Kali ini saya akan menulis tentang perbedaan lain yang
mencolok di antara negara saya, Indonesia dan negara tempat tinggal saya sekarang,
Swiss. Sekali lagi buat para pembaca baru ataupun yang setia mengikuti blog
saya, ini hanyalah hasil observasi dan adaptasi saya di tempat baru. Jadi, isi blog
saya ini sesuai fakta namun saya tidak mengharuskan anda untuk setuju dengan
tulisan saya. Tujuan saya selalu pada satu hal: ingin berbagi J
Hal yang paling membingungkan saat pertama kali berkunjung
ke sini adalah bagaiman cara memanggil calon mertua saya? Saya yang asli suku
batak sudah hafal sejak kecil, panggilan untuk calon mertua perempuan adalah namboru
dan panggilan untuk calon mertua laki-laki adalah mangkela. Tapi mereka
bukanlah suku batak, jadi saya tanya Patrick boleh atau tidak saya memanggil mereka dengan ibu dan bapak saja(tentunya
ibu dan bapak dalam bahasa perancis, madame et monsieur). Dia menjelaskan kalau
panggilan tersebut terlalu formal dan kaku, tidak menunjukkan kedekatan. Panggilan
ini berlaku untuk orang yang kita temui/berpapasan di jalan, di toko, di
kantor, atau untuk pengajar di sekolah formal. Saya tawarkan kembali, atau
mungkin dengan istilah mama dan papa (maman et papa), dia malah tertawa dan
bilang itu panggilan ke orangtua oleh anak. Dia menyuruh saya untuk memanggil
orangtuanya dengan nama masing-masing saja. Mereka akan merasa dihormati
apabila saya memanggil mereka dengan nama masing-masing. Saya bersikukuh bilang
bahwa lidah saya tidak sanggup untuk menyebut nama mereka. Dalam budaya suku
batak, menyebut nama orangtua adalah satu hal yang pantang. Nama orangtua
berada pada tempat suci dan tidak tersentuh J.
Hingga enam bulan mengenal mertua saya, akhirnya seiring dengan masa adaptasi,
saya berhasil memanggil nama mereka dengan jelas dan tanpa malu-malu.
Sebelumnya saya hanya berkomunikasi tanpa menyebut nama langsung saat memanggil
mereka. Saat saya jelaskan kepada orangtua saya, mereka heran dan bilang tidak
sopan memanggil mertua dengan menyebut nama. Saya berusaha menjelaskan budaya
di negara ini memang seperti itu dan mereka samasekali tidak keberatan.
Cara ini juga berlaku bagi anak-anak yang di tempat saya
bekerja. Mereka memanggil pendidik anak dengan nama masing-masing. Tanpa embel-embel,
ibu, bapak, abang, kakak, mas,mba atau seperti sebutan lain yang biasa saya
pakai di negara saya. Di sela-sela diskusi saat makan bersama, mereka juga
sering saling bertanya nama orangtua masing-masing dan dengan bangga mereka
akan menyebutkan nama orangtua dari temannya. Saya yang duduk di dekat mereka
juga tidak terlewat dari interogasi ini. “Fatma, nama mamamu siapa? Terus nama papamu?”. Saya dengan tersenyum memberitahu mereka nama mama dan papa saya.
Situasi ini membawa ingatan saya ke masa kecil dimana saat duduk di SD, saya
dan teman-teman saling mengejek dengan nama orangtua masing-masing. Tidak sedikit
di antara kami akhirnya menangis karena nama orangtuanya disebutkan dan kami
akan malu karena teman yang lain akhirnya tahu siapa nama orangtua kami. Begitu
berharganya nama orangtua bagi anak-anak di desa saya sehingga dijaga dengan
sangat rahasia J
Contoh lain yang teraktual akhir-akhir ini adalah panggilan untuk
saya yang diberikan oleh anak-anak teman saya. Mereka adalah anak-anak hasil
kawin campur, mama mereka orang Indonesia dan papa mereka orang Swiss. Karena
hasil kawin campur, anak-anak ini bisa berbahasa indonesia dan perancis dengan
lancar. Setiap bertemu saya selalu usahakan berbahasa indonesia kepada mereka.
Mereka memanggil saya dengan sebutan tata/tante Fatma. Namun terkadang lidah kami
keseleo dan akhirnya kami juga berbahasa perancis dan dengan otomatis mereka memanggil
saya dengan sebutan Fatma, tanpa embel-embel lagi. Saya hanya bisa tertawa :D sambil memberitahu kepada ibunya.
Contoh lain adalah minggu lalu saat saya melakukan satu hari
observasi calon anak dampingan saya bersama mamanya. Anak ini juga merupakan anak
hasil kawin campur, mamanya orang Korea dan papanya orang Belanda. Saat kami
berjalan-jalan menikmati matahari di tepi danau, sambil berkomunikasi dengan
anaknya dengan bahasa korea saya mendengar istilah Fatma nuna. Dia menjelaskan
kepada saya bahwa Fatma nuna artinya kakak perempuan bernama Fatma. Hampir sama
dengan di Indonesia, budaya di Korea juga tidak elok memanggil orang yang lebih
tua dengan menyebut nama langsung, harus selalu menggunakan embel-embel oppa,
nuna dll. Saya lagi-lagi tersenyum J
Contoh-contoh yangs aya paparkan di atas merupakan fakta
yang memberikan ruang refleksi bagi saya. Anak-anak ini jelas memiliki dua
budaya yang tertanam di dalam dirinya, budaya yang menjadi identitasnya di masa
depan. Memang setiap suku dan bangsa memiliki
cara, kebiasaan dan budaya masing-masing, tanpa harus menilai rendah atau
menilai tinggi satu dengan yang lain. Hanya saja dibutuhkan keinginan untuk belajar
beradaptasi J
No comments:
Post a Comment