Sunday 29 November 2015

Dilema tes intoleransi laktosa

Sekitar dua minggu yang lalu (sesuai dengan rujukan atas hasil pemeriksaan dari dokter keluarga kami), saya pergi ke laboratorium untuk melakukan pemeriksaan intoleransi laktosa dalam tubuh saya. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kondisi atau kadar enzim yang bertugas untuk mencerna laktosa dalam tubuh. Sebenarnya saya juga baru mendengar istilah ini semenjak tinggal di Swiss. Hanya saja karena selama dua tahun lebih tinggal di negara ini, saya sering mengalami diare setelah minum susu sapi. Beberapa anggota keluarga menganjurkan untuk melakukan tes ini. Mereka menjelaskan juga bahwa memang kebanyakan orang asia yang hijrah ke Eropa mengalami permasalahan ini karena dalam tubuh orang Asia tidak terdapat cukup enzim untuk mencerna laktosa. Alasannya jelas karena orang Asia tidak terbiasa dengan minum susu sapi cair, atau menggunakan susu sapi cair dalam beberapa produk makanan.
Tes dimulai pada pukul 8:00 pagi, dimana saya dipertemukan dengan seorang perawat di salah satu ruangan. Dia menjelaskan bahwa tes yang akan kami lakukan gampang, hanya menghembuskan nafas ke dalam tujuh  tabung plastik dengan batas  waktu tertentu setiap tabungnya, dan keseluruhan proses akan berlangsung selama tiga jam. Hembusan nafas pertamapun diambil. Perawat menutup tabung dengan erat, kemudian mengantarnya ke ruangan sebelah. Sekembalinya dia mengatakan bahwa saya akan minum  teh yang sudah dicampur dengan bubuk susu. Dalam hati saya tersenyum, bagus deh saya haus sekali melebihi haus unta di padang gurun :P (Oh ya, sebelumnya saya harus berpuasa semenjak bangun tidur pagi ini, tanpa minum atau makan apapun. Jelaslah perut saya kosong dan cekung).  Teh susupun saya teguk dengan tuntas. Lalu dia meminta saya menghembuskan nafas ke duakalinya. Setelah itu saya diminta untuk menunggu di ruang tunggu, dan mengatakan bahwa dia akan datang kepada saya untuk mengisi nafas dalam tabung.
Sambil menunggu di sofa yang nyaman dan empuk, saya mengisi waktu dengan membaca buku yang baru saya pinjam dari salah satu organisasi perempuan di kota ini. Sesekali saya memperhatikan petugas laboratorium dan para pasien yang akan melakukan tes,  lalu lalang di hadapan saya. Lima menit berlalu, saya mendengar suara gemuruh dari kedalaman perut cekung saya. Apa ini?Tolong jangan sekarang!Semakin saya ingin lupakan, namun gemuruh itu berubah menjadi sakit yang membelit usus-usus saya. Saya tahan untuk tidak meringis, karena malu dilihat oleh anak yang sedang duduk tepat di hadapan saya. Bertarung menahan rasa sakit, saya harus tunggu perawat hingga batas lima belas menit yang ditentukan untuk mengambil hembusan nafas baru. Oh dia datang, dengan sigap saya hembuskan nafas dan bergegas ke wc. Bretttttttttt…..busetttt derasnya seperti tekanan air keran. Rasa sakit di perut bukannya berkurang namun tetap menggerogoti hingga ke ulu hati. Setelah merasa puas mengeluarkan cairan itu, saya kembali ke sofa. Si perawat menanyakan keadaan saya, dan saya katakan saya sakit perut dan buang air sangat cair. Sepertinya dia tidak merasa bersalah sudah memberikan saya teh susu sebagai penyebab semua ini, dia hanya menimpali bahwa itu wajar karena saya memang intoleransi dengan laktosa. Dia menyarankan saya untuk minum air putih yang sudah tersedia di ruang tunggu. Karena memang haus sekali, saya minum hingga dua gelas. Saat itu saya membayangkan berada di meja makan dapur rumah kami dan menyantap sarapan roti dan selai serikaya sisa oleh-oleh saya musim panas lalu. Oh ternyata masih pukul sembilan pagi. Saya harus menunggu dua jam lagi.
Sepertinya dua gelas air putih sedang bercumbu dengan teh susu di dalam usus-usus saya, hasil percumbuan mereka tidak membawa kebahagiaan buat tubuh saya. Rasa sakit baru muncul, lebih sakit dari sebelumnya. Saya tidak ingin menebak-nebak, langsung saya ambil langkah sepuluh ke wc untuk kedua kalinya (karena wcnya emang ga jauh dari ruang tamu). Brottttttt…brottttttt…brotttttt kali ini derasnya melebihi tekanan air pancuran di permandian umum kampung saya di tepi danau Toba. Untungnya kali ini alirannnya tidak mengalir langsung ke danau Toba ya :P. Saya meringis kesakitan, karena sepertinya perut saya sudah kosong melempem seperti kerupuk jange yang ga laku-laku dan terjebak dalam kaleng kerupuk di meja warung pojok karang gayam Jogja. SAKIT tapi PUAS itulah perasaan saya setelah keluar dari wc. Aduh si perawat mana nih? Saya lihat dia sedang berbicara dengan ibu lain yang berjaga di meja resepsionis, sambil bersiap-siap mengenakan jaket tebalnya dengan hp dan rokok di tangan. Yang saya tau dia mau izin keluar sebentar, yang saya ngga tau mungkin dia merasa bersalah dan butuh waktu untuk menyesali perbuatannya karena membuat saya bolak-balik masuk wc akibat teh susu pemberiannya (geer banget deh!). Si ibu yang merangkap resepsionispun mendekati saya, dengan mata sayu dan wajah minta dikasihani,  saya isi tabung plastik itu dengan nafas loyo setengah mampus.
Pukul 10:00 menjelang siang, sudah lima tabung plastik terisi. Sesekali saya melirik galon air di sebelah kanan saya, ragu apakah saya minum atau tidak. (gampang banget deh trauma). Hingga si perawat yang sudah kembali bertugas datang membawa tabung plastik yang ke enam dan mengatakan akan ada satu tabung lagi dan segera selesai. Ohhhh, kalau tau begini sepertinya saya tidak perlu jujur-jujur banget masalah diare ke dokter keluarga saya. Kenapa tidak saya berhenti saja mengkonsumsi susu sapi dan masalah diare tidak akan berlanjut dengan drama pemeriksaan ini.Ok, tabung plastik ke tujuh datang dan perawat mempersilakan saya pulang dan mengatakan hasil tes akan dikirim kepada dokter keluarga kami. Dengan senang hati saya permisi dan secepat mungkin merogoh tas saya. Ya, saya memang sudah mempersiapkan buah pisang dan jeruk untuk disantap setelah tes selesai. Penderitaan tidak berhenti setelah saya kembali di rumah. Setelah makan siang, sakit di perut masih berlanjut. Namun pukul 13:45 saya harus bekerja menggantikan guru yang sakit di sekolah PAUD Universitas Lausanne. Dengan semangat yang patah-patah sayapun berhasil bekerja siang itu. Terlebih saat bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak itu, semangat saya tidak pernah luntur, walaupun tingkah laku mereka melebihi gemuruh di perut saya sejak pagi ini.

