktu saya kecil belum ada pelayanan listrik, kebanyakan penduduk memakai lampu dari gas atau lampu dari minyak tanah. Kampung akan menjadi gelap dan sepi ketika malam sudah turun. Namun karena orangtua saya membuka usaha warung, bapak membeli mesin genset untuk menghasilkan listrik, sehingga kami masih bisa menonton berita dan hiburan lewat televisi. Terdapat sekitar 200 rumah di kampung ini dengan rata-rata setiap rumah memiliki anak 4-6 orang. Satu sekolah dasar, satu gereja suku dan satu gedung terbuka untuk pertemuan dan acara tradisional juga sumber air minum umum. Masyarakat di desa saya beraktivitas dengan cara bergotong-royong, misalnya bekerja bersama di ladang dan mendapat upah atau sebaliknya akan membalas dengan kembali bekerja di ladang yang lain.
Masa kecil saya di kampung sangat indah dan menyenangkan, walaupun jauh dari sentuhan modernisasi. Sebelum saya masuk sekolah dasar, saya selalu bermain bersama teman-teman kecil saya di halaman rumah, melakukan permainan tradisional yang sedang musim. Kadang di siang hari yang terik kami akan berlari ke sungai dengan air yang jernih dan berendam di sana. Namun setelah saya mulai besar, dalam usia sembilan tahun saya sudah diajak orangtua untuk membantu di ladang. Sebagai anak petani saya tidak memiliki pilihan saat itu, seperti halnya anak-anak yang lain di desa saya. Biasanya setelah pulang sekolah pukul satu siang saya langsung makan siang dengan cepat dan bersiap pergi ke ladang bersama dengan kakak-kakak saya dan bekerja hingga jam lima sore. Di hari minggu saat sekolah libur, saya dan teman-teman dekat berkumpul dan melakukan berbagai kesenangan, seperti berenang bersama di danau, bermain petak umpet, mengerjakan tugas dari sekolah, jalan-jalan ke bukit di tepi danau dan juga belajar memasak. Suasana dan kondisi ini yang membentuk saya menjadi seorang anak yang suka dengan alam, bersosialisasi, bertualang dan memiliki impian yang tinggi.
Selain bermain, sejak kecil saya suka membaca buku-buku cerita dan juga majalah-majalah kepunyaan ibu. Ibu seorang yang suka membaca dan kebiasaan itu juga yang saya tiru. Saya selalu meminta ibu untuk meminjam buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah dan saya membacanya hingga selesai dan terkadang hingga berulang-ulang. Cerita yang paling saya suka dari kecil adalah cerita tentang keluarga, tentang hubungan manusia dengan alam dan binatang.  Menurut cerita dari orangtua, saya masuk sekolah dasar di usia lima tahun. Saat itu saya sudah bisa membaca di rumah karena termotivasi dengan kakak-kakak saya. Setiap mereka pergi ke sekolah saya akan menangis minta sekolah. Karena di desa kami tidak ada taman anak-anak, maka orangtua saya mengikuti kemauan saya untuk mulai masuk di sekolah dasar. Saya adalah orang yang paling muda di kelas hingga enam tahun di sekolah dasar. Namun ini tidak menjadi masalah karena saya mengikuti pelajaran dengan baik seperti halnya teman-teman saya yang lain.
Ada satu hal yang sangat berkesan dalam kehidupan saya semasa duduk di sekolah dasar. Saat saya kelas empat berumur 9 tahun, ada kelompok mahasiswa dari kota yang melakukan praktek kerja nyata di desa saya. Mereka berjumlah sepuluh orang dengan anggota lima laki-laki dan lima perempuan dengan jurusan pendidikan yang bermacam-macam. Kegiatan yang mereka buat adalah mengajar di kelas-kelas, mengajar tambahan di malam hari dan juga mengunjungi petani di ladang. Saat itu saya sangat antusias dengan kehadiran mereka, selain karena mereka orang dari kota juga karena mereka membuat suasana pengajaran di sekolah menjadi lebih hidup. Kami bermain dan belajar dengan sistem yang berbeda dan lebih terasa menyenangkan. Di malam hari saya dan beberapa teman selalu mendatangi tempat tinggal mereka, belajar dan mengerjakan pekerjaan tugas dari sekolah. Kami sungguh bahagia. Selama dua bulan keberadaan mereka di desa kami, menghidupkan api semangat dalam diri saya. Saya mengagumi kebaikan, keramahan dan pekerjaan mereka. Setelah kepulangan mereka, saya berkhayal bahwa suatu hari saya ingin melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan. Saya ingin mengajar anak-anak di kampung-kampung yang jauh dari perkotaan seperti halnya saya diajar oleh mereka. Saya merasakan bahwa apa yang mereka lakukan membahagiakan dan menyenangkan saya dan teman-teman saya di desa. Saya ingin hidup saya seperti mereka, berguna bagi orang lain yang membutuhkan.
