Wednesday 31 October 2012

Tulisan Pertama di Lembah Baliem, Papua

PENGARUH ISU GENDER TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT PEDALAMAN PEGUNUNGAN JAYAWIJAYA

 1. PENDAHULUAN
Permasalahan perempuan memang sangat menarik untuk dibicarakan dan menimbulkan begitu banyak perbedaan pandangan dan penilaian dalam diri individu. Berbicara mengenai perempuan akan mengundang banyak simpati dan  juga kontroversi.  Melihat permasalahan perempuan ini, sebagian besar orang masih menggunakan kacamata subjektif. Perempuan memandang permasalahan kaumnya dari sudut pandang perempuan maupun laki-laki masih memandang perempuan dari kepentingan masing-masing. Permasalahan perempuan akan tetap mengambang dan tidak terselesaikan, oleh karena itu dibutuhkan defenisi mengenai perempuan yang tidak berdasarkan pemikiran subjektif.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataannya kaum perempuan memang menghadapi permasalahan. Kondisi peran gender di pedalaman pegunungan Jayawijaya pada saat ini kurang seimbang. Perempuan mempunyai peran yang cukup penting dalam kehidupan keluarga terutama peran reproduktif dan produktif. Perempuan menjadi tumpuan pencarian nafkah keluarga, dan akibatnya adalah beban kerja yang harus dipikulnya menjadi sangat berat dan kurang memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan di luar rumah.
Dalam pengamatan penulis selama melakukan magang selama kurang lebih 4 bulan bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) di daerah Kurima, terdapat banyak permasalahan ketimpangan dan ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan yang berdampak pada permasalahan lain dalam kehidupannya. Kaum perempuan di pedalaman menjadi pihak yang tersubordinasi dan menjadi kaum yang tertindas haknya. Sebagai perempuan yang hidup dalam sistem adat, perempuan di pedalaman harus pasrah, tabah, dan sabar terhadap setiap situasi di dalam keluarga, termasuk menerima semua bentuk kekerasan dan kekejaman suami terhadap istri dan anak-anak di dalam keluarga.
Sikap tersebut di atas dinilai adat sebagai sikap perempuan yang beretika, tahu diri, sopan, menghormati adat, membawa rejeki, dan melahirkan keturunan yang beruntung. Sikap pasrah dan menerima masih mendominasi hampir sebagian besar perempuan pedalaman, termasuk mereka yang sudah berpendidikan tinggi. Walaupun perempuan tersebut seorang pejabat, tetapi di rumah dia masih harus rela menerima perlakuan
kasar suami dan menghormati suami seperti perempuan tradisional lain.
Hampir semua perempuan di daerah Kurima memiliki perasaan "wajib" menerima kekerasan dari suami dan keluarga suami. Sikap tersebut diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi ibu kepada anak perempuannya. Saat anak perempuan kecil ibu sudah mengajarkan bagaimana bersikap sopan terhadap saudara laki-laki dan menjelang dewasa anak perempuan diberi pengertian mengenai sikap sopan terhadap suami. Tetapi anak laki-laki jarang diajarkan sikap sopan terhadap perempuan di rumah.
Banyak juga ditemukan dalam masyarakat bahwa perempuan tidak dilibatkan dalam musyawarah yang membicarakan permasalahan penting kecuali perempuan tersebut memiliki kedudukan, istri kepala suku atau keturunan terhormat dari nenek moyangnya. Perempuan biasanya hadir untuk mempersiapkan tempat, makanan, bernyanyi, menjadi pendengar saja dan mendukung keputusan yang dihasilkan pada saat musyawarah. Kasus lain yang banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Kebanyakan kekerasan yang dialami oleh perempuan tersebut dilakukan dengan dalih bahwa perempuan sudah dibeli dengan mahar wam (babi) yang banyak sehingga suami merasa berhak untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap istrinya dan dari pihak perempuan berpikir bahwa seluruh diri, jiwa raganya harus dibaktikan untuk melayani seluruh kebutuhan suami, termasuk anggota keluarga suami. Kasus kekerasan lainnya terjadi juga  terhadap istri-istri korban poligami. Suami sebagai pelaku poligami akan dengan mudah melakukan tindakan kekerasan terhadap istri-istrinya karena di dalam dirinya tertanam sikap sombong dan berkuasa karena mampu memiliki istri lebih dari satu.
Namun di sisi lain akibat perubahan yang ada dan struktur nilai yang masih dipertahankan masyarakat, laki-laki di daerah pedalaman kehilangan sebagian besar perannya. Peran reproduktif dan produktif laki-laki sangat kurang, laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu luangnya di kota, berceritera atau beristirahat dan mengurus perkara di kantor desa. Pola pikir laki-laki menganggap bahwa nasib perempuan yang selalu tertindas sejak dulu hingga sekarang dan menurut sebagian laki-laki hal tersebut tidak merupakan suatu permasalahan yang tidak akan terselesaikan.
Kondisi peran gender yang kurang seimbang tersebut membawa pengaruh terhadap timbulnya persoalan-persoalan lain dalam kehidupan masyarakat, seperti masalah kesehatan dan gizi ibu dan anak-anak yang buruk, masalah rendahnya pendapatan dan kondisi ekonomi masyarakat, masalah pendidikan bagi kaum perempuan dan anak-anak, masalah konflik dalam kehidupan keluarga maupun dalam masyarakat dan lain-lain. Dan lebih lanjut hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kurangnya mutu kehidupan masyarakat, sehingga dibutuhkan pandangan yang jernih untuk menganalisis bagaimana permasalahan itu muncul dan bagaimana cara memecahkannya secara tuntas. Oleh karena itu penulis sebagai peserta magang yang sudah melakukan pengamatan pedalaman di daerah pelayanan ADP Kurima yang tertarik dengan kehidupan perempuan dan anak-anak akan mencoba menelusuri permasalahan perempuan tersebut untuk dapat menemukan pangkal permasalahan dan alternatif pemecahan permasalahan dan program untuk mengangkat perempuan dan anak ke tingkat yang lebih baik.

2.MEREKA TERTINDAS DI BALIK KETEGARANNYA

Perempuan hamil, melahirkan dan menyusui, laki-laki bekerja menggunakan ototnya, merupakan pembagian peranan yang ditentukan berdasarkan keadaan biologis seseorang. Sedangkan perempuan memasak, mencari air atau kayu bakar dan laki-laki menentukan kapan babi dipotong atau berunding menentukan tempatnya tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, tetapi ditentukan secara sosial. Pembagian tugas dan peran demikian adalah pembagian tugas berdasarkan gender.
Gender adalah sekumpulan nilai-nilai atau ketentuan yang membedakan identitas sosial laki-laki dan perempuan serta apa yang harus dilakukan oleh perempuan dan apa yang harus dilakukan oleh laki-laki dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam masyarakat. Oleh karena itu gender merupakan rekayasa sosial atau dibentuk secara sosial oleh masyarakat. Gender adalah pembedaan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Nilai-nilai dan ketentuan gender di atas bisa berbeda-beda berdasarkan pada kelas/kelompok sosial yang berbeda, misalnya ketentuan gender pada kelompok kaya aka

No comments:

Post a Comment