Monday 26 January 2015

Memiliki anak: kewajiban, pemberian atau pilihan?

Pernahkan anda, para perempuan ketika bertemu dengan teman, saudara atau orang yang baru anda kenal ditanya dengan pertanyaan berikut: Udah punya anak belum?Udah punya anak berapa?Mau anak berapa?Ngga pengen nambah lagi?Emang udah umur berapa? Dan bla..bla...bla... Dan apa reaksi dalam hati anda?Apakah anda santai, senang, marah, kesal, sedih atau mungkin malu? semenjak menikah, saya sudah sering mendengar pertanyaan ini dari teman, saudara, ataupun orang yang baru saya kenal.
Bagi beberapa orang memiliki anak adalah kewajiban setelah menikah. Kewajiban sebagai ”istri yang baik” Hadiah untuk suami dan mertua. Di negara saya di Indonesia, biasanya setelah menikah satu bulan, anda akan ditanyakan sudah isi belum?apabila jawaban anda udah, dengan wajah penuh selidik si penanya akan bilang: wah tokcer dong!!yang artinya suami anda wow!!reaksi lain akan anda terima saat anda menjawab belum. Si penanya akan semakin selidik, kok belum?KB ya? Kalo belum pernah punya anak jangan KB dulu, ntar susah lho dapat anaknya. Atau ada juga yang dengan penuh nasehat akan bilang: kenapa harus ditunda, kasian entar usia anaknya jauh banget dari usia orangtuanya, ngga bisa jadi teman main dong! Dengan reaksi-reaksi yang di atas, masih nyamankah anda berdiskusi? Mungkin kalau anda adalah orang yang memiliki pemikiran yang sama bahwa “memiliki anak adalah kewajiban”, anda pastinya akan larut dalam percakapan.  Namun apabila anda bukanlah salah satu pengikut paham ini, apakah anda berhenti merespon pertanyaan tersebut?
Nah coba sekarang anda bayangkan keadaan lain,  apabila anda adalah seorang perempuan yang sudah menikah beberapa tahun. Tiba-tiba anda didisuguhi pertanyan sudah punya momongan?Emang udah berapa tahun nikahnya?Oh, berdoa aja mba pasti dikasih suatu saat. Mungkin anda akan bereaksi  dengan mengucapkan kalimat:sedikasinya, tergantung rencana yang di atas, udah berusaha tapi belum waktunya kali.  Dalam suasana ini terlihat jelas si penanya dan yang ditanya sama-sama meyakini memiliki anak adalah pemberian. Karena keduanya akhirnya mengarahkan pembicaraan mereka ke ranah keyakinan. Tidak sedikit juga teman yang curhat bahwa ingin sekali punya anak, udah coba berbagai cara tapi belum isi juga. Ada nada sedih dalam pernyataan mereka namun harapan lebih terpancar jelas.
Fakta lain di masyarakat bahwa ada kelompok perempuan meyakini bahwa memiliki anak adalah pilihan. Pilihan untuk menyatakan iya, belum atau tidak. Apakah kening anda berkerut saat membaca bagian ini?Kalau benar, itu adalah reaksi normal. Saya adalah bagian dari kelompok perempuan ini. Saya tidak segan untuk memberikan jawaban berbeda dengan orang lain ketika banyak teman dan saudara yang menanyakan ini. Biasanya sudah mempersiapkan  jawaban yang menurut saya logis dan berharap penerima jawaban juga puas dengan jawaban saya. Jawabnn saya juga sebenarnya berevolusi. Reaksi yang saya terima juga beragam. Dulu saya bagian dari penanya yang penasaran  tersebut. Namun seiring dengan proses adaptasi di negara Swiss dimana saya tinggal sekarang, pemikiran saya mulai berubah. Apakah lebih baik? Saya tidak bisa menjawabnya. Karena realita di masyarakat tidak melulu perempuan menikah, wajib langsung hamil,  melahirkan dan membesarkan anak.
Tiga prinsip memiliki anak di atas adalah fakta di dalam masyarakat. Namun hal yang paling penting dari semuanya adalah apakah kita sebagai perempuan sudah tahu bahwa sebelum memiliki anak kita sebaiknya membekali diri mengenai tanggungjawab sebagai orangtua yang menghadirkan anak di dunia ini. Tanggungjawab bukan melulu soal materi tetapi banyak hal di dalamnya termasuk, psikologi yang baik sebagai orangtua, pengetahuan orangtua akan hak-hak anak, pengetahuan akan lingkungan yang ramah dan aman bagi anak, dan bekal pendidikan bagi anak. Semua hal ini tidak didapatkan dengan tanpa usaha. Banyak cara yang bisa membantu anda mencari informasi dan pengetahuan mengenai hal ini, salah satunya dengan membaca lewat media apapun. Hanya dibutuhkan kemauan anda untuk bertanya pada diri sendiri: apakah saya sudah siap menjadi orangtua yang bertanggungjawab? Renungkan pertanyaan ini dan hanya anda yang bisa mengetahui jawabannya. Orangtua yang mau berefleksi dan belajar akan menjadi orangtua yang menghasilkan anak-anak bahagia.

Salam cinta untuk anak-anak


No comments:

Post a Comment