Belajar mengenai nilai-nilai budaya lokal yang terdapat
dalam masyarakat sangatlah menarik. Banyak hal-hal baru yang sebelumnya tidak saya ketahui akhirnya
terungkap di dalam masyarakat. Prinsip gotong-royong yang sangat kental yang
terbentuk dalam masyarakat terlihat dalam hal pembangunan sarana-sarana umum
seperti gereja, kantor desa dan Polindes. Bentuk gotong-royong yang dimaksud
adalah mengambil kayu di hutan, menghaluskan, menyusun menjadi bangunan yang
sebenarnya. Pohon milik pribadi akan direlakan oleh pemiliknya untuk disumbang
kepada panitia pembangunan. Khusus untuk pembangunan kantor desa dan Polindes,
pemerintah memberikan sumbangan dana sehingga proses pembangunan sarana-sarana
tersebut berjalan dengan lancar. Namun untuk pembangunan gedung gereja, panitia
samasekali tidak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, dana yang dipakai
untuk penyelesaian gedung gereja tersebut adalah dana yang terkumpul dari
setiap jemaat di distrik Mugi, dimana mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar
10 juta per jemaat. Ini merupakan jumlah yang sangat besar akan tetapi karena
kesetiaan jemaat mereka rela menyumbangkan dana tersebut dari hasil penjualan
panen hasil pertanian mereka.
Pada saat peresmian di bulan Desember 2009 yang akan
datang, masyarakat juga menyumbangkan satu ekor babi dari setiap rumah tangga
untuk dibakar saat acara. Hal ini mereka lakukan adalah sebagai tanda ucapan
syukur atas berdirinya gereja di desa Seima. Pendeta di jemaat tersebut
mengatakan bahwa proses pembangunan gedung gereja berlangsung dengan cepat dan
lancar selama tiga bulan dengan menyewa buruh bangunan. Gedung gereja bercat
putih berdiri kokoh di lapangan yang
luas, sebagai hasil dari usaha masyarakat secara bersama-sama.
Saya menemukan
sistem partisipasi yang sangat erat terbentuk dalam masyarakat. Dalam hal
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan juga terlihat sangat berbeda,
baik dalam pertanian maupun dalam bergotong-royong. Dalam melakukan persiapan
lahan, mulai dari pembukaan lahan, membabat, mencangkul hingga membersihkan
lahan dilakukan kaum oleh laki-laki. Proses berikutnya dilakukan oleh kaum
perempuan, yakni menyiapkan benih yang baik, menanam, merawat, menyiangi,
memanen, menjual hasil di pasar hingga mengelola keuangan keluarga. Pembagian
peran antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam bergotong-royong membangun
sarana umum juga terlihat jelas saat perempuan dikhususkan untuk memilih
batu-batu di daerah berbukit dan mengangkutnya ke tempat yang sudah disediakan
di dekat gedung yang sedang dibangun. Batu-batu tersebut nantinya akan dipakai
untuk acara bakar batu dalam rangka peresmian gedung. Kaum laki-laki sendiri
bekerja mengambil kayu, membelah kayu dan membentuk jadi bangunan.
Dalam hal pembagian peran-peran tersebut di atas penulis
melihat bahwa prinsip maskulinitas laki-laki dan prinsip feminitas perempuan
sangat terlihat jelas. Laki-laki melakukan hal-hal yang dianggap berat dan
kasar sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang teliti dan lebih
mengandalkan sifat feminitas perempuan yang mengandalkan kepedulian dan
kelemahlembutan, seperti merawat, menanam dan memanen. Hal lain yang terlihat
jelas dalam hal pembagian tempat untuk tidur bagi kaum laki-laki dan kaum
perempuan. Mereka tidur
terpisah di dalam honai (rumah tradisional) yang berbeda. Kaum laki-laki akan
tidur di honai laki-laki dan sebaliknya kaum perempuan akan tidur di honai
perempuan walaupun sebenarnya mereka memiliki rumah sehat yang layak. Demikian
halnya dengan anak-anak mereka, anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan
yang sudah dewasa akan tidur dengan ayah dan ibu mereka masing-masing sesuai
dengan jenis kelamin masing-masing. Akan tetapi khusus untuk anak-anak yang
masih kecil baik laki-laki ataupun perempuan akan tidur bersama dengan ibu
mereka. Selain honai laki-laki dan honai perempuan, ada juga honai umum yang
disediakan untuk kumpul atau pertemuan dan doa bersama jemaat. Satu jenis honai
lain ialah honai yang diisi oleh keluarga sebagai tempat tinggal, terdapat
dapur dan kandang untuk hewan peliharaan mereka di dalamnya menjadi satu.