Masa sekolah dasar berakhir saat saya di usia 11 tahun dan saya harus pindah ke rumah nenek di desa Tanjung Pasir, enam jam perjalanan dari desa Bage. Ini harus terjadi karena di desa saya tidak ada smp. Berpisah dengan teman-teman sepermainan membuat saya sedih. Semua anak di desa saya berpisah dengan orangtuanya dan tinggal di asrama,rumah kost atau saudara di kota lain. Ini sebuah pengorbanan yang besar yang harus dilakukan demi untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Bagi saya berpisah dengan orangtua di usia yang masih sangat muda merupakan suatu pengalaman besar dan berpengaruh dalam kehidupan saya. Tiga tahun hidup bersama dengan seorang nenek yang sangat disiplin dan tegas. Terkadang saya harus menahan perasaan rindu yang mendalam terhadap orangtua, namun saat itu ada kakak-kakak saya yang juga tinggal bersama di rumah nenek membuat kehidupan lebih lengkap. Namun kami juga punya tugas yang sama seperti di desa saya, setelah pulang sekolah saya dan kakak-kakak saya juga wajib pergi ke ladang membantu nenek menanam jagung dan merawatnya. Saya juga menemukan hal-hal baru dalam kehidupan yang baru. Suasana yang baru dengan kendaraan yang setiap hari melintas tidak jauh dari rumah nenek, bahasa yang baru karena bahasa daerah di desa saya berbeda dengan bahasa daerah di desa nenek, teman-teman baru, belajar bersepeda juga belajar olahraga baru. Di sekolah ini juga pertama kalinya saya belajar bahasa asing yaitu bahasa inggris. Saya sangat antusias dengan bahasa ini sehingga saya mengikuti kursus bahasa inggris setelah pulang sekolah. Saya menemukan teman-teman baru lagi di tempat kursus dan pertemanan kami membawa motivasi bagiku. Mereka adalah anak-anak yang hidup di kota yang lebih modern sejauh satu jam perjalanan dari desa nenek.
Kedekatan saya dengan anak kecil diawali di tempat ini, dimana setiap akhir pekan saya dan kakak-kakak saya berkunjung ke rumah tante dan om saya yang memiliki lima anak, dua anak diantaranya masih bayi. Tante dan om saya memiliki usaha warung, jadi saya dan kakak-kakak saya bertugas menjaga anak bayi mereka. Mulai dari mengganti popok, memberi makan, bermain hingga menggendong di saat menangis. Pengalaman pertama bagi seorang anak remaja seperti saya namun saya menikmatinya. Hubungan saya dengan sepupu-sepupu kecil saya sangat baik dan dekat. Sehingga setiap akhir pekan merupakan waktu yang selalu saya tunggu untuk bertemu dengan sepupu-sepupu saya. Mereka memanggil saya dan kakak-kakak saya dengan sebutan kakak. Ini merupakan cara panggil yang sopan di negara saya terhadap saudara yang lebih tua dan saya memanggil mereka adik, panggilan sopan untuk saudara yang lebih muda. Namun di hari libur panjang kami akan pulang ke desa Bage untuk mengunjungi orangtua kami dan membantu mereka bekerja di ladang. Bantuan kami di masa liburan panjang akan sangat berguna bagi mereka.
Tiga tahun berlalu di desa nenek, saya akhirnya harus pindah lagi. Berpisah dengan teman-teman, adik-adik sepupu, yang saya kenal selama tiga tahun ini. Saya melanjutkan SMA di kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Kota terbesar ke tiga di negara Indonesia. Kehidupan semakin modern dengan penduduk yang sangat padat. Tahun pertama di kota ini saya tinggal bersama dengan abang, kakak perempuan ke tiga dan adik laki-laki saya. Sejauh saya masih bersama dengan saudara kandung saya masih merasa nyaman. Namun di tahun ke dua saya di SMA, abang saya harus pergi mencari kerja di kota Jakarta, Ibukota negara Indonesia. Orangtua merasa bahwa kami tidak aman tanpa ada orang yang lebih dewasa di rumah kami tinggal, sehingga kami bertiga akhirnya pindah ke rumah om dan tante masih di kota yang sama. Om dan tante saya memiliki tiga anak, dua anak SD dan satu masih berumur dua tahun. Kehidupan baru tinggal satu rumah dengan anak kecil, menambah pemahaman saya tentang mereka. Saya bermain dan belajar bersama mereka. Saya mempelajari karakter dan perkembangan mereka selama satu tahun.
