Thursday 19 February 2015

Nama adalah identitas bagi anak

Masih berlanjut soal cara memanggil nama, tapi kali ini cara memanggil nama bagi anak oleh orang dewasa termasuk oleh orangtuanya. Lagi-lagi tulisan ini adalah hasil refleksi pribadi yang kadang menggelitik namun juga gerah dalam kepalaku. Sekali lagi, ini bukan sindiran tetapi karena keinginan untuk berbagi dengan pembaca baru juga pembaca setia blog ini.
Pemberian nama bagi setiap anak yang baru lahir pastinya membutuhkan usaha dan cara beragam. Ada orangtua yang sibuk bertanya ke sana ke mari, membaca dalam buku kumpulan nama-nama bayi, mencari di dalam internet, meminta masukan dari orang-orang yang lebih tua dan banyak cara lainnya. Nama-nama yang terpilih dan akhirnya diberikan kepada anak juga beragam, ada yang pendek, sedang, panjang dan sangat-sangat panjang. Ini hanyalah nama depan. Belum bagi suku-suku tertentu yang memiliki budaya memberikan nama keluarga di belakang nama depan dan ada juga istilah nama baptis untuk agama tertentu.
Adapun setiap orangtua memiliki maksud di balik pemilihan nama bagi anak mereka. Setiap nama akan memiliki arti masing-masing. Nama indah dengan arti yang lebih indah lagi menjadi simbol adanya harapan kebaikan di baliknya. Banyak orangtua berharap bahwa apabila anak menyandang nama yang indah dengan arti yang indah, dia akan menjadi orang yang baik, bijaksana, sopan, berhasil, makmur, jaya, sentosa, bahagia di masa depannya. Mau satu contoh satu nama yang agak panjang? Misalnya saja nama saya sebelum menikah Fatmawati Indah Lestari Girsang. Saya memiliki tiga nama depan. Fatma yang berarti bunga teratai, wati yang berarti perempuan, Indah yang berarti menarik/enak dipandang, Lestari yang berarti selalu hidup subur dan terawat, sedangkan Girsang adalah nama keluarga/marga batak yang saya sandang dari bapak saya. Nah apabila disambungkan artinya kira-kira demikian: seorang perempuan yang menarik enak dipandang mata seperti bunga teratai yang subur anak dari bapak Girsang. Aduh bagus sekali bukan? Saya yakin pasti masih banyak contoh nama-nama yang bagus dan menarik lainnya yang disandangkan kepada anak.
Sebenarnya apa hal yang menggelitik dalam kepala saya yang membawa saya pada niat untuk berceloteh lewat tulisan ini?Jelas sekali karena keindahan nama pemberian orangtua ini. Anak yang menyandang nama sedemikian panjang dan indah mungkin bangga memiliki nama panjang dengan arti yang bagus. Namun apakah orangtua semuanya konsisten dengan nama yang dia  sandangkan bagi anak?Akhir-akhir ini tidak sedikit orangtua yang baru memiliki anak, dengan bangga mengunggah foto anak mereka di media sosial dengan penjelasan tulisan nama anak yang panjang dan indah. Bblablablabla......Yang membuat saya tersenyum pahit adalah saat si ibu memberikan nama kecil untuk anaknya “si pesek”. Supaya lebih jelas lagi dia dengan bangga membalas komentar teman-temannya dengan penjelasan yang mengarahkan mereka menilai hiduang anaknya, “iya lho lihat aja tuh hidungnya pesek banget”. Kemudian ditimpali oleh teman-temannya lagi: “si pesek nan cantik”, “si pesek tapi putih”.  Hampir setiap hari foto anaknya diunggah dalam media sosial ini dengan tulisan penjelasan: si pesek lagi minum, si pesek lagi bobo,dan blablablabla...
