Sekitar dua minggu yang lalu (sesuai
dengan rujukan atas hasil pemeriksaan dari dokter keluarga kami), saya pergi ke
laboratorium untuk melakukan pemeriksaan intoleransi laktosa dalam tubuh saya.
Tes ini bertujuan untuk mengetahui kondisi atau kadar enzim yang bertugas untuk
mencerna laktosa dalam tubuh. Sebenarnya saya juga baru mendengar istilah ini
semenjak tinggal di Swiss. Hanya saja karena selama dua tahun lebih tinggal di
negara ini, saya sering mengalami diare setelah minum susu sapi. Beberapa
anggota keluarga menganjurkan untuk melakukan tes ini. Mereka menjelaskan juga bahwa
memang kebanyakan orang asia yang hijrah ke Eropa mengalami permasalahan ini
karena dalam tubuh orang Asia tidak terdapat cukup enzim untuk mencerna
laktosa. Alasannya jelas karena orang Asia tidak terbiasa dengan minum susu
sapi cair, atau menggunakan susu sapi cair dalam beberapa produk makanan.
Tes dimulai pada pukul 8:00
pagi, dimana saya dipertemukan dengan seorang perawat di salah satu ruangan. Dia
menjelaskan bahwa tes yang akan kami lakukan gampang, hanya menghembuskan nafas
ke dalam tujuh tabung plastik dengan
batas waktu tertentu setiap tabungnya,
dan keseluruhan proses akan berlangsung selama tiga jam. Hembusan nafas
pertamapun diambil. Perawat
menutup tabung dengan erat, kemudian mengantarnya ke ruangan sebelah. Sekembalinya
dia mengatakan bahwa saya akan minum teh
yang sudah dicampur dengan bubuk susu. Dalam hati saya tersenyum, bagus deh
saya haus sekali melebihi haus unta di padang gurun :P (Oh ya, sebelumnya
saya harus berpuasa semenjak bangun tidur pagi ini, tanpa minum atau makan
apapun. Jelaslah perut saya kosong dan cekung). Teh susupun saya teguk dengan tuntas. Lalu dia
meminta saya menghembuskan nafas ke duakalinya. Setelah itu saya diminta untuk
menunggu di ruang tunggu, dan mengatakan bahwa dia akan datang kepada saya
untuk mengisi nafas dalam tabung.
Sambil menunggu di sofa yang nyaman
dan empuk, saya mengisi waktu dengan membaca buku yang baru saya pinjam dari
salah satu organisasi perempuan di kota ini. Sesekali saya memperhatikan petugas
laboratorium dan para pasien yang akan melakukan tes, lalu lalang di hadapan saya. Lima menit berlalu, saya mendengar suara
gemuruh dari kedalaman perut cekung saya. Apa ini?Tolong jangan sekarang!Semakin
saya ingin lupakan, namun gemuruh itu berubah menjadi sakit yang membelit
usus-usus saya. Saya tahan untuk tidak meringis, karena malu dilihat oleh anak
yang sedang duduk tepat di hadapan saya. Bertarung menahan rasa sakit, saya
harus tunggu perawat hingga batas lima belas menit yang ditentukan untuk
mengambil hembusan nafas baru. Oh dia datang, dengan sigap saya hembuskan nafas
dan bergegas ke wc. Bretttttttttt…..busetttt derasnya seperti tekanan air
keran. Rasa sakit di perut bukannya berkurang namun tetap menggerogoti hingga
ke ulu hati. Setelah merasa puas mengeluarkan cairan itu, saya kembali ke sofa.
Si perawat menanyakan keadaan saya, dan saya katakan saya sakit perut dan buang
air sangat cair. Sepertinya dia tidak merasa bersalah sudah memberikan saya teh
susu sebagai penyebab semua ini, dia hanya menimpali bahwa itu wajar karena
saya memang intoleransi dengan laktosa. Dia menyarankan saya untuk minum air putih
yang sudah tersedia di ruang tunggu. Karena memang haus sekali, saya minum
hingga dua gelas. Saat itu saya membayangkan berada di meja makan dapur rumah
kami dan menyantap sarapan roti dan selai serikaya sisa oleh-oleh saya musim
panas lalu. Oh ternyata masih pukul sembilan pagi. Saya harus menunggu dua jam
lagi.
Sepertinya dua gelas air putih sedang bercumbu
dengan teh susu di dalam usus-usus saya, hasil percumbuan mereka tidak membawa
kebahagiaan buat tubuh saya. Rasa sakit baru muncul, lebih sakit dari
sebelumnya. Saya tidak ingin menebak-nebak, langsung saya ambil langkah sepuluh
ke wc untuk kedua kalinya (karena wcnya emang ga jauh dari ruang tamu).
Brottttttt…brottttttt…brotttttt kali ini derasnya melebihi tekanan air pancuran
di permandian umum kampung saya di tepi danau Toba. Untungnya kali ini alirannnya
tidak mengalir langsung ke danau Toba ya :P. Saya meringis kesakitan, karena
sepertinya perut saya sudah kosong melempem seperti kerupuk jange yang ga
laku-laku dan terjebak dalam kaleng kerupuk di meja warung pojok karang gayam
Jogja. SAKIT tapi PUAS itulah perasaan saya setelah keluar dari wc. Aduh si
perawat mana nih? Saya lihat dia sedang berbicara dengan ibu lain yang berjaga
di meja resepsionis, sambil bersiap-siap mengenakan jaket tebalnya dengan hp
dan rokok di tangan. Yang saya tau dia mau izin keluar sebentar, yang saya ngga
tau mungkin dia merasa bersalah dan butuh waktu untuk menyesali perbuatannya karena
membuat saya bolak-balik masuk wc akibat teh susu pemberiannya (geer banget deh!).
Si ibu yang merangkap resepsionispun mendekati saya, dengan mata sayu dan wajah
minta dikasihani, saya isi tabung
plastik itu dengan nafas loyo setengah mampus.
Pukul 10:00 menjelang siang, sudah lima tabung plastik terisi.
Sesekali saya melirik galon air di sebelah kanan saya, ragu apakah saya minum
atau tidak. (gampang banget deh trauma). Hingga si perawat yang sudah kembali
bertugas datang membawa tabung plastik yang ke enam dan mengatakan akan ada
satu tabung lagi dan segera selesai. Ohhhh, kalau tau begini sepertinya saya
tidak perlu jujur-jujur banget masalah diare ke dokter keluarga saya. Kenapa
tidak saya berhenti saja mengkonsumsi susu sapi dan masalah diare tidak akan
berlanjut dengan drama pemeriksaan ini.Ok, tabung plastik ke tujuh datang dan
perawat mempersilakan saya pulang dan mengatakan hasil tes akan dikirim kepada
dokter keluarga kami. Dengan senang hati saya permisi dan secepat mungkin
merogoh tas saya. Ya, saya memang sudah mempersiapkan buah pisang dan jeruk
untuk disantap setelah tes selesai. Penderitaan tidak berhenti setelah saya
kembali di rumah. Setelah makan siang, sakit di perut masih berlanjut. Namun
pukul 13:45 saya harus bekerja menggantikan guru yang sakit di sekolah PAUD
Universitas Lausanne. Dengan semangat yang patah-patah sayapun berhasil bekerja
siang itu. Terlebih saat bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak itu,
semangat saya tidak pernah luntur, walaupun tingkah laku mereka melebihi
gemuruh di perut saya sejak pagi ini.