Saturday 28 November 2015

Perempuan tua di lampu merah

Saya pernah menunggu lampu merah berubah menjadi lampu hijau. Seorang perempuan tua dan agak bungkuk berdiri di sebelah saya dengan tongkat di tangan kanannya dan tas kresek penuh dengan barang belanja di tangan kirinya. Lampu hijau menyala, kami mulai menyeberang. Saya memperhatikan langkah perempuan tua ini yang sangat lambat. saya mulai khawatir karena lampu hijau akan segera berubah jadi kuning.dan akan hanya beberapa detik lagi berubah jadi merah. saya mendekati nya dan menanyakan apakah saya bisa membantunya membawakan tas kreseknya. Tanpa melihat wajah saya dia dengan sigap mengatakan « tidak, terimakasih ». Saya pun melanjutkan langkah kaki saya sambil sekali-sekali melihat ke belakang memperhatikan perempuan tua tadi. Dia semakin jauh di belakang saya berjalan dengan lambat (pastinya ga jalan di tempat ya J). Jalanan mulai menanjak dan lagi-lagi saya menoleh ke belakang, dia semakin jauh tertinggal. Sambil sesekali terngiang jawabannya yang tegas dan pasti (tidak,terimakasih). Pelajaran indah yang saya dapat dari kisah ini adalah bahwa kemandirian individu di kota ini sangat tinggi. Berapapun usia anda, selagi anda bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, anda akan melakukannya sendiri. Tidak manja dan tergantung dengan orang lain merupakan prinsip utama untuk bisa hidup mandiri. Saya menyadarinya semenjak saya menjadi guru di sekolah pendidikan anak usia dini di kota ini. Setiap anak dibekali kemandirian sejak usia dini.  Namun ada juga pelajaran yang ngga indah dari kisah ini yaitu saya sebagai penawar bantuan merasa tertolak saat ingin membantu orang lain. Saya merasa terlalu ramah dan terlalu baik terhadap orang lain yang tidak saya kenal. Kisah ini terjadi setelah dua bulan saya tinggal di kota ini. Saat itu saya langsung menyimpulkan bahwa tidak perlu ramah-ramah banget sama orang lain. Padahal ramah itu adalah bawaan lahir saya J. Namun yang sama sekali tidak boleh saya lupakan adalah bahwa perempuan tua itu punya hak untuk menolak bantuan saya. Setiap orang berhak untuk mengungkapkan pendapat terhadap orang lain. Mari belajar untuk menghargai pendapat orang lain baik itu mengenakkan atau mengenegkan J