Nama-nama panggilan ini tidak hanya tercipta dengan melihat kekurangan anak, sebaliknya juga ada yang memanggil anaknya dengan sebutan “si mancung kami”, “si putih kami”, "si gendut", "si montok", "si cantik", "si ganteng" dan biasanya ditambah dengan komentar pujian seperti: iya mancung banget hidungnya, kayak bule. Ada juga yang sangat drastis: putih banget ya padahal bapak-mamanya itam dekil. Atau dengan pujian lain: wah rambutnya lurus kayaknya tuh, gak keriting kayak bapaknya. Blablablabla....
Dengan nama panggilan yang dianggap “lucu” ini saya menjadi teringat dengan contoh-contoh lain yang sebenarnya banyak sekali saya jumpai bahkan saya alami semasa kecil. Sampai saat ini masih jelas saya ingat nama panggilan bagi saya oleh saudara-saudara saya waktu itu “si birong”, “si birong galot”,  yang artinya si hitam, si hitam seperti babi hutan. Memasuki masa SMP saya dipanggil “si tepos” oleh beberapa teman laki-laki. Memasuki masa SMA saya dipanggil “si rambut singa” oleh beberapa teman perempuan. Memasuki masa kuliah saya dipanggil “si batak” oleh beberapa teman nongkrong, karena aksen berbicara saya. Sepertinya masa pergaulan saya tidak lepas dari nama panggilan yang melekat dengan fisik dan penampilan luar saya. Apakah hanya saya yang mengalami hal seperti ini? Saya yakin tidak!!
Pemberian nama panggilan yang mengarah ke fisik anak sepertinya menjadi hal biasa bagi beberapa orang dewasa. Motifnyapun mungkin beragam, mungkin ada yang ingin kelihatan lucu, mungkin juga ingin mempertegas keadaan fisik si anak. Namun taukah kita (orang dewasa), di balik nama-nama yang kita anggap lucu tersebut akan berakibat tidak baik baik anak?Tidak hanya sebatas teringat seperti halnya saya sekarang, tetapi jauh lebih lagi. Anak yang dipanggil dengan nama-nama yang mengarah kepada penilaian fisiknya akan tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri dan juga sebaliknya akan tumbuh menjadi anak yang tinggi hati. Menilai fisik orang lain akan menjadi hal biasa bagi anak. Anak akan melihat manusia dari cara orangtuanya menilai dia. Tidak heran juga banyak anak akan memilih teman bermainnya dari fisik atau penampilan luarnya. Contoh yang lebih bahaya lagi adalah anak akan heran melihat bahwa ada suku lain yang memiliki warna kulit, ukuran hidung, dan jenis rambut yang berbeda.
Apakah hal-hal yang saya paparkan di atas hal sepele?Saya rasa tidak. Mari kita amati di sekitar kita, banyak orang dewasa yang dulunya adalah “anak”  yang menyandang nama-nama indah pemberian orangtua, mungkin di masa pertumbuhannya dia menyandang nama panggilan yang merujuk ke fisiknya, mungkin juga dia tumbuh dalam keluarga yang memberikan nama panggilan “lucu” bagi ornaglain, semuanya hanya kemungkinana. Sehingga banyak saya amati manusia yang menjadi komentator-komentator rasis di media. Mereka berdebat dan berkomentar dengan mengangkat suku, agama, aliran, warna kulit, keturunan, bentuk tubuh, jenis rambut, bentuk hidung, dan blablablabla....ah sudahlah, saya sedih!!
Dan apa kabar nama-nama indah yang disandangkan oleh orangtua kepada anak?Mungkin mereka hanya tinggal nama :I



