Wednesday 16 December 2015

Menapak tilas 2,5 tahun di Wamena, Papua


Saya akan menapak tilas kerja kemanusiaan yang saya lakukan di pulau Papua saat bergabung dengan organisasi Wahana Visi Indonesia. Pekerjaan ini berfokus pada perlindungan anak. Bagi saya, ini merupakan satu mimpi lama yang selalu tersimpan dalam pikiran, saya ingin menginjakkan kaki di pulau Papua. Pada tahun 2009, saya berhasil lulus dalam tes ujian masuk bekerja dengan World Vision Indonesia (WVI). Organisasi ini adalah organisasi non-pemerintah dan berfokus pada pekerjaan kemanusiaan. Saat itu WVI memiliki 43 area pelayanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Bulan November 2009 saya ditempatkan di kota Wamena dengan area pelayanan kerja Kurima. Kota Wamena berada di pegunungan tengah Papua, tepat di lembah Baliem. Kota ini hanya bisa diakses dengan menggunakan pesawat dari kota Jayapura karena luasnya pegunungan dan hutan yang terbentang di antara ke dua kota. Kota Wamena juga dikelilingi oleh bukit-bukit dimana kita bisa menemukan banyak desa-desa kecil dengan suku-suku tradisionalnya. Area pelayanan kerja saya merupakan daerah yang terpencil dan sulit untuk diakses. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang sudah saya impikan sejak lama, di daerah yang jauh dari modernitas, bekerja dengan orang lokal, berfokus pada perkembangan anak-anak dan permasalahan perempuan.
Visi dari organisasi WVI adalah « Visi kami untuk setiap anak, hidup utuh sepenuhnya, doa kami untuk setiap hati, tekad untuk mewujudkannya » yang berarti segala kegiatan yang ada dalam proyek organisasi akan selalu berfokus terhadap kesejahteraan hidup anak dan kami bisa mewujudkan pekerjaan itu dengan bantuan yang diberikan oleh para donatur di seluruh dunia. Semua kegiatan harus berfokus pada penghargaan atas hak-hak anak yaitu hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. Anak yang kami dukung dan menjadi fokus pelayanan ini berumur 0 sampai 18 tahun.
Saya mulai bekerja sebagai Koordinator Pengembangan Masyarakat di beberapa desa. Proyek yang saya tangani adalah proyek pendidikan, proyek nutrisi dan kesehatan reproduksi. Tugas-tugas saya saat itu adalah memfasilitasi pelatihan terhadap  para tutor/ pengajar anak usia dini di beberapa pusat belajar anak dampingan WVI, bekerja sama dengan para guru SD dengan memfasilitasi mereka mengikuti pelatihan cara mengajar yang disesuaikan dengan kebutuhan murid-murid, memfasilitasi puskesmas dengan memberikan pelatihan terhadap para bidan, mantri dan kader kesehatan, mengorganisir pelatihan tentang nutrisi, mengajar dan meningkatkan kesadaran anak-anak remaja mengenai kesehatan reproduksi, HIV&AIDS. Saya juga memiliki kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan di berbagai kota yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.                             

Selama menjalani pekerjaan sebagai agen perubahan di daerah ini, saya sering menemukan berbagai kesulitan. Contohnya, akses menuju desa-desa tidaklah gampang. Saya dan tim harus melewati jalanan yang berlubang. Jalur yang sering terpotong karena adanya longsor atau dipenuhi lumpur. Terkadang harus menyeberang sungai dengan kondisi jembatan rusak atau hanyut. Selanjutnya harus berjalan kaki dan mendaki untuk tiba di desa-desa terpencil dengan rumah yang jaraknya jauh satu dengan dengan yang lain.  Kadang kala ketika tiba di tempat yang dituju, kegiatan harus dibatalkan karena peserta yang sudah diundang tidak hadir dengan alasan pergi menghadiri pesta di desa. Beberapa orang di desa menolak kehadiran kami karena kami tidak membawa sesuatu yang bisa dibagi dengan cuma-cuma kepada meraka (biasanya mereka mengharapkan barang atau uang). Lain lagi masalah perang suku yang sering muncul menjadi hal buruk terhadap keamanan saya dan tim.


Walaupun begitu, jauh di lubuk hati saya, hal yang paling menggetarkan bagi saya adalah ikatan yang tercipta antara saya, orang lokal, anak-anak dan alam, dan ikatan ini semakin hari semakin dalam. Anak-anak selalu berteriak «kakak Fatmaaaaa » setiap kali mereka melihat saya tiba di desa, atau orang-orang lokal akan menyapa dan menyalami saya setiap kali kami berpapasan di jalan. Kehangatan penduduk di daerah ini mengajarkan saya untuk bersyukur dan berbagi dengan orang lain. Senyuman di wajah mereka selalu membuat saya bahagia. Akhirnya, melalui pekerjaan ini, saya berguna bagi orang lain.
           
           

Monday 14 December 2015

Buku puisi (Anti)Paspor

Buku kecil yang satu ini memiliki bentuk yang sama dengan paspor asli, bahkan warna halamannya juga dipilih sesuai dengan warna-warna paspor di seluruh dunia. Namun saat anda membukanya, anda tidak akan menemukan bekas cap atau stempel petugas imigrasi di setiap halamannya. Lho kenapa begitu? Bukannya paspor biasanya dihiasi dengan visa, cap atau stempel dari petugas imigrasi negara-negara yang kita kunjungi? Jangan salah, paspor satu ini justru adalah anti visa, anti cap atau stempel. Sebaliknya anda akan menemukan teriakan kebebasan di dalamnya. Anda akan dibawa terbang menuju negara yang ingin anda kunjungi tanpa harus mengurusi tetek bengek birokrasi keimigrasian. Dengan rangkaian indah syair penulisnya, anda akan terbuai dalam gelombang indah laut mediterania bukan dengan status pengungsi perang, namun sebaliknya sebagai manusia merdeka yang bebas menyeberang kemana saja anda mau.
Buku kecil ini adalah puisi kemanusiaan penyairnya, Antoine Cassar. Dia adalah seorang penyair keturunan Malta yang besar di London, pernah tinggal lama di Luxemburg dan saat ini dia kembali ke kampung halamannza di Malta. Setelah sebelumnya berhasil diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa, puisi ini saya terjemahkan dari bahasa Inggris dan Perancis ke dalam bahasa Indonesia, sehingga pesan kemanusiaan yang kuat di dalamnya bisa terbang dan di dinikmati oleh pecinta puisi dan sastra di Indonesia. Anda bisa mengakses http://passaportproject.org/ dan bisa memesan puisi Paspor ini dengan pilihan warna halaman kesukaan anda. Keuntungan dari penjualan buku ini akan didonasikan kepada organisasi lokal di Jakarta yang mendukung para pengungsi dan pencari suaka.
Buku kecil ini sudah dipresentasikan dan dibacakan pada akhir bulan Oktober 2015 dalam acara Ubud Writer Festival di Bali. Buku kecil ini cocok untuk anda para pecinta puisi dan sastra, para perantau dan petualang yang sering dihadapkan dengan masalah pengurusan visa dan paspor, dan para pecinta kemanusiaan. Selamat membaca :)