Selain nilai-nilai budaya
positif yang mendukung yang terlihat jelas oleh penulis, ada juga nilai-nilai
yang negatif yang menghambat perkembangan pendidikan bagi anak-anak. Hal
tersebut penulis amati saat mengadakan permainan bersama dengan anak-anak di
halaman depan Pusat Belajar Anak (PBA) Seima. Di tengah permainan bersama
dengan anak-anak, bapak-bapak yang sedang bekerja mengangkat dan mengumpulkan
kayu untuk dijemur berteriak ke arah kami. Saat itu penulis tidak mengerti apa
yang disampaikan oleh bapak tersebut, namun setelah bertanya kepada anak-anak
yang sedang bermain penulis baru memahami maksud bapak-bapak tersebut, yakni
agar anak-anak ikut membantu mengangkat dan mengumpulkan kayu-kayu. Anak-anak
sedang menikmati permainan dan mereka tidak mau untuk beranjak membantu
kelompok bapak-bapak tersebut. Namun penulis terkejut saat seorang bapak
mendatangi ke arah kami dan melihat wajah anak-anak yang malas dan ketakutan.
Bapak tersebut menyampaikan bahwa mereka membutuhkan tenaga anak-anak untuk
mengangkut kayu-kayu, baik anak-anak laki-laki maupun anak-anak perempuan.
Penulis mengakui kecewa dengan apa yang disampaikan oleh bapak tersebut dan
membiarkan anak-anak untuk menurut kepada bapak-bapak yang bekerja. Mereka
menganggap bahwa hal tersebut adalah adat yang harus ditaati di dalam
masyarakat, yang sebenarnya bagi penulis tidak wajib berlaku untuk anak-anak
yang masih di bawah umur dan sedang menikmati waktu bermain dan belajar di PBA.
Sangat ironis saat anak-anak menikmati waktunya di PBA akan tetapi mereka
tepaksa untuk membantu pekerjaan orang dewasa.
Masalah lain juga terlihat
dalam bidang pendidikan anak-anak, dimana orang tua tidak terlalu memperdulikan
apakah anaknya berangkat ke sekolah atau tidak. Orang tua tidak menjalankan
peran sebagai orang yang memotivasi anak untuk tetap rajin belajar, sehingga
anak tidak menganggap bahwa belajar merupakan kewajiban sebagai anak. Dari
pihak sekolah sendiri sebagai instansi yang mendidik anak juga masih
menunjukkan banyak kekurangan. Selama satu minggu berada di desa Seima, penulis
tidak melihat ada proses belajar mengajar di sekolah. Saat saya bertanya kepada murid-murid yang sedang bermain bola, mereka hanya menjawab kalau
semua guru pergi ke kota, sehingga mereka tidak bisa belajar seperti layaknya
murid-murid lain di perkotaan. Suatu kesempatan saya melihat seorang guru berjalan ke sekolah
dan menuju ruangan kelas. Penulis memutuskan untuk turut serta di dalam kelas
dan mengamati sistem belajar yang dipakai oleh guru tersebut, akan tetapi beliau berbalik menganjurkan untuk mengumpulkan
anak-anak dari semua kelas di dalam suatu ruangan dan meminta saya untuk mengisi pelajaran di kelas.
Setelah mengisi kelas dengan
perkenalan anak-anak dan bernyanyi bersama, saya memutuskan untuk
berbincang-bincang dengan kepala sekolah yang kebetulan berada di tempat.
Beliau mengeluhkan tentang sikap nakal anak-anak, kemalasan anak-anak untuk
datang ke sekolah dan sebagainya. Saya melihat bahwa pihak sekolah berusaha
menyalahkan murid-murid yang malas datang, tanpa berusaha merefleksikan sikap dan kemalasan masing-masing sebagai pengajar. Anak-anak di desa
Seima adalah anak-anak yang pintar dan cerdas, terlihat saat proses belajar dan
bermain di PBA. Antusias
mereka sangat besar untuk mengetahui hal-hal baru yang belum pernah mereka
ketahui. Tingkat kehadiran mereka di PBA juga sangat tinggi. Semangat mereka
yang sangat besar menyadarkan penulis untuk tetap mengandalkan kesabaran dalam
menghadapi kenakalan mereka sebagai anak-anak. Anak-anak sebagai generasi yang
memiliki kesempatan emas untuk berkembang dan memiliki ilmu yang sebenarnya
adalah hak mereka, harus terus didukung dan dibimbing dalam proses perkembangan
mereka. Salah satu yang dilakukan oleh organisasi tempat saya bekerja saat itu adalah dengan terus mengaktifkan PBA-PBA di daerah
pelayanan. PBA-PBA tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan psikologis
dan keilmuan anak.