Akhirnya kakak ketiga saya harus lanjut ke universitas di kota lain, saya juga pindah tempat tinggal ke rumah kost di dekat sma saya. Adik saya juga akhirnya pindah dengan saudara lain di dekat smpnya. Kehidupan tanpa saudara kandung sedang saya mulai. Saya tinggal dengan teman sma lain di dalam rumah kost milik suami istri yang masih muda Kami sering menghabiskan waktu bersama di luar sekolah, kami menjadi saudara karena tinggal bersama. Di tahun kedua dan ketiga SMA saya mengikuti kegiatan kelompok siswa pecinta alam dimana saya menemukan kembali teman-teman baru yang memiliki hobbi yang sama. Di akhir pekan dan waktu libur kami biasanya pergi ke gunung dan berkemah di sana. Kami anak-anak remaja yang sedang belajar mengenal alam. Saat melakukan pendakian ke gunung pula saya mengenal diri saya yang sesungguhnya, juga melihat karakter teman-teman saya. Kegiatan pergi ke gunung tidak biasa dilakukan oleh orang umum, kami pecinta petualangan dianggap aneh dan kurang kerjaan serta mengejar bahaya. Inilah kesan yang kami dapatkan. Namun , aktivitas ini menyenangkan dan saya menemukan jati diri sebagai anak kampung yang dekat dan bersahabat dengan alam.
Kehidupan baru dibuka lagi, saya lulus dan diterima di universitas negeri di kota Medan, dimana untuk masuk saja kami bersaing dengan ribuan murid sma lain. Ini suatu kebanggan bagi saya terutama orangtua saya. Karena dengan saya masuk universitas negeri, mereka tidak akan membayar uang sekolah yang mahal dan inilah yang diimpikan banyak murid terutama orangtua. Saya bertemu teman-teman baru lagi, kami bersama di Fakultas Ilmu Sosial dan jurusan yang saya ambil administrasi negara. Namun seiring waktu berjalan saya merasa kehidupan saya masih kurang. Saya tidak menikmati pelajaran yang diberikan, saya sering merindukan kakak-kakak saya yang hidup di tempat lain di pulau Jawa, pulau yang hanya bisa saya bayangkan dan lihat di peta.  Saya mulai berperang dalam hati, saya berpikir ulang akan masa depan saya bila saya lanjut dengan jurusan administrasi negara, saya akan bekerja menjadi aparatur negara? bekerja di pemerintahan? Sedangkan impian saya yang dulu waktu sd, saya ingin berbagi dengan anak-anak yang membutuhkan khususnya anak-anak di daerah yang tertinggal. Akhirnya saya putuskan untuk ikut tes ujian masuk universitas negeri lagi, walaupun ini hanya spekulasi dan kecil harapan bahwa saya akan diterima. Namun saat saya melihat nama saya tertulis di koran pengumuman, saya hampir tidak percaya. Saya lulus di salah satu universitas negeri terbaik di negara Indonesia, tepatnya di kota Yogyakarta. Orangtua saya kembali bahagia walaupun mereka bingung dengan piliha saya, fakultas filsafat. Seperti di negara lain, di negara saya juga ada kesan bahwa orang yang belajar filsafat adalah orang yang akan menjadi aneh, stres dan tidak jelas arah hidupnya. Namun saya bahagia, saya akan belajar di kota impian saya, kota yang selama ini hanya singgah dalam bayangan saya.
Kota Yogyakarta dengan motto “berhati nyaman” betul-betul membuat kehidupan saya nyaman. Saya belajar banyak hal baru, budaya baru, orang-orang baru yang beragam, bahasa daerah yang baru, juga alam yang baru. Suasana kampus yang baru membawa aura baru dalam diri saya, saya bergabung dengan kelompok pecinta alam fakultas, saya ikut dalam kegiatan teater dan terkadang berlatih jamming dengan kelompok musik bahkan nongkrong dengan kelompok yang bersenang-senang namun penuh dengan diskusi berat. Alam di pulau Jawa berbeda dengan pulau Sumatera. Mungkin karena banyaknya penduduk dan dekat dengan ibukota, sehingga alam di sini lebih jinak dan mudah diakses. Banyak daerah indah yang sering saya kunjungi, mulai dari pantai, sungai, candi hingga ke gunung. Kehidupan di kota ini juga lebih dinamis, karena beragam suku dari Indonesia bahkan pendatang dari bagian lain dunia tinggal ataupun berkunjung ke kota budaya ini. Saya merasa ini luar biasa, saya mengalami pengalaman yang tidak semua orang bisa alami, termasuk teman-teman kecil saya waktu saya sd hingga smp. Saya berproses dalam kehidupan baru ini, terkadang merasa kesulitan dalam masa adaptasi akhirnya terbiasa lagi.
