Wednesday 7 November 2012

Refleksi Perjalanan ke Desa Seima & Ugem

Belajar mengenai nilai-nilai budaya lokal yang terdapat dalam masyarakat sangatlah menarik. Banyak hal-hal baru yang sebelumnya tidak saya ketahui akhirnya terungkap di dalam masyarakat. Prinsip gotong-royong yang sangat kental yang terbentuk dalam masyarakat terlihat dalam hal pembangunan sarana-sarana umum seperti gereja, kantor desa dan Polindes. Bentuk gotong-royong yang dimaksud adalah mengambil kayu di hutan, menghaluskan, menyusun menjadi bangunan yang sebenarnya. Pohon milik pribadi akan direlakan oleh pemiliknya untuk disumbang kepada panitia pembangunan. Khusus untuk pembangunan kantor desa dan Polindes, pemerintah memberikan sumbangan dana sehingga proses pembangunan sarana-sarana tersebut berjalan dengan lancar. Namun untuk pembangunan gedung gereja, panitia samasekali tidak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, dana yang dipakai untuk penyelesaian gedung gereja tersebut adalah dana yang terkumpul dari setiap jemaat di distrik Mugi, dimana mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar 10 juta per jemaat. Ini merupakan jumlah yang sangat besar akan tetapi karena kesetiaan jemaat mereka rela menyumbangkan dana tersebut dari hasil penjualan panen hasil pertanian mereka.
Pada saat peresmian di bulan Desember 2009 yang akan datang, masyarakat juga menyumbangkan satu ekor babi dari setiap rumah tangga untuk dibakar saat acara. Hal ini mereka lakukan adalah sebagai tanda ucapan syukur atas berdirinya gereja di desa Seima. Pendeta di jemaat tersebut mengatakan bahwa proses pembangunan gedung gereja berlangsung dengan cepat dan lancar selama tiga bulan dengan menyewa buruh bangunan. Gedung gereja bercat putih berdiri kokoh di lapangan  yang luas, sebagai hasil dari usaha masyarakat secara bersama-sama.
Ada hal unik lain yang penulis temukan selama mengamati proses pembangunan sarana-sarana umum di dalam masyarakat, yaitu bekerja dengan iringan lagu-lagu daerah yang dinyanyikan oleh bapak-bapak yang bekerja. Sebelum memulai pekerjaan di pagi hari, seorang bapak yang turun ke lapangan tempat mereka bekerja akan bernyanyi dan sedikit berteriak dengan lantunan nada-nada khas Papua. Hal ini menandakan bahwa ia mengajak teman-teman yang lain untuk segera datang dan turut membantu. Tidak berapa lama penulis melihat satu-persatu bapak-bapak yang akan bergotong-royong datang ke lapangan tempat mereka bekerja. Setelah semuanya berkumpul kemudian dibentuklah tim khusus untuk mengambil kayu di hutan. Sebelum berangkat tim tersebut akan berbaris rapi dan menyanyikan lagu-lagu daerah sebagai penyemangat dalam melakukan pekerjaan bersama-sama. Sepanjang perjalanan menuju tempat pengambilan kayu, semangat mereka masih tetap terdengar dari pemukiman penduduk. Sesekali terdengar lagu-lagu masih dinyanyikan dan berbaris dengan rapi menghadap ke arah pemukiman penduduk. Demikian halnya pada saat tim pengambil kayu kembali dengan kayu hasil dari pencaria di hutan, mereka disambut dengan lagu-lagu daerah oleh bapak-bapak lain yang berada di lapangan. Sungguh suatu kejadian baru yang sangat unik bagi penulis.