Hal lain yang sangat
mengejutkan bagi saya adalah saat melakukan perbincangan dengan
bapak Simson seorang guru di desa Ugem. Beliau mengeluhkan suatu masalah yang
sering terjadi dengan anak-anak murid SD di desa Ugem. Banyak anak yang di
bawah umur memutuskan untuk menikah dan tidak melanjutkan pendidikannya lagi.
Sesuai aturan administrasi di sekolah apabila ada anak yang memutuskan untuk
menikah harus membayar denda yang sudah ditentukan dalam peraturan di desa
tersebut. Bagi bapak Simson sendiri hal tersebut adalah sutau masalah yang
harus diselesaikan bersama, baik mengenai usia anak yang masih terlalu dini
ataupun mengenai denda yang harus dibayar sesuai aturan. Permasalahan ini
sebenarnya sudah dibahas di dalam masyarakat akan tetapi hasil yang didapat
ialah bahwa orangtua menuruti kehendak anak-anak mereka untuk menikah dini.
Kontrol yang baik dan pendidikan seks
yang cukup dari orangtua dan guru sangat diperlukan dalam hal ini.
Berbicara mengenai
perkembangan anak di dalam masyarakat, harus dilihat juga dari segi kesehatan
dan status nutrisi yang didapatkan. Informasi yang diperoleh penulis dari
petugas kesehatan, seorang mantri yang bekerja di Polindes Seima menyatakan
bahwa penyakit yang sering dialami oleh anak-anak adalah panas dingin, mencret
dan diare. Mulai dari mencret biasa hingga mencret yang berdarah. Hal tersebut
disebabkan oleh pola hidup masyarakat yang belum menerapkan pola hidup sehat, misalnya
mereka sudah terbiasa mengkonsumsi air yang tidak dimasak terlebih dahulu dan sering
mengkonsumsi makanan dengan sembarangan. Selain itu juga orang tua tidak
menerapkan pola hidup bersih terhadap anak-anak, misalnya dengan mengajarkan
mereka untuk mandi teratur dan mencuci tangan dan kaki dengan bersih. Untuk
sumber air sendiri, masyarakat di desa Seima termasuk masyarakat yang beruntung
karena tidak jauh dari pemukiman penduduk di atas bukit terdapat sumber air
bersih yang mengalir dari pegunungan yang dapat dimanfaatkan untuk mandi,
memasak dan mencuci. Hanya saja hal tersebut tidak merupakan suatu kelebihan
bagi mereka karena pola hidup masyarakat yang malas mandi dan hanya
mengandalkan air hujan saja. Mantri tersebut juga menginformasikan bahwa ada
kejadian bayi meninggal karena tidak segera dibawa oleh orang tuanya untuk
ditangani oleh petugas kesehatan. Sistem imunisasi yang seharusnya wajib dilakukan
terhadap bayi yang baru lahir tidak dilakukan dengan teratur karena berbagai
alasan, mulai dari petugas kesehatan dari Puskesmas yang tidak rutin datang dan
juga para ibu yang malas membawa anak-anak mereka untuk diimunisasi.
Sistem adat yang berlaku dan dianut
oleh masyarakat adalah bahwa seseorang yang sakit tidak harus segera diperiksa
dan diberi obat, karena dia akan sembuh dengan sendirinya apabila si penderita
tidak berada di dalam rumah dalam keadaan sendiri tanpa seorang teman bersamanya.
Sehingga suatu hari saya bertemu dengan seorang anak yang sedang
berbaring di atas rumput di suatu bukit di desa Seima. Saya melihat anak tersebut pucat dan sepertinya dalam keadaan sakit. Apa yang
saya duga ternyata benar, anak tersebut mengalami demam tinggi dan belum
mengkonsumsi obat sama sekali. Akhirnya saya mengetahui alasan
mengapa anak tersebut berbaring di luar rumah dan memutuskan untuk memberi
vitamin, satu buah pisang dan sebotol air untuk dia konsumsi. Pola pikir
masyarakat lokal yang terpaut dengan adat sering membatasi langkah mereka untuk
melakukan hal-hal yang lebih rasional demi keselamatan dan kesejahteraan
mereka.