Saya belajar mengenai pemikiran banyak filsuf yang terkadang membingungkan namun kebanyakan membuat saya terkesima, begitu banyaknya ilmu yang belum saya ketahui. Pemikiran logika, etika dan dialektika menggelitik pikiran saya, kemudian hadir pemikiran sosialisme, kosmologi dan humanisme. Semuanya menarik namun ada kalanya juga saya lelah untuk berpikir hingga akhinrnya saya tersetrum oleh paham feminisme. Saya seperti ditarik masuk ke dalamnya dan saya merasa dekat dengan paham ini. Saya melihat fakta di masyarakat masih banyak perempuan yang tidak mendapatkan hak kesetaraan bahkan masih banyak yang menjadi budak di dalam kehidupan domestik. Ketertindasan perempuan pastinya berpengaruh besar terhadap kehidupan anak-anak mereka, ini jelas berkaitan. Perempuan terpinggirkan, anak terabaikan dan akhirnya akan berpengaruh terhadap kelanjutan hidup anak di masa depan. Banyak perempuan menjadi korban keserakahan penguasa alam. Saya membaca banyak kasus di beberapa daerah, dimana alamnya dikuasai oleh korporasi kaya. Banyak perempuan dan anak korban kerusakan lingkungan, korban pelecehan seksual oleh petugas dna pekerja laki-laki. Ini terjadi di satu pulau terluar di timur Indonesia, Papua.
Di tahun ke dua di universitas saya akhirnya lebih aktif dengan hobbi kegiatan arung jeram dan SAR pantai. Saya menemukan kembali teman-teman baru yang memiliki hobbi yang sama. Kami bermain dan beraktivitas bersama mengikuti alur sungai, belajar membaca arus sungai dan juga kehilangan teman saat kalah oleh derasnya arus sungai. Motto hidup saya mulai terlihat, saya ingin kehidupan yang mengalir seperti aliran sungai. Saya mengenal beberapa teman yang berasal dari pulau Papua, kami banyak berbagi cerita. Dari waktu ke waktu saya semakin tertarik dengan cerita tentang pulau ini, bagaimana kehidupan masyarakat di sana, keindahan alamnya juga kekayaan alamnya yang menarik perhatian oleh dunia international. Hingga suatu hari saya tanya bagaimana cara paling murah untuk bisa mencapai pulau di ujung timur Indonesia ini, karena dorongan yang besar dalam hati saya saya ingin melihat dengan mata kehidupan masyarakat di sana. Suatu saat dalam hidup, saya akan menginjakkan kaki di pulau itu.
Suatu pagi di tahun 2005, tepat tiga bulan setelah Tsunami Aceh, saya mendapat kabar dari abang saya bahwa desa saya terkena dampak gempa Nias, suatu pulau kecil di Sumatera Utara. Air danau naik hingga ke dalam rumah, beberapa rumah jatuh ke dalam danau, termasuk rumah orangtua saya. Ketika itu juga saya menangis dan langsung menghubungi orangtua saya. Saya ingin pulang mendampingi mereka, memeluk mereka untuk mengurangi bebannya, ingin tau keadaan mereka yang sebenarnya. Namun keinginan saya ditolak orangtua dengan alasan bahwa kepulangan saya akan mengganggu perkuliahan saya. Mereka malah menghibur saya yang sedang sedih dan khawatir dengan keadaan mereka. Teman-teman saya juga menyarankan hal yang sama bahwa kalau saya terus bersedih, orangtua saya akan lebih sedih lagi. Akhirnya saya bangkit dari kesedihan dan mencoba semangat kembali. Beberapa bulan setelah kejadian itu, ada pengumuman di dinding administrasi kampus yang mengajak mahasiswa yang memiliki orangtua korban Tsunami dan gempa di Aceh dan Nias untuk mendaftarkan diri sebagai penerima beasiswa dari organisasi di Australia. Saya berhasil mendapat beasiswa tersebut dan saya berkenalan dengan Ibu Pamela Davis sebagai perwakilan dari Australia yang sering datang mengunjungi Indonesia. Ada sebanyak 11 orang mahasiswa yang mendapat beasiswa ini, kami sering berkumpul dan berbagi cerita ketika Ibu Pamela datang ke Yogyakarta. Beasiswa ini sangat membantu meringankan beban orangtua saya, hingga tahun 2007 saya lulus. Saya belajar dari hal ini bagaimana orang baik di Australia mau membantu saya, sehingga di pikiran saya suatu saat saya ingin bekerja bagi orang yang terkena bencana dan membutuhkan. Ini impian yang berikutnya dalam hidup saya.
