Thursday 12 February 2015

Perbedaan cara memanggil nama

Kali ini saya akan menulis tentang perbedaan lain yang mencolok di antara negara saya, Indonesia dan negara tempat tinggal saya sekarang, Swiss. Sekali lagi buat para pembaca baru ataupun yang setia mengikuti blog saya, ini hanyalah hasil observasi dan adaptasi saya di tempat baru. Jadi, isi blog saya ini sesuai fakta namun saya tidak mengharuskan anda untuk setuju dengan tulisan saya. Tujuan saya selalu pada satu hal: ingin berbagi J
Hal yang paling membingungkan saat pertama kali berkunjung ke sini adalah bagaiman cara memanggil calon mertua saya? Saya yang asli suku batak sudah hafal sejak kecil, panggilan untuk calon mertua perempuan adalah namboru dan panggilan untuk calon mertua laki-laki adalah mangkela. Tapi mereka bukanlah suku batak, jadi saya tanya Patrick boleh atau tidak saya  memanggil mereka dengan ibu dan bapak saja(tentunya ibu dan bapak dalam bahasa perancis, madame et monsieur). Dia menjelaskan kalau panggilan tersebut terlalu formal dan kaku, tidak menunjukkan kedekatan. Panggilan ini berlaku untuk orang yang kita temui/berpapasan di jalan, di toko, di kantor, atau untuk pengajar di sekolah formal. Saya tawarkan kembali, atau mungkin dengan istilah mama dan papa (maman et papa), dia malah tertawa dan bilang itu panggilan ke orangtua oleh anak. Dia menyuruh saya untuk memanggil orangtuanya dengan nama masing-masing saja. Mereka akan merasa dihormati apabila saya memanggil mereka dengan nama masing-masing. Saya bersikukuh bilang bahwa lidah saya tidak sanggup untuk menyebut nama mereka. Dalam budaya suku batak, menyebut nama orangtua adalah satu hal yang pantang. Nama orangtua berada pada tempat suci dan tidak tersentuh J. Hingga enam bulan mengenal mertua saya, akhirnya seiring dengan masa adaptasi, saya berhasil memanggil nama mereka dengan jelas dan tanpa malu-malu. Sebelumnya saya hanya berkomunikasi tanpa menyebut nama langsung saat memanggil mereka. Saat saya jelaskan kepada orangtua saya, mereka heran dan bilang tidak sopan memanggil mertua dengan menyebut nama. Saya berusaha menjelaskan budaya di negara ini memang seperti itu dan mereka samasekali tidak keberatan.
Cara ini juga berlaku bagi anak-anak yang di tempat saya bekerja. Mereka memanggil pendidik anak dengan nama masing-masing. Tanpa embel-embel, ibu, bapak, abang, kakak, mas,mba atau seperti sebutan lain yang biasa saya pakai di negara saya. Di sela-sela diskusi saat makan bersama, mereka juga sering saling bertanya nama orangtua masing-masing dan dengan bangga mereka akan menyebutkan nama orangtua dari temannya. Saya yang duduk di dekat mereka juga tidak terlewat dari interogasi ini. “Fatma, nama mamamu siapa? Terus nama papamu?”. Saya dengan tersenyum memberitahu mereka nama mama dan papa saya. Situasi ini membawa ingatan saya ke masa kecil dimana saat duduk di SD, saya dan teman-teman saling mengejek dengan nama orangtua masing-masing. Tidak sedikit di antara kami akhirnya menangis karena nama orangtuanya disebutkan dan kami akan malu karena teman yang lain akhirnya tahu siapa nama orangtua kami. Begitu berharganya nama orangtua bagi anak-anak di desa saya sehingga dijaga dengan sangat rahasia J
Contoh lain yang teraktual akhir-akhir ini adalah panggilan untuk saya yang diberikan oleh anak-anak teman saya. Mereka adalah anak-anak hasil kawin campur, mama mereka orang Indonesia dan papa mereka orang Swiss. Karena hasil kawin campur, anak-anak ini bisa berbahasa indonesia dan perancis dengan lancar. Setiap bertemu saya selalu usahakan berbahasa indonesia kepada mereka. Mereka memanggil saya dengan sebutan tata/tante Fatma. Namun terkadang lidah kami keseleo dan akhirnya kami juga berbahasa perancis dan dengan otomatis mereka memanggil saya dengan sebutan Fatma, tanpa embel-embel lagi. Saya hanya bisa tertawa :D sambil memberitahu kepada ibunya.
Contoh lain adalah minggu lalu saat saya melakukan satu hari observasi calon anak dampingan saya bersama mamanya. Anak ini juga merupakan anak hasil kawin campur, mamanya orang Korea dan papanya orang Belanda. Saat kami berjalan-jalan menikmati matahari di tepi danau, sambil berkomunikasi dengan anaknya dengan bahasa korea saya mendengar istilah Fatma nuna. Dia menjelaskan kepada saya bahwa Fatma nuna artinya kakak perempuan bernama Fatma. Hampir sama dengan di Indonesia, budaya di Korea juga tidak elok memanggil orang yang lebih tua dengan menyebut nama langsung, harus selalu menggunakan embel-embel oppa, nuna dll. Saya lagi-lagi tersenyum J
Contoh-contoh yangs aya paparkan di atas merupakan fakta yang memberikan ruang refleksi bagi saya. Anak-anak ini jelas memiliki dua budaya yang tertanam di dalam dirinya, budaya yang menjadi identitasnya di masa depan.  Memang setiap suku dan bangsa memiliki cara, kebiasaan dan budaya masing-masing, tanpa harus menilai rendah atau menilai tinggi satu dengan yang lain. Hanya saja dibutuhkan keinginan untuk belajar beradaptasi J

No comments:

Post a Comment