Thursday 12 February 2015

Perbedaan cara memanggil nama

Kali ini saya akan menulis tentang perbedaan lain yang mencolok di antara negara saya, Indonesia dan negara tempat tinggal saya sekarang, Swiss. Sekali lagi buat para pembaca baru ataupun yang setia mengikuti blog saya, ini hanyalah hasil observasi dan adaptasi saya di tempat baru. Jadi, isi blog saya ini sesuai fakta namun saya tidak mengharuskan anda untuk setuju dengan tulisan saya. Tujuan saya selalu pada satu hal: ingin berbagi J
Hal yang paling membingungkan saat pertama kali berkunjung ke sini adalah bagaiman cara memanggil calon mertua saya? Saya yang asli suku batak sudah hafal sejak kecil, panggilan untuk calon mertua perempuan adalah namboru dan panggilan untuk calon mertua laki-laki adalah mangkela. Tapi mereka bukanlah suku batak, jadi saya tanya Patrick boleh atau tidak saya  memanggil mereka dengan ibu dan bapak saja(tentunya ibu dan bapak dalam bahasa perancis, madame et monsieur). Dia menjelaskan kalau panggilan tersebut terlalu formal dan kaku, tidak menunjukkan kedekatan. Panggilan ini berlaku untuk orang yang kita temui/berpapasan di jalan, di toko, di kantor, atau untuk pengajar di sekolah formal. Saya tawarkan kembali, atau mungkin dengan istilah mama dan papa (maman et papa), dia malah tertawa dan bilang itu panggilan ke orangtua oleh anak. Dia menyuruh saya untuk memanggil orangtuanya dengan nama masing-masing saja. Mereka akan merasa dihormati apabila saya memanggil mereka dengan nama masing-masing. Saya bersikukuh bilang bahwa lidah saya tidak sanggup untuk menyebut nama mereka. Dalam budaya suku batak, menyebut nama orangtua adalah satu hal yang pantang. Nama orangtua berada pada tempat suci dan tidak tersentuh J. Hingga enam bulan mengenal mertua saya, akhirnya seiring dengan masa adaptasi, saya berhasil memanggil nama mereka dengan jelas dan tanpa malu-malu. Sebelumnya saya hanya berkomunikasi tanpa menyebut nama langsung saat memanggil mereka. Saat saya jelaskan kepada orangtua saya, mereka heran dan bilang tidak sopan memanggil mertua dengan menyebut nama. Saya berusaha menjelaskan budaya di negara ini memang seperti itu dan mereka samasekali tidak keberatan.
Cara ini juga berlaku bagi anak-anak yang di tempat saya bekerja. Mereka memanggil pendidik anak dengan nama masing-masing. Tanpa embel-embel, ibu, bapak, abang, kakak, mas,mba atau seperti sebutan lain yang biasa saya pakai di negara saya. Di sela-sela diskusi saat makan bersama, mereka juga sering saling bertanya nama orangtua masing-masing dan dengan bangga mereka akan menyebutkan nama orangtua dari temannya. Saya yang duduk di dekat mereka juga tidak terlewat dari interogasi ini. “Fatma, nama mamamu siapa? Terus nama papamu?”. Saya dengan tersenyum memberitahu mereka nama mama dan papa saya. Situasi ini membawa ingatan saya ke masa kecil dimana saat duduk di SD, saya dan teman-teman saling mengejek dengan nama orangtua masing-masing. Tidak sedikit di antara kami akhirnya menangis karena nama orangtuanya disebutkan dan kami akan malu karena teman yang lain akhirnya tahu siapa nama orangtua kami. Begitu berharganya nama orangtua bagi anak-anak di desa saya sehingga dijaga dengan sangat rahasia J
Contoh lain yang teraktual akhir-akhir ini adalah panggilan untuk saya yang diberikan oleh anak-anak teman saya. Mereka adalah anak-anak hasil kawin campur, mama mereka orang Indonesia dan papa mereka orang Swiss. Karena hasil kawin campur, anak-anak ini bisa berbahasa indonesia dan perancis dengan lancar. Setiap bertemu saya selalu usahakan berbahasa indonesia kepada mereka. Mereka memanggil saya dengan sebutan tata/tante Fatma. Namun terkadang lidah kami keseleo dan akhirnya kami juga berbahasa perancis dan dengan otomatis mereka memanggil saya dengan sebutan Fatma, tanpa embel-embel lagi. Saya hanya bisa tertawa :D sambil memberitahu kepada ibunya.
Contoh lain adalah minggu lalu saat saya melakukan satu hari observasi calon anak dampingan saya bersama mamanya. Anak ini juga merupakan anak hasil kawin campur, mamanya orang Korea dan papanya orang Belanda. Saat kami berjalan-jalan menikmati matahari di tepi danau, sambil berkomunikasi dengan anaknya dengan bahasa korea saya mendengar istilah Fatma nuna. Dia menjelaskan kepada saya bahwa Fatma nuna artinya kakak perempuan bernama Fatma. Hampir sama dengan di Indonesia, budaya di Korea juga tidak elok memanggil orang yang lebih tua dengan menyebut nama langsung, harus selalu menggunakan embel-embel oppa, nuna dll. Saya lagi-lagi tersenyum J
Contoh-contoh yangs aya paparkan di atas merupakan fakta yang memberikan ruang refleksi bagi saya. Anak-anak ini jelas memiliki dua budaya yang tertanam di dalam dirinya, budaya yang menjadi identitasnya di masa depan.  Memang setiap suku dan bangsa memiliki cara, kebiasaan dan budaya masing-masing, tanpa harus menilai rendah atau menilai tinggi satu dengan yang lain. Hanya saja dibutuhkan keinginan untuk belajar beradaptasi J