Tahun ke tiga di universitas, kami wajib melakukan kuliah kerja nyata di desa yang masih tertinggal tetapi masih di pulau Jawa. Saya ditempatkan bersama teman-teman dari fakultas lain di satu desa dengan akses air yang sulit di daerah pegunungan kapur namun dekat pantai selatan lautan Hindia. Dua bulan tinggal bersama masyarakat desa yang polos dan ramah serta berada di tengah alam yang indah, ini suatu pengamalan menarik lainnya alam hidupku. Saya dan teman-teman membuat program yang bisa membantu masyarakat desa. Saya sebagai orang yang fokus pada perempuan dan anak, mengorganisir kegiatan belajar bersama anak-anak di beberapa tempat di desa, menggerakkan jam belajar masyarakat, mendampingi ibu-ibu yang membawa anak untuk imunisasi, membuat program penyuluhan makanan sehat anak balita, mendukung pemerintah dalam pembuatan akta lahir anak, membuat kegiatan cuci tangan dan sikat gigi yang baik di sekolah-sekolah. Di akhir pekan saat banyak wisatawan bermain di pantai dengan ombak yang lumayan tinggi, saya membantu pihak SAR untuk menjaga pantai. Waktu itu terasa waktu paling indah dalam hidup saya, saya merasa berguna hidup di tengah masyarakat, ibu-ibu dan anak. Saya sudah mewujudkan sebagian kecil dari impian saya untuk berbagi dengan anak-anak di daerah tertinggal, seperti halnya dulu waktu sd saya belajar bersama dengan kelompok mahasiswa yang tinggal dua bulan di desa saya.
Setelah lima tahun menyelesaikan kuliah dan mendapat titel sarjana filsafat, saya mulai bingung akan mengerjakan apa. Saya pergi ke pulau Borneo, Kalimantan timur dimana abang, adik dan paman saya tinggal di sana. Awalnya saya berharap bisa bekerja di bidang konservasi lingkungan dan orang utan, namun panggilan tidak kunjung datang. Akhirnya sambil mencari kerja, saya bergabung dalam satu misi relawan dari gereja di pedalaman hutan Kutai Barat. Saya tinggal bersama masyarakat lokal, hidup seperti mereka hidup, bermain dan belajar bersama anak-anak, bergaul dengan ibu-ibu yang ada di desa. Kehidupan mereka di tengah hutan semakin mengajarkan saya bahwa masih banyak orang yang hidup jauh dari modernisasi namun mereka juga memiliki kearifan lokal yang sangat berarti saya pelajari. Hingga empat bulan di sana, orangtua saya menyarankan agar saya mencari pekerjaan yang yang lebih normal di kota besar. Bagi mereka apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan titel saya sebagai sarjana. Demi menghargai orangtua saya, saya akhirnya pindah ke ibukota negara Indonesia, kota Jakarta. Kota yang penuh dengan manusia dari segala pulau di Indonesia, kota yang sangat sibuk pagi, siang hingga malam, kota yang penuh dengan keringat para pekerja, kota yang penuh dengan persaingan dan kejahatan, kota yang sangat kompleks.
Memulai hidup di kota Jakarta, saya akhirnya bekerja sebagai administrator pemantau proses pengiriman barang di sebuah perusahaan penjual alat-alat tambang. Pekerjaan ini jauh dari pekerjaan impian saya selama ini, namun saya masih berusaha mengirimi lamaran pekerjaan ke beberapa LSM yang bekerja di bidang, perempuan, anak dan lingkungan hidup. Jauh di lubuk hati saya, saya berharap suatu saat saya bisa mewujudkannya. Saya tinggal bersama dengan kakak perempuan ke dua yang sudah menikah dan memiliki dua anak balita. Jam empat pagi saya bangun, berangkat dari rumah jam lima pagi, tiba di kantor jam delapan pagi dan bekerja selama delapan jam kembali lagi di rumah jam sembilan malam. Di akhir pekan dan hari libur saya bermain dengan keponakan-keponakan saya, membantunya untuk mengurus anak-anak, mengganti popok, memandikan, memberi makan dan menidurkan mereka. Kembali saya hidup bersama dengan anak-anak dan ini selalu memberikan efek positif dalam kehidupan saya. Namun dinamika kehidupan di kota besar semakin hari membuat saya bosan, saya bekerja hanya untuk mendukung korporasi besar dalam merusak alam, saya malu dengan diri sendiri saat mengingat prinsip “kecintaan saya terhadap alam”.  Hingga suatu sore  saya mendapat email yang berisi panggilan untuk menghadiri wawancara di satu LSM yang berfokus pada kesejahteraan anak. Jantung saya berdegup kencang, apa ini waktunya saya harus bergerak?