Hal kedamaian di dalam
masyarakat di desa Seima sudah termasuk dalam keadaan damai. Demikian halnya yang saya ketahui dari seorang mantan kepala suku yang
menjabat sebagai kepada desa di desa tersebut. Konflik yang pernah terjadi
adalah mengenai kerisauan masyarakat dengan kehilangan babi peliharaan mereka,
baik yang dicuri, disuntik orang lain ataupun mati terbunuh. Oleh karena babi
termasuk harta berharga yang mereka miliki, maka biasanya masyarakat berusaha
memecahkan permasalahan tersebut dengan cara merundingkan masalah tersebut
dengan para tokoh masyarakat, tokoh adat dan juga tokoh gereja. Kerisauan lain
yang dialami oleh masyarakat adalah dengan adanya penyakit terhadap tanaman
pertanian mereka, yakni hipere (ubi jalar) dan sayur-sayuran lainnya. Sehingga
hasil saat panen juga tidak terlalu memuaskan dan mereka kekurangan makanan
pokok untuk keluarga. Berbicara tentang bencana, suatu kabar baik yang saya peroleh bahwa sepanjang sejarahnya di desa Seima tidak
pernah terjadi bencana yang merusak hingga saat ini.
Hal lain yang tidak kalah
pentingnya untuk diamati adalah mengenai ekonomi masyarakat. Sesuai dengan hasil
perbincangan dengan Bapak Simson, umur 41 tahun, yang bertugas sebagai guru di
SDN Mugi dan sekaligus sebagai ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di desa Ugem. KSM di desa Mugi
terbentuk tahun 2007 langsung diketuai oleh Bapak Simson. Pertemuan dilakukan
satu kali dalam satu bulan yang membahas tentang kegiatan KSM, hasil panen,
pemeliharaan babi, pengadaan kandang babi dan membahas tentang penyakitnya,
pengadaan pagar keliling untuk memperindah lingkungan. Hasil panen dari desa
tersebut pada umumnya hanya Hipere saja karena bibit yang murah. Untuk jenis
tanaman yang lain, seperti tomat, jagung dapat tumbuh tapi karena modal yang
kurang untuk membeli bibit dengan harga yang mahal. Masalah lain yang dihadapi
oleh masyarakat dala pertanian adalah, tanah sudah mulai ada hama sehingga
bapak Simson mengungkapkan bahwa mereka membutuhkan obat semprot hama untuk
lahan mereka. Saat panen tiba kendala yang selalu dihadapi oleh para petani
adalah dalam hal mengangkut hasil panen ke terminal angkutan kota di Kali
Yetni. Jarak yang jauh dari Ugem ke terminal harus ditempuh pada pagi hari dan
secepat mungkin agar tidak terllu siang tiba di kota. Setiba di kota, petani
menjual sendiri hasil panen mereka tidak ditampung oleh pembeli besar, sehingga
mereka harus bersabar menunggu hingga barang habis terjual.
Setelah mendapatkan hasil
penjualan dari panen mereka, petani segera menyisihkan sebagian dari uang hasil
penjualan tersebut untuk ditabung. Tabungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk
membeli bibit baru ntuk ditanam lagi dan ada juga yang membuat kios kecil di
rumah mereka sebagai penghasilan tambahan keluarga. Sistem menabung yang
dilakukan masyarakat adalah kesepakatan anggota KSm di desa tersebut. Kesadaran
anggota sangat tinggi dalam melakukan persiapan untuk keperluan yang di masa
depan dan berguna bagi kestabilan ekonomi keluarga dan kesejahteraan anak-anak
mereka.
Usaha lain yang memberikan
manfaat besar bagi anggota KSM di desa Ugem adalah dengan adanya honai-honai
penginapan yang disewakan khusus untuk para turis yang datang ke daerah
tersebut. Honai-honai tersebut disewakan dengan harga Rp.70.000/malam. Informasi
yang saya dapatkan saat itu dari buku tamu yang diperlihatkan
terhitung ada 20 kelompok turis yang sudah menginap di honai-honai milik KSM
dan grup tradisonal di desa tersebut. Hasil sewa honai tersebut akan ditabung
sebagai uang bersama kelompok. Selain honai yang disewakan, masyarakat juga
diajarkan oleh bapak Simson untuk aktif berpartisipasi apabila ada acara adat
tahunan yang biasanya dilakukan setiap bulan agustus. Pada bulan tersebut
biasanya grup tradisional yang dibentuk
oleh bapak Simson akan mempersembahkan tari-tarian adat lengkap dengan
aksesoris-aksesoris khas Papua. Hal tersebut akan mengundang perhatian para turis
yang datang di bulan tersebut dan mereka akan mendapatkan bayaran yang dimasukkan
dalam kas grup. Sungguh suatu usaha yang kreatif dan memberikan manfaat besar
bagi masyarakat sebagai anggota kelompok di desa tersebut.
*tulisan dibuat satu bulan setelah saya
tinggal di desa bersama dengan masyarakat lokal November 2009
No comments:
Post a Comment