Tuesday 24 November 2015

Dokterku luar biasa


Setelah tinggal selama dua tahun lebih di kota ini, untuk pertama kalinya saya pergi menemui dokter umum (dokter keluarga) yang sebenarnya sudah terdaftar sejak kedatangan saya di sini. Pemilihan dokter keluarga adalah wajib dilakukan saat mendaftarkan diri pertama kali di salah satu asuransi kesehatan. Saat itu kami sama sekali tidak punya ide untuk memilih siapa yang akan menjadi dokter keluarga kami, namun karena dituntut kewajiban harus memilih salah satu nama dari daftar yang ada kamipun memilih dokter Nicolas Dolivo dengan alasan lokasi prakteknya yang tidak jauh dari tempat kami tinggal. Kenapa baru sekarang menemui dia setelah terdaftar dua tahun ?
Sebenarnya secara umum saya sangat sehat, demikian juga kesan pertama yang dilihat oleh dokter saya. Namun ada dua alasan yang mendorong saya pergi menemui dokter keluarga ini, yaitu alasan kesehatan dan alasan administratif. Dari segi kesehatan saya sering mengalami darah rendah dan selalu sakit perut dan diare setelah minum susu sapi. Dari segi administrasi bahwa saya membutuhkan surat keterangan sehat terbaru dari dokter, yang harus diserahkan kepada pihak sekolah dimana saya akan mulai bekerja bulan januari tahun depan. Sayapun membuat janji bertemu dengan dokter lewat perawat yang sekaligus asisten nya.
Kedatangan saya di tempat praktek dokter ini disambut baik oleh perawat dan kebetulan masih ada pasien lain yang sedang konsultasi dengan dokter di ruangan lain. Sayapun dipersilakan menunggu di ruang tunggu. Saya keluarkan catatan kecil titipan suami yang bisa membantu saya menjelaskan keadaan kesehatan saya dalam bahasa mereka, bahasa perancis. Berselang sepuluh menit kemudian seorang lelaki menggowes kursi rodanya ke arah saya dan menyuruh saya masuk ke ruang konsultasi. Saya bingung dan mulai bertanya dalam hati. Ramah sekali lelaki itu (yang dalam pikiran saya dia adalah pasien yang baru selesai diperiksa oleh dokter)! Sayapun masuk ke ruangan yang ditunjuk olehnya. Tidak ada siapapun yang duduk di balik meja di hadapan saya. Saya tetap berdiri sambil berpikir mungkin dokter saya sedang mempersiapkan diri di ruangan sebelah. Benar sekali, saya dengar beliau sedikit berteriak dari ruangan sebelah meminta saya menunggu dan mengatakan bahwa dia segera datang. Dia tidak ingkar janji, hanya beberapa detik dia sudah di hadapan saya. Dia adalah orang yang sebelumnya menyapa saya di ruang tunggu. Dia adalah dokter yang akan memeriksa saya. Dia adalah dokter keluarga yang kami pilih dua tahun lalu. Dia menyodorkan tangannya dan mengucapkan salam perkenalan. Ya, namanya dokter Nicolas Dolivo. Dokter yang bekerja di atas kursi roda.
Apakah kita, saya, orang lain, anda sebagai pembaca memiliki perasaan yang sama dengan kisah ini? Saya tidak bisa pastikan ya atau tidak. Namun di sini saya hanya ingin membagikan kisah indah yang saya alami. Saya memiliki dokter keluarga yang bekerja dari kursi rodanya. Apakah ini biasa dalam pandangan umum? Secara jujur saya katakan ini tidak biasa! Tapi saya berusaha biasa saat dia memeriksa keadaan saya. Kami berdialog layaknya pasien dan dokter. Terkadang saya memperhatikan dan terkagum dengan kecekatan dia menggowes roda kursinya dari ruangan konsultasi ke ruangan pemeriksaan. Saya menikmati setiap perbincangan dan proses pemeriksaan yang kami buat. Saya menemukan kenyamanan saat berbincang dengan dia. Dia mendukung pola hidup sehat yang saya jalankan. Terkadang dia mengoreksi cara saya mengucapkan beberapa kata dalam bahasa perancis. Diapun mengingatkan apakah saya sudah pernah disuntik vaksin cacar, karena saya akan bekerja dengan anak kecil. Pemeriksaan selesai dengan hasil sementara bahwa tekanan darah saya memang rendah. Namun dia tidak menganjurkan saya untuk mengkonsumsi obat hanya untuk menaikkan tekanan darah. Saya hanya disarakankan untuk minum air putih dan menjaga pola makan. Kunjungan saya akhiri dengan pengambilan beberapa cc darah oleh perawat dan saya diberikan kertas pertemuan untuk memeriksa intoleransi laktosa di laboratorium minggu berikutnya. Sepanjang perjalanan pulang saya masih terharu bangga bahwa seorang yang biasa seperti saya diperiksa oleh dokter yang luar biasa.