Setelah melalui proses seleksi yang sangat panjang, saya berhasil diterima untuk melakukan orientasi selama enam bulan di pulau PAPUA, tepatnya di kota Wamena di pegunungan tengah Jayawijaya. Apakah saya bermimpi, tidak!ini kenyataan, saya akan pergi selama enam bulan melakukan pekerjaan yang saya impikan di pulau impian saya. Luar biasa bukan proses yang saya jalani?Saya percaya ada kekuatan roh kudus dalam hidup saya, ya, ada Tuhan bekerja dalam setiap rencana saya. Menginjakkan kaki di pulau paling timur Indonesia, dengan keindahan alam yang luar biasa yang selama ini hanya ada dalam bayangan saya, darah dalam tubuh saya bergelora. Enam bulan berjalan dengan banyak pengalaman, masyarakat tradisional yang hidup di pegunungan, anak-anak yang sangat ramah dan antusias dengan orang baru, konflik antar suku yang tidak diduga kapan terjadi, aksen bahasa yang berbeda dengan Indonesia bagian barat, dan udara yang dingin di malam hari. Saya belajar beradaptasi dengan kehidupan baru yang menakjubkan ini. Saatnya kembali ke kota Jakarta untuk melakukan evaluasi dan menentukan nasib apakah saya bisa melanjutkan pekerjaan di LSM ini atau tidak diterima. Dari hasil laporan saya selama di lapangan dan dari rekomendasi atasan saya di sana, saya akhirnya diterima bekerja di LSM World Vision Indonesia dengan kontrak selama dua tahun ditempatkan di kota Wamena, Papua. Saya memang suka hidup di kota ini, keputusan ini sangat membahagiakan saya. Saya kembali bersyukur untuk rentetan sukacita ini.
Visi kami untuk setiap anak hidup utuh sepenuhnya, doa kami untuk setiap hati tekad untuk mewujudkannya (Our vision for every child, life in all its fullness, our pray for every heart the will to make it so), inilah visi LSM di mana saya pernah bekerja selama dua tahun. Semua kegiatan dan program yang dilakukan berfokus pada  pemenuhan hak anak. Anak yang kami dampingi berumur 0-18 tahun. Saat itu saya bertugas sebagai koordinator pengembangan masyarakat di desa-desa. Proyek yang saya tangani adalah proyek pendidikan, nutrisi dan kesehatan reproduksi. Kegiatan sehari-hari saya bertemu dan belajar bersama dengan anak dan masyarakat. Mendampingi tutor-tutor yang mengajar di taman-kanak-kanak, memfasilitasi guru-guru sd untuk berlatih cara mengajar yang lebih menyenangkan bagi murid, mendampingi puskesmas dalam melatih pada kader-kader kesehatan, memberikan penyuluhan pengolahan makanan bergizi, mengajar anak-anak remaja mengenai kesehatan reproduksi, HIV&AIDS, serta mengikuti berbagai pelatihan yang terkait dengan pekerjaan saya.
Selama bekerja sebagai agen perubahan di daerah ini tentunya saya menghadapai banyak tantangan, diantaranya akses jalan menuju desa-desa tidaklah mulus, harus melalui jalan darat yang kadang berlobang, jembatan yang putus, sungai yang banjir, longsor dari perbukitan, mendaki ke pegunungan, rumah yang jauh satu dengan yang lain, kegiatan yang terkadang harus dibatalkan karena peserta tidak hadir ataupun karena adanya acara di desa, penolakan dari masyarakat terhadap kedatangan tim ke desa juga sering terjadi konflik antar suku yang berakibat buruk bagi keselamatan saya dan tim. Namun di sisi lain yang lebih membuka hati adalah hubungan yang terjadi antara saya, masyarakat, anak-anak dan alam di sini menjadi sangat akrab. Anak-anak akan berteriak dengan nyaring “kakak fatma” setiap melihat kedatangan saya, atau masyarakat yang akan selalu memberikan salam setiap bertemu di jalan. Keramahan masyarakat di daerah ini mengajarkan saya arti tulus sebuah kasih. Senyuman di wajah mereka selalu membuat saya bahagia, saya akhirnya berguna bagi orang lain.