Saya menemukan sistem partisipasi yang sangat erat terbentuk dalam masyarakat. Dalam hal pembagian peran antara laki-laki dan perempuan juga terlihat sangat berbeda, baik dalam pertanian maupun dalam bergotong-royong. Dalam melakukan persiapan lahan, mulai dari pembukaan lahan, membabat, mencangkul hingga membersihkan lahan dilakukan kaum oleh laki-laki. Proses berikutnya dilakukan oleh kaum perempuan, yakni menyiapkan benih yang baik, menanam, merawat, menyiangi, memanen, menjual hasil di pasar hingga mengelola keuangan keluarga. Pembagian peran antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam bergotong-royong membangun sarana umum juga terlihat jelas saat perempuan dikhususkan untuk memilih batu-batu di daerah berbukit dan mengangkutnya ke tempat yang sudah disediakan di dekat gedung yang sedang dibangun. Batu-batu tersebut nantinya akan dipakai untuk acara bakar batu dalam rangka peresmian gedung. Kaum laki-laki sendiri bekerja mengambil kayu, membelah kayu dan membentuk jadi bangunan.
Dalam hal pembagian peran-peran tersebut di atas penulis melihat bahwa prinsip maskulinitas laki-laki dan prinsip feminitas perempuan sangat terlihat jelas. Laki-laki melakukan hal-hal yang dianggap berat dan kasar sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang teliti dan lebih mengandalkan sifat feminitas perempuan yang mengandalkan kepedulian dan kelemahlembutan, seperti merawat, menanam dan memanen. Hal lain yang terlihat jelas dalam hal pembagian tempat untuk tidur bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan. Mereka tidur terpisah di dalam honai (rumah tradisional) yang berbeda. Kaum laki-laki akan tidur di honai laki-laki dan sebaliknya kaum perempuan akan tidur di honai perempuan walaupun sebenarnya mereka memiliki rumah sehat yang layak. Demikian halnya dengan anak-anak mereka, anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan yang sudah dewasa akan tidur dengan ayah dan ibu mereka masing-masing sesuai dengan jenis kelamin masing-masing. Akan tetapi khusus untuk anak-anak yang masih kecil baik laki-laki ataupun perempuan akan tidur bersama dengan ibu mereka. Selain honai laki-laki dan honai perempuan, ada juga honai umum yang disediakan untuk kumpul atau pertemuan dan doa bersama jemaat. Satu jenis honai lain ialah honai yang diisi oleh keluarga sebagai tempat tinggal, terdapat dapur dan kandang untuk hewan peliharaan mereka di dalamnya menjadi satu.
Selain nilai-nilai budaya positif yang mendukung yang terlihat jelas oleh penulis, ada juga nilai-nilai yang negatif yang menghambat perkembangan pendidikan bagi anak-anak. Hal tersebut penulis amati saat mengadakan permainan bersama dengan anak-anak di halaman depan Pusat Belajar Anak (PBA) Seima. Di tengah permainan bersama dengan anak-anak, bapak-bapak yang sedang bekerja mengangkat dan mengumpulkan kayu untuk dijemur berteriak ke arah kami. Saat itu penulis tidak mengerti apa yang disampaikan oleh bapak tersebut, namun setelah bertanya kepada anak-anak yang sedang bermain penulis baru memahami maksud bapak-bapak tersebut, yakni agar anak-anak ikut membantu mengangkat dan mengumpulkan kayu-kayu. Anak-anak sedang menikmati permainan dan mereka tidak mau untuk beranjak membantu kelompok bapak-bapak tersebut. Namun penulis terkejut saat seorang bapak mendatangi ke arah kami dan melihat wajah anak-anak yang malas dan ketakutan. Bapak tersebut menyampaikan bahwa mereka membutuhkan tenaga anak-anak untuk mengangkut kayu-kayu, baik anak-anak laki-laki maupun anak-anak perempuan. Penulis mengakui kecewa dengan apa yang disampaikan oleh bapak tersebut dan membiarkan anak-anak untuk menurut kepada bapak-bapak yang bekerja. Mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah adat yang harus ditaati di dalam masyarakat, yang sebenarnya bagi penulis tidak wajib berlaku untuk anak-anak yang masih di bawah umur dan sedang menikmati waktu bermain dan belajar di PBA. Sangat ironis saat anak-anak menikmati waktunya di PBA akan tetapi mereka tepaksa untuk membantu pekerjaan orang dewasa.
