PENGARUH ISU GENDER TERHADAP
ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT PEDALAMAN PEGUNUNGAN JAYAWIJAYA
1. PENDAHULUAN
Permasalahan perempuan memang sangat menarik untuk
dibicarakan dan menimbulkan begitu banyak perbedaan pandangan dan penilaian
dalam diri individu. Berbicara
mengenai perempuan akan mengundang banyak simpati dan juga kontroversi. Melihat permasalahan perempuan ini, sebagian
besar orang masih menggunakan kacamata subjektif. Perempuan memandang
permasalahan kaumnya dari sudut pandang perempuan maupun laki-laki masih
memandang perempuan dari kepentingan masing-masing. Permasalahan perempuan akan
tetap mengambang dan tidak terselesaikan, oleh karena itu dibutuhkan defenisi
mengenai perempuan yang tidak berdasarkan pemikiran subjektif.
Tak dapat dipungkiri bahwa
dalam kenyataannya kaum perempuan memang menghadapi permasalahan. Kondisi peran
gender di pedalaman pegunungan Jayawijaya pada saat ini kurang seimbang. Perempuan
mempunyai peran yang cukup penting dalam kehidupan keluarga terutama peran
reproduktif dan produktif. Perempuan menjadi tumpuan pencarian nafkah keluarga,
dan akibatnya adalah beban kerja yang harus dipikulnya menjadi sangat berat dan
kurang memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan di luar rumah.
Dalam pengamatan penulis
selama melakukan magang selama kurang lebih 4 bulan bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) di daerah Kurima, terdapat banyak permasalahan ketimpangan
dan ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan yang berdampak pada permasalahan lain dalam kehidupannya. Kaum perempuan
di pedalaman menjadi pihak yang tersubordinasi dan menjadi kaum yang tertindas
haknya. Sebagai perempuan yang hidup dalam sistem adat, perempuan di pedalaman harus
pasrah, tabah, dan sabar terhadap setiap situasi di dalam keluarga, termasuk
menerima semua bentuk kekerasan dan kekejaman suami terhadap istri dan
anak-anak di dalam keluarga.
Sikap tersebut di atas dinilai
adat sebagai sikap perempuan yang beretika, tahu diri, sopan, menghormati adat,
membawa rejeki, dan melahirkan keturunan yang beruntung. Sikap pasrah dan menerima masih
mendominasi hampir sebagian besar perempuan pedalaman, termasuk mereka yang sudah berpendidikan tinggi. Walaupun perempuan tersebut
seorang pejabat, tetapi di rumah dia masih harus rela menerima perlakuan
kasar suami dan menghormati suami seperti perempuan tradisional lain.
Hampir semua perempuan di
daerah Kurima memiliki perasaan "wajib" menerima
kekerasan dari suami dan keluarga suami. Sikap tersebut diturunkan dari generasi
ke generasi melalui sosialisasi ibu kepada anak perempuannya. Saat anak
perempuan kecil ibu sudah mengajarkan bagaimana bersikap sopan terhadap saudara
laki-laki dan menjelang dewasa anak perempuan diberi pengertian mengenai sikap sopan
terhadap suami. Tetapi anak
laki-laki jarang diajarkan sikap sopan terhadap perempuan di rumah.
Banyak juga ditemukan dalam
masyarakat bahwa perempuan tidak dilibatkan dalam musyawarah yang membicarakan
permasalahan penting kecuali perempuan tersebut memiliki kedudukan, istri
kepala suku atau keturunan terhormat dari nenek moyangnya. Perempuan biasanya
hadir untuk mempersiapkan tempat, makanan, bernyanyi, menjadi pendengar saja
dan mendukung keputusan yang dihasilkan pada saat musyawarah. Kasus lain yang banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga
yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Kebanyakan kekerasan yang dialami
oleh perempuan tersebut dilakukan dengan dalih bahwa perempuan sudah dibeli
dengan mahar wam (babi) yang banyak sehingga suami merasa berhak untuk
melakukan tindakan kekerasan terhadap istrinya dan dari pihak perempuan
berpikir bahwa seluruh diri, jiwa raganya harus dibaktikan untuk melayani
seluruh kebutuhan suami, termasuk anggota keluarga suami. Kasus kekerasan lainnya
terjadi juga terhadap istri-istri korban
poligami. Suami sebagai pelaku poligami akan dengan mudah melakukan tindakan
kekerasan terhadap istri-istrinya karena di dalam dirinya tertanam sikap
sombong dan berkuasa karena mampu memiliki istri lebih dari satu.
Namun di sisi lain akibat
perubahan yang ada dan struktur nilai yang masih dipertahankan masyarakat,
laki-laki di daerah pedalaman kehilangan sebagian besar perannya. Peran reproduktif dan produktif laki-laki sangat kurang, laki-laki
lebih banyak menghabiskan waktu luangnya di kota, berceritera atau beristirahat dan mengurus
perkara di kantor desa. Pola pikir laki-laki menganggap bahwa nasib perempuan yang
selalu tertindas sejak dulu hingga sekarang dan menurut sebagian laki-laki hal
tersebut tidak merupakan suatu permasalahan yang tidak akan terselesaikan.
Kondisi peran gender yang kurang seimbang tersebut
membawa pengaruh terhadap timbulnya persoalan-persoalan lain dalam kehidupan
masyarakat, seperti masalah kesehatan dan gizi ibu dan anak-anak yang buruk,
masalah rendahnya pendapatan dan kondisi ekonomi masyarakat, masalah pendidikan
bagi kaum perempuan dan anak-anak, masalah konflik dalam kehidupan keluarga
maupun dalam masyarakat dan lain-lain. Dan lebih lanjut hal tersebut sangat
berpengaruh terhadap kurangnya mutu kehidupan masyarakat, sehingga dibutuhkan
pandangan yang jernih untuk menganalisis bagaimana permasalahan itu muncul dan
bagaimana cara memecahkannya secara tuntas. Oleh karena itu penulis sebagai
peserta magang yang sudah melakukan pengamatan pedalaman di daerah pelayanan
ADP Kurima yang tertarik dengan kehidupan perempuan dan anak-anak akan mencoba
menelusuri permasalahan perempuan tersebut untuk dapat menemukan pangkal
permasalahan dan alternatif pemecahan permasalahan dan program untuk mengangkat
perempuan dan anak ke tingkat yang lebih baik.
2.MEREKA TERTINDAS DI BALIK KETEGARANNYA
Perempuan hamil, melahirkan dan menyusui, laki-laki
bekerja menggunakan ototnya, merupakan pembagian peranan yang ditentukan
berdasarkan keadaan biologis seseorang. Sedangkan perempuan memasak, mencari
air atau kayu bakar dan laki-laki menentukan kapan babi dipotong atau berunding
menentukan tempatnya tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, tetapi
ditentukan secara sosial. Pembagian
tugas dan peran demikian adalah pembagian tugas berdasarkan gender.
Gender adalah sekumpulan
nilai-nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial laki-laki dan
perempuan serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus
dilakukan oleh laki-laki dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya baik
dalam kehidupan keluarga maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu gender
merupakan rekayasa sosial atau dibentuk secara sosial oleh masyarakat. Gender
adalah pembedaan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Nilai-nilai dan ketentuan
gender di atas bisa berbeda-beda berdasarkan pada kelas/kelompok sosial yang
berbeda, misalnya ketentuan gender pada kelompok kaya aka