Masa bekerja dalam LSM dari pagi hingga sore hari dan ketika tiba di rumah saya melanjutkan mengajar anak-anak yang berasal dari kompleks tempat tinggal saya. Pada awalnya hanya dua orang yang sering menyapa saya dan teman satu rumah ketika sepeda kami tiba di halaman rumah. Dua anak ini sepertinya ingin mengenal kami, kamipun mengajak masuk ke rumah dan memberikan buku cerita untuk dibaca. Keesokan harinya jumlah anak semakin bertambah dan terus bertambah, hingga berjumlah 20 anak dari usia 2 tahun hingga 11 tahun. Saya dan teman membeli peralatan untuk belajar, menggambar juga membeli buku-buku cerita untuk anak. Ruang tamu kami berubah menjadi ruang belajar bagi anak-anak. Saya dan teman melihat ini kesempatan baik untuk berbagi dan belajar banyak hal dengan lebih dekat. Kami membuat jadwal untuk tema pertemuan setiap sore hari. Tidak lupa juga saya yang peduli dengan kesehatan memanfaatkan situasi ini untuk memberikan pendidikan kesehatan bagi mereka. Mulai dari belajar mencuci tangan dengan baik, sikat gigi, nasihat untuk selalu mandi, mengganti pakaian juga menjaga kebersihan alat vital. Jam belajar yang kami habiskan biasanya sekitar dua jam. Terkadang orangtua mereka datang mengantarkan anaknya yang kecil untuk bergabung dengan anak-anak yang lain dan setelah selesai akan dijemput kembali. Selama proses belajar ini saya mengamati banyak perubahan yang lebih baik dalam diri anak-anak ini, menjadi lebih bersih, lebih sopan, lebih suka membaca, bergaul dengan baik dan berani berpendapat. Sungguh hasil yang saya tidak pernah bayangkan namun ini nyata di hadapan saya. Mereka memanggil saya dan teman saya “ibu guru”. Setiap sore hari mereka sudah menunggu di pintu gerbang rumah dan akan berlari mengejar saat melihat sepeda kami datang. Mereka akan bertanya “ibu guru belajar, sekarang belajar? Ada yang melapor “saya sudah mandi bu guru”. Kebersamaan ini sekali lagi sangat membahagiakan, dan lagi saya ucapkan dalam hati saya bahagia ketika berguna bagi anak-anak yang membutuhkan. Dua tahun berlalu dan saya memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja di kota ini. Berat berpisah dengan mereka namun saya bangga kami sudah melalui kebersamaan yang indah.
Saya pindah ke negara lain, yaitu ke Kota Kinabalu, Malaysia. Saya membantu tunangan saya menjadi relawan selama tiga bulan di daerah pegunungan Sabah. Saya berbagi mengenai kebersihan dan kesehatan reproduksi untuk anak-anak imigran dari Indonesia dan juga mengajar bahasa inggris untuk anak-anak di pedalaman Borneo. Kami menikmati pelajaran ini dan kebersamaan ini. Setelah tiga bulan saya tidak bisa melanjutkan ijin tinggal, akhirnya saya memutuskan untuk belajar bahasa perancis di IFI Yogyakarta. Saya kembali belajar di kota di mana saya membangun mimpi-mimpi saya. Tiga bulan belajar bahasa saya pergi ke kota Jakarta dan tinggal dengan kakak ketiga saya yang memiliki anak berumur satu tahun. Sambil mengurus visa keberangkatan saya ke negara Swiss, saya membantu kakak saya menjaga anaknya, mengganti popok, memberi makan, memandikan, bermain serta jalan-jalan sore. Waktu keberangkatan sayapun tiba, saatnya meninggalkan negara, keluarga, sahabat, anak-anak yang ada di hati saya. Berat bagi saya namun saya harus memulai hidup baru bersama dengan kekasih hati saya.