Masalah lain juga terlihat dalam bidang pendidikan anak-anak, dimana orang tua tidak terlalu memperdulikan apakah anaknya berangkat ke sekolah atau tidak. Orang tua tidak menjalankan peran sebagai orang yang memotivasi anak untuk tetap rajin belajar, sehingga anak tidak menganggap bahwa belajar merupakan kewajiban sebagai anak. Dari pihak sekolah sendiri sebagai instansi yang mendidik anak juga masih menunjukkan banyak kekurangan. Selama satu minggu berada di desa Seima, penulis tidak melihat ada proses belajar mengajar di sekolah. Saat saya bertanya kepada murid-murid yang sedang bermain bola, mereka hanya menjawab kalau semua guru pergi ke kota, sehingga mereka tidak bisa belajar seperti layaknya murid-murid lain di perkotaan. Suatu kesempatan saya melihat seorang guru berjalan ke sekolah dan menuju ruangan kelas. Penulis memutuskan untuk turut serta di dalam kelas dan mengamati sistem belajar yang dipakai oleh guru tersebut, akan tetapi beliau berbalik menganjurkan untuk mengumpulkan anak-anak dari semua kelas di dalam suatu ruangan dan meminta saya untuk mengisi pelajaran di kelas.
Setelah mengisi kelas dengan perkenalan anak-anak dan bernyanyi bersama, saya memutuskan untuk berbincang-bincang dengan kepala sekolah yang kebetulan berada di tempat. Beliau mengeluhkan tentang sikap nakal anak-anak, kemalasan anak-anak untuk datang ke sekolah dan sebagainya. Saya melihat bahwa pihak sekolah berusaha menyalahkan murid-murid yang malas datang, tanpa berusaha merefleksikan sikap dan kemalasan masing-masing sebagai pengajar. Anak-anak di desa Seima adalah anak-anak yang pintar dan cerdas, terlihat saat proses belajar dan bermain di PBA. Antusias mereka sangat besar untuk mengetahui hal-hal baru yang belum pernah mereka ketahui. Tingkat kehadiran mereka di PBA juga sangat tinggi. Semangat mereka yang sangat besar menyadarkan penulis untuk tetap mengandalkan kesabaran dalam menghadapi kenakalan mereka sebagai anak-anak. Anak-anak sebagai generasi yang memiliki kesempatan emas untuk berkembang dan memiliki ilmu yang sebenarnya adalah hak mereka, harus terus didukung dan dibimbing dalam proses perkembangan mereka. Salah satu yang dilakukan oleh organisasi tempat saya bekerja saat itu adalah dengan terus mengaktifkan PBA-PBA di daerah pelayanan. PBA-PBA tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan psikologis dan keilmuan anak.
Hal lain yang sangat mengejutkan bagi saya adalah saat melakukan perbincangan dengan bapak Simson seorang guru di desa Ugem. Beliau mengeluhkan suatu masalah yang sering terjadi dengan anak-anak murid SD di desa Ugem. Banyak anak yang di bawah umur memutuskan untuk menikah dan tidak melanjutkan pendidikannya lagi. Sesuai aturan administrasi di sekolah apabila ada anak yang memutuskan untuk menikah harus membayar denda yang sudah ditentukan dalam peraturan di desa tersebut. Bagi bapak Simson sendiri hal tersebut adalah sutau masalah yang harus diselesaikan bersama, baik mengenai usia anak yang masih terlalu dini ataupun mengenai denda yang harus dibayar sesuai aturan. Permasalahan ini sebenarnya sudah dibahas di dalam masyarakat akan tetapi hasil yang didapat ialah bahwa orangtua menuruti kehendak anak-anak mereka untuk menikah dini. Kontrol yang  baik dan pendidikan seks yang cukup dari orangtua dan guru sangat diperlukan dalam hal ini.