Wednesday 11 February 2015

Anak membuang makanan

Penting bagi anak anda untuk tahu cara makan. Mungkin awal-awal akan kacau. Anda tidak akan nyaman melihat semua berantakan, tetapi hal ini merupakan bagian dari usaha anak anda menjadi mandiri. Apabila anda tidak ingin waktu makan berubah menjadi waktu yang buruk, maka jangan hukum anak anda ketika dia tidak ingin makan atau makanan berantakan kemana-mana.

Sebenarnya kenapa anak membuang makanan?

Beberapa anak lebih tertarik dengan mainan daripada makanan atau mereka memiliki kesulitan untuk duduk tenang dalam waktu tertentu sehingga reaksi yang mereka tunjukkan adalah dengan membuang makanan.
-     -  Mungkin ini adalah tanda kalau anak anda sudah kenyang dan ingin selesai makan. Coba untuk tidak pusing dengan seberapa banyak dia makan: dia makan berarti dia lapar. Jangan berikan dia makanan manis atau cemilan terlalu berat selama dua jam sebelum makan, kalau tidak dia pasti tidak akan lapar lagi saat waktunya makan.
-      - Dia mencoba mencari perhatian anda. Cobalah beri perhatian pada anak anda dan berikan pujian saat dia membuat gerakan yang baik.

Bagaimana caranya mencegah agar anak tidak membuang makanan?

-    - Tarik piring yang ada di depannya secara berkala saat dia ingin membuang makanan dan anda bisa katakan bahwa membuang makanan tidak baik. Dia akan perlahan mengerti bahwa tidak dibenarkan membuang makanan. Cobalah bersabar :)
    - Ajak anak anda untuk ikut membantu anda membersihkan makanan yang berantakan.