Hidup baru di negara baru, budaya baru, bahasa baru, makanan baru, alam yang baru dan kembali membutuhkan adaptasi yang panjang. Tentu saja ini berat, namun saya melihat hidup yang sudah saya lewati, selalu berpindah dari satu kota ke kota lain, namun saya selalu berhasil beradaptasi dengan baik. Sambil kembali belajar bahasa perancis, saya memikirkan pekerjaan apa yang ingin saya lakukan di masa depan. Hidup selama tiga puluh tahun sudah cukup bagi saya untuk mengenali jati diri saya, ketertarikan saya, bakat dan minat saya. Saat ini saya yakin hati dan jiwa saya tetap untuk anak-anak, saya hanya ingin selalu bekerja untuk anak-anak, saya ingin selalu berguna bagi anak-anak, saya merasa hidup ketika bersama dengan anak-anak, saya bahagia bersama mereka. Saya putuskan untuk menjadi pendidik yang baik untuk anak-anak di negara ini dan mungkin bagi anak-anak lain di seluruh dunia.

Surat kerinduan untuk anak Papua

Swiss, 26 Desember 2014

Untuk adik-adik terkasih di Wamena

Wawawawawa, SELAMAT HARI NATAL DAN TAHUN BARU untuk semua adik-adik dan keluarga di sana. Tuhan memberkati.
      Bagaimana kabar adik-adik di Wamena? Ibu guru berharap dan berdoa semoga semua selalu baik dan dilindungi Tuhan. Ibu guru rinduuuuu sekali dengan adik-adik. Masih ingat ibu guru kah tidak? Ini ibu guru Fatma yang dulu tinggal dekat rumah Misela. Ibu guru yang cerewet sekali!!!hehehe. Ibu guru minta maaf karena sudah lama tidak kasih kabar dengan adik-adik di sana. Sudah hampir 3 tahun kita berpisah. Ibu guru selalu ingat waktu indah di sana dengan adik-adik semua.
       Adik- adik pasti sudah besar-besar sekarang e?? Misela, Meliance, Elisabet, Lokamina, Arnold, Rosita, Elis, siapa lagi aduhh ibu guru ingat muka tapi lupa nama itu yang...aduh tidak baik sekali ibu guru ini.  Tapi tenang saja ibu guru masih punya foto adik-adik jadi tidak mungkin lupa muka. Adik-adik sudah kelas berapakah?
         Ibu guru mau cerita sedikit soal ibu guru punya hidup sekarang. Ibu guru sudah menikah dengan Om Patrick tanggal 16 agustus  2013 di Swiss. Kami sekarang tinggal di Swiss benua Eropa. Kalau adik-adik ada peta boleh lihat di dalam negara Swiss. Sekarang di sini sedang musim dingin, biasanya ada salju jadi dingin sekali, lebih dingin dari Wamena. Tapi tidak terus-terus dingin, karena di sini musim ganti-ganti terus setiap 3 bulan. Jadi musim dingin mulai bulan desember sampai bulan maret setelah itu sudah mulai hangat lagi sampai bulan juni. Setelah itu sudah jadi panas sampai bulan september. Tapi mulai september sudah mulai macam dingin biasa di Wamena sampai bulan desember. Begitu terus ganti-ganti 4 kali musim dalam satu tahun.

       Di sini ibu guru juga harus belajar bahasa asing, bahasa perancis. Satu tahun ibu guru les bahasa perancis supaya bisa bicara lancar. Sekarang ibu guru sudah mulai bisa bicara-bicara dengan orang walaupun belum mantap. Jadi ibu guru harus belajar terus. Ibu guru juga bekerja jadi guru untuk anak-anak kecil umur 2,5 tahun sampai 4 tahun. Mereka sangat lucu-lucu dan baik-baik. Ibu guru juga kasih ajar lagu Kucuci-cuci tanganku macam dulu kita bikin di rumah ibu guru. Tapi ibu guru kasih ajar dalam bahasa perancis, mereka suka sekaliiii. Waktu kasih ajar mereka, ibu guru selalu ingat adik-adik di Wamena. Adik-adik masih cuci tangan dengan bersih kah sekarang? Ibu guru pikir masih!!heheh
       Ibu guru pernah pulang ke Indonesia bulan juli lalu, tapi tidak dapat pergi ke Wamena. Tapi ibu guru dan Om Patrick akan datang kunjungi lagi suatu saat. Adik-adik berdoa e supaya kita bisa ketemu lagi. Ibu guru senang ada kaka Putri bisa antar surat ini untuk adik-adik.  Harus bilang terimakasih untuk kaka Putri ee. Kalau kalian mau balas bisa tulis tangan dan kasih ke kaka Putri nanti dia bisa kasih ke ibu guru.
      Pesan ibu guru, belajar baik, rajin berdoa, hidup sehat, sayang dengan orangtua, saudara dan teman-teman. Jangan lupa:IBU GURU SAYANG ADIK-ADIK SEMUA

Salam rindu, wawawawa

Ibu guru Fatma