Berbicara mengenai perkembangan anak di dalam masyarakat, harus dilihat juga dari segi kesehatan dan status nutrisi yang didapatkan. Informasi yang diperoleh penulis dari petugas kesehatan, seorang mantri yang bekerja di Polindes Seima menyatakan bahwa penyakit yang sering dialami oleh anak-anak adalah panas dingin, mencret dan diare. Mulai dari mencret biasa hingga mencret yang berdarah. Hal tersebut disebabkan oleh pola hidup masyarakat yang belum menerapkan pola hidup sehat, misalnya mereka sudah terbiasa mengkonsumsi air yang tidak dimasak terlebih dahulu dan sering mengkonsumsi makanan dengan sembarangan. Selain itu juga orang tua tidak menerapkan pola hidup bersih terhadap anak-anak, misalnya dengan mengajarkan mereka untuk mandi teratur dan mencuci tangan dan kaki dengan bersih. Untuk sumber air sendiri, masyarakat di desa Seima termasuk masyarakat yang beruntung karena tidak jauh dari pemukiman penduduk di atas bukit terdapat sumber air bersih yang mengalir dari pegunungan yang dapat dimanfaatkan untuk mandi, memasak dan mencuci. Hanya saja hal tersebut tidak merupakan suatu kelebihan bagi mereka karena pola hidup masyarakat yang malas mandi dan hanya mengandalkan air hujan saja. Mantri tersebut juga menginformasikan bahwa ada kejadian bayi meninggal karena tidak segera dibawa oleh orang tuanya untuk ditangani oleh petugas kesehatan. Sistem imunisasi yang seharusnya wajib dilakukan terhadap bayi yang baru lahir tidak dilakukan dengan teratur karena berbagai alasan, mulai dari petugas kesehatan dari Puskesmas yang tidak rutin datang dan juga para ibu yang malas membawa anak-anak mereka untuk diimunisasi.
Sistem adat yang berlaku dan dianut oleh masyarakat adalah bahwa seseorang yang sakit tidak harus segera diperiksa dan diberi obat, karena dia akan sembuh dengan sendirinya apabila si penderita tidak berada di dalam rumah dalam keadaan sendiri tanpa seorang teman bersamanya. Sehingga suatu hari saya bertemu dengan seorang anak yang sedang berbaring di atas rumput di suatu bukit di desa Seima. Saya melihat anak tersebut pucat dan sepertinya dalam keadaan sakit. Apa yang saya duga ternyata benar, anak tersebut mengalami demam tinggi dan belum mengkonsumsi obat sama sekali. Akhirnya saya mengetahui alasan mengapa anak tersebut berbaring di luar rumah dan memutuskan untuk memberi vitamin, satu buah pisang dan sebotol air untuk dia konsumsi. Pola pikir masyarakat lokal yang terpaut dengan adat sering membatasi langkah mereka untuk melakukan hal-hal yang lebih rasional demi keselamatan dan kesejahteraan mereka.