Tuesday 10 February 2015

Perbedaan cara memberi makan pada anak

Di negara saya , Indonesia, bisa dibilang banyak anak makan tidak di meja makan. Orangtua atau pengasuh anak memberi makan anak di luar rumah sambil dibawa jalan-jalan sore menggunakan kereta dorong atau sambil bermain gelantungan di taman. Ada juga yang memberi makan di ruang tamu sambil menghidupkan televisi atau sambil anak bermain di lantai dan akhirnya main kejar-kejaran. Cara-cara tersebut kebanyakan bertujuan agar anak mau makan. Jalan-jalan, mainan, televisi atau aktivitas lain dilakukan untuk mengalihkan perhatian anak pada konsentrasi makan. “katanya” biar anak tidak sadar pas disuap/disogok makanan ke dalam mulutnya. Banyak orangtua yang pusing atau takut apabila anak tidak mau makan atau tidak berhasil makan dengan baik. Sehingga biasanya cara lainpun akan dicari agar anak berhasil makan. Cara unik lain adalah dengan membawa anak jalan-jalan dengan mobil keliling kompleks sambil disuap dengan makanan. Setelah makanan habis barulah kembali ke rumah. Tidak jarang pula anak akhirnya makan makanan yang dingin karena membutuhkan waktu berjam-jam untuk menghabiskannya. Dari keseluruhan cara ini, pastinya anak tidak makan dengan tangan sendiri. Orangtua atau pengasuh yang bertugas menyuap/menyogok makanan ke dalam mulut anak. Sedangkan tangan anak hanya diam atau sibuk dengan mainan yang sudah disediakan. Tidak sedikit anak yang hingga umur 5 tahun masih disuap dengan cara-cara di atas setiap jam makan. Sehingga orangtua harus membagi waktu untuk menyuap anak dan makan untuk dirinya sendiri. Beberapa orangtua mengambil langkah menyuapi anak dengan alasan agar makanan tidak berserakan di lantai dan akhirnya mengotori lantai. Sehingga tidak perlu repot lagi membersihkannya.
Lalu, bagaimana dengan cara memberi makan anak di negara Swiss? Sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya bekerja di sekolah PAUD di negara ini, saya akan berbagi sedikit bagi anda yang penasaran. Mungkin bagi orang yang belum tahu akan melihat ini sebagai cara yang kaku atau sebaliknya. Mari kita lihat perbedaanya. Sebelum jam makan, anak akan diingatkan kira-kira beberapa menit lagi waktunya makan. Kemudian orang dewasa akan menyiapkan meja dan peralatan makan sesuai dengan jumlah orang yang makan. Kursi untuk anak akan disesuaikan dengan usianya. Anak bayi yang belum bisa duduk akan diberi makan di kursi khusus dengan posisi berbaring, sedangkan anak yang sudah bisa duduk akan duduk di kursi bayi yang ukuran dan bentuknya berbeda dengan kursi orang dewasa. Sebelum makan biasanya orang dewasa akan menjelaskan dengan singkat menu yang tersedia. Waktunya makan, tidak semua anak bayi yang duduk bersama orangtua akan makan dengan sendok yang sudah disediakan. Bayi usia 7 bulan-1,5 tahun mulai belajar makan sendiri dengan menggunakan tangan. Orang dewasa akan dengan pengertian mengarahkan tangannnya menggunakan sendok, walaupun akhirnya anak akan mencoba meraih makanan sendiri dan memasukkan ke mulutnya dengan tangan. Sedangkan anak yang sudah berusia di atas 1,5 tahun tahun biasanya sudah mulai lancar makan sendiri dengan sendok dan pisau pemotong makanan. Apakah dengan cara ini ada jaminan lantai akan bersih dari makanan jatuh?Tidak samasekali!Pasti selalu ada makanan yang jatuh ataupun air minum yang tumpah. Sambil makan, biasanya akan ada diskusi di meja makan, antara anak dan orang dewasa atau antara anak-anak itu sendiri. Ada dinamika, canda, tawa dan sopan santun yang tercipta. Misalnya saat anak meminta makanan tambahan dia akan meminta dengan kata tolong dan ditutup dengan kata terimakasih. Tentunya anak akan disarankan tidak bernyanyi saat waktunya makan atau tidak bermain dengan alat-alat makan di depannya. Dari kebiasaan ini saya mempelajari banyak hal baik dan berniat menulisnya sebagai bentuk refleksi.
Sekali lagi, kebiasaan yang baik sejak kecil akan memberi hasil yang baik bagi masa depan anak.
Mari belajar bersama :)