Hal kedamaian di dalam masyarakat di desa Seima sudah termasuk dalam keadaan damai. Demikian halnya yang saya ketahui dari seorang mantan kepala suku yang menjabat sebagai kepada desa di desa tersebut. Konflik yang pernah terjadi adalah mengenai kerisauan masyarakat dengan kehilangan babi peliharaan mereka, baik yang dicuri, disuntik orang lain ataupun mati terbunuh. Oleh karena babi termasuk harta berharga yang mereka miliki, maka biasanya masyarakat berusaha memecahkan permasalahan tersebut dengan cara merundingkan masalah tersebut dengan para tokoh masyarakat, tokoh adat dan juga tokoh gereja. Kerisauan lain yang dialami oleh masyarakat adalah dengan adanya penyakit terhadap tanaman pertanian mereka, yakni hipere (ubi jalar) dan sayur-sayuran lainnya. Sehingga hasil saat panen juga tidak terlalu memuaskan dan mereka kekurangan makanan pokok untuk keluarga. Berbicara tentang bencana, suatu kabar baik yang saya peroleh bahwa sepanjang sejarahnya di desa Seima tidak pernah terjadi bencana yang merusak hingga saat ini.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk diamati adalah mengenai ekonomi masyarakat. Sesuai dengan hasil perbincangan dengan Bapak Simson, umur 41 tahun, yang bertugas sebagai guru di SDN Mugi dan sekaligus sebagai ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di desa Ugem. KSM di desa Mugi terbentuk tahun 2007 langsung diketuai oleh Bapak Simson. Pertemuan dilakukan satu kali dalam satu bulan yang membahas tentang kegiatan KSM, hasil panen, pemeliharaan babi, pengadaan kandang babi dan membahas tentang penyakitnya, pengadaan pagar keliling untuk memperindah lingkungan. Hasil panen dari desa tersebut pada umumnya hanya Hipere saja karena bibit yang murah. Untuk jenis tanaman yang lain, seperti tomat, jagung dapat tumbuh tapi karena modal yang kurang untuk membeli bibit dengan harga yang mahal. Masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat dala pertanian adalah, tanah sudah mulai ada hama sehingga bapak Simson mengungkapkan bahwa mereka membutuhkan obat semprot hama untuk lahan mereka. Saat panen tiba kendala yang selalu dihadapi oleh para petani adalah dalam hal mengangkut hasil panen ke terminal angkutan kota di Kali Yetni. Jarak yang jauh dari Ugem ke terminal harus ditempuh pada pagi hari dan secepat mungkin agar tidak terllu siang tiba di kota. Setiba di kota, petani menjual sendiri hasil panen mereka tidak ditampung oleh pembeli besar, sehingga mereka harus bersabar menunggu hingga barang habis terjual.
Setelah mendapatkan hasil penjualan dari panen mereka, petani segera menyisihkan sebagian dari uang hasil penjualan tersebut untuk ditabung. Tabungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk membeli bibit baru ntuk ditanam lagi dan ada juga yang membuat kios kecil di rumah mereka sebagai penghasilan tambahan keluarga. Sistem menabung yang dilakukan masyarakat adalah kesepakatan anggota KSm di desa tersebut. Kesadaran anggota sangat tinggi dalam melakukan persiapan untuk keperluan yang di masa depan dan berguna bagi kestabilan ekonomi keluarga dan kesejahteraan anak-anak mereka.
Usaha lain yang memberikan manfaat besar bagi anggota KSM di desa Ugem adalah dengan adanya honai-honai penginapan yang disewakan khusus untuk para turis yang datang ke daerah tersebut. Honai-honai tersebut disewakan dengan harga Rp.70.000/malam. Informasi yang saya dapatkan saat itu dari buku tamu yang diperlihatkan terhitung ada 20 kelompok turis yang sudah menginap di honai-honai milik KSM dan grup tradisonal di desa tersebut. Hasil sewa honai tersebut akan ditabung sebagai uang bersama kelompok. Selain honai yang disewakan, masyarakat juga diajarkan oleh bapak Simson untuk aktif berpartisipasi apabila ada acara adat tahunan yang biasanya dilakukan setiap bulan agustus. Pada bulan tersebut biasanya grup  tradisional yang dibentuk oleh bapak Simson akan mempersembahkan tari-tarian adat lengkap dengan aksesoris-aksesoris khas Papua. Hal tersebut akan mengundang perhatian para turis yang datang di bulan tersebut dan mereka akan mendapatkan bayaran yang dimasukkan dalam kas grup. Sungguh suatu usaha yang kreatif dan memberikan manfaat besar bagi masyarakat sebagai anggota kelompok di desa tersebut.
                        *tulisan dibuat satu bulan setelah saya tinggal di desa bersama dengan masyarakat lokal November 2009

No comments